Skip to main content

Posts

Showing posts from 2012

Usai Sepasang

Takbir berdendang harapan telah datang tangisan kemenangan dari makhluk sepasang ambillah sepenuh kemampuan untuk penuhi sejuta keinginan bagi sosok terdepan yang telah kuasai separuh kehidupan jangan rantai senyumnya dengan gelang  bernyawa yang mulai mencari makna dengan kasih kelana ulurkan saja tangan sepasang demi hidup yang akan datang bukan hendak di_cerai hanya bersambung seulur belai dan akhir yang bisa di_eja hanya ketika ia dewasa kini sepasang telah usai dan terdepan telah mulai dalam waktunya yang tertuai ia ternyata lunglai sosok terdepan kesasar kelam tanpa sepasang yang tak lagi memandang

Realitas Sosial dalam Tunggu Aku di Sungai Duku

Namun aku merasakan sesuatu yang lain ketika memasuki tempat ini. Aku tak peduli apakah ini penjara bagi pesakitan, perampok, pemerkosa, koruptor, bromocorah kambuhan atau esidivis kelas kampong. Kalau engkau ingin tahu Maria, aku merasa inilah tempat yang baik bagi pikiranku, setidaknya aku merasa hidup yang lebih bebas dan pikiranku bisa berjalan dengan seluas-luasnya.(Penjara:3) Begitulah apa yang dirasakan Rusdi, tokoh protagonis  dalam cerpen berjudul “Penjara”. Ia berkeyakinan bahwa ada penjara yang lebih dalam, lebih tinggi, dan lebih kokoh dan lebih segalanya dari apa yang  sekarang dirasakan Rusdi. Penjara yang membuat kerangkeng kebebasan menjadi sebatas angan-angan, dan di dalamnya menyelinap kekecewaan, keletihan yang amat dalam. Tapi, satu hal yang mampu membuat Rusdi bias berpikir lebih tenang ialah karena cinta. Sebuah ukuran kebahagiaan yang kerap membuat manusia mampu bertindak seperti dewa. Cerpen ini menjadi cerpen pembuka dalam kumpulan cerpen Tunggu Aku

Kesalahan Angin Selatan

Nalalarum  melihat matahari condong ke barat. Ia kembali merapatkan kakamban 1 , angin senja itu menyingkap rambut panjangnya yang bergelombang. Angin itu pula yang membisikkan kabar orang-orang. Ketika ia melihat dari kejauhan, sekawanan burung layang mengembang sayap. Lalu hilang di belakang pandangan. Nalalarum  kemudian melihat begitu ramai orang yang lalu lalang, tengah menceritakan banyak hal. Ia tak perhatikan seorang lelaki yang berdiri di belakang papan penutup jalan, melihatnya. Nalalarum bergumam, lalu berbisik pada Lokan, “Mari kita pulang!”. “Tunggu sebentar. Lokan bayar pisang  rimpi ini dahulu.” Lokan tergopoh-gopoh masuk ke dalam kedai papan dengan tubuhnya yang sedikit kebesaran, meninggalkan Nalalarum berdiri sendiri di luar. Nalalarum baru melihat lelaki yang memandangnya  ketika ia tolehkan wajah, ia diam saja dan melangkah seiring Lokan yang menghentikan  kereta dari ujung jalan. Nalalarum sigap mempercepat langkah masuk ke bilik kamar. Mata Mak Ram membela

Ulasan buku MADRE_Dee

Meramu Cerita dalam Madre Oleh cikie wahab Ramuan pertama Seberapa hebatkah pengetahuan dalam sebuah karya sastra. Ia melebihi gedung yang tinggikah atau jalanan yang tiada pernah berbatas? Jawabannya bisa beragam. Pengetahuan itu laksana dian, sesuatu yang mencerahkan. Ketika ia diramu dengan segala komponen bahasa yang indah, ia akan bergeliat dan membuat kita penasaran hingga tertawan. Sebagai salah seorang penulis yang mengawali kiprahnya dalam dunia selebritas, Dewi Lestari atau yang akrab dikenal dengan sebutan Dee ini, menggiring kemampuannya untuk mengembangkan sesuatu hal yang ia tahu dengan banyak hal yang orang lain belum ketahui. Konon, penulis yang baik ialah menulis dari apa yang ia tahu, maka ketika ia menulis dengan mencari tahu tentang apa yang orang lain tidak tahu, itulah penulis yang lebih baik. MADRE, merupakan buku Dee yang ketujuh, sekaligus kumpulan fiksi ketiga setelah Filosofi Kopi (2006) dan Rectoverso (2008). Madre diterbitkan oleh Bentang p

Gaun dari Sinar Bulan

Mimin memotong lobak di sumur belakang, mencuci dan memasukkannya ke dalam panci. Kemudian ia hidupkan kompor dan meletakkan panci di atasnya. Dapur kembali hidup. Kakak perempuannya, Aila, tengah mengupas kentang, mencincangnya dengan bentuk segitiga. Percikkan minyak terdengar ketika Aila memasukkan kentang. Sementara itu, Toro memotong-motong kacang panjang dan sedikit bercanda dengan menaruh potongan kacang di atas bibirnya. “Aku seperti siapa ya?!” gelaknya diikuti tatapan serius Mimin yang melihatnya tak berhenti menganggu Ken, kucing kesayangan Mimin. “Aku akan merapikan ruang tamu,” Cetus Mimin “Kita tidak punya ruang tamu! Hanya ruang keluarga satu-satunya.” Aila membalikkan badan, menyodorkan tangkai sapu yang sejak tadi di sisinya. “Jangan menyela. Sebentar lagi ayah pulang,” Sambung Toro pula, laki-laki berumur 15 tahun itu bangkit menyudahi pekerjaannya di dapur, ia masuk ke kamar. Ruang yang hanya diberi sekat triplek untuk melindungi ia berganti baju. “Ak

Sketsa

HUJAN

Sajak Kenangan

KELAK, SAAT KAU MENGINGATKU SAJA  :AY Kelak, ketika tak ada sapa menyapa Aku menjadi roboh menjaga kata. Kelak, ketika jarak tak lagi tampak Aku adalah ruang yang lengang, ruang yang tak berpenghalang. Tak kau dengar nyanyian bahkan lengkingan Menumpahkan beban yang terajut bersama angan.                 Tubuhku ini serupa usia dibalut hurufhuruf  lama                 Tak menjelma kata                 Tak juga seperti kalimat                 Mengakar dalam resah. Kelak, ketika kau tak bisa baca Kau ingati aku saja.                 POTRET RUMAH Aku mengirimimu potret rumah yang tampak rekah sebelah sisinya Kau juka suka menatap lama dan mencongkel sedikit kenangan tentang dia. Maka kita saling pandang saja Bercerita kalau halaman kita tergerus rumput Tergenang airmata dan lupa kita seka. Akupun jadi gelisah ketika kau tak lagi merindui rumah Tak juga tanahtanah kita, pun pernah buat aku, kau dan dia terlena                 “Sebenarnya

DAPUR

Oleh Cikie Wahab Ami berjalan merunduk di depan tamu ayahnya, itu kutahu saat kami bertemu sepuluh menit yang lalu. Wajah Ami merah padam dan matanya berair perlahan. “Maafkan aku, aku tak bisa membantumu,” ucapku setelah ia mengatakan semuanya. “Ya. Harusnya kau tak tahu masalahku!” Dari celah-celah yang cukup besar untuk kami saling melihat, mataku tak hentinya menatap Ami yang terdiam mengenang apa yang sebelumnya terjadi. Dua bola matanya yang hitam padat seperti luruh dan menyatu dengan airmata. Ia kemudian menyibakkan rambutnya yang bergelombang sembari menyeka matanya yang memerah. “Kita lupakan saja masalah ini! Hmm..apa yang kau perbuat disana?” Ami dengan tiba-tiba mengembangkan senyum termanisnya padaku, senyum yang membuat bibirnya tampak lebih tipis dan menggoda, Akupun terkesiap. Gelas yang kupegang hampir saja menerpa lantai. “Ng..ini, aku akan membuat kopi. Aku belum sarapan.” Ami tertawa, dan suara tawanya seperti menggelitik urat leherku. “Ada yang

Desember yang Beku

Saat mendarat di Trudeau International Airport, Ink buru-buru menemui Bonita di ruang kedatangan. Perjalanan selama empat puluh dua jam itu membuatnya begitu lelah. Bonita menyambutnya dengan riang. “Welcome!” “Oh, Boni,” Pelukan Ink ketika mendapati Bonita ada di depannya. “Kau kedinginan? Sudah musim dingin di sini, Ink.” Bonita menyodorkan penutup kepala pada Ink, agar bisa menutupi telinga Ink dari udara. Kemudian mereka berdua naik kereta menuju sebuah tempat di sekitar jalan St. Chaterine St . Ink memperhatikan salju yang turun pelan dari kaca jendela, ia merekamnya dengan kamera ponsel, juga Bonita. Tapi kemudian ia merasa kedinginan lagi dan hanya duduk mendekap tangannya dengan tenang. “Mon ami, sebentar lagi kita sampai.” Bonita tahu Ink tidak nyaman dengan pakaiannya yang kurang tebal. Setelah mengalami transit tiga kali, Ink pasti kelelahan. “Aku tidak menyangka sedingin ini.” Kereta berhenti. Mereka berjalan kaki menuju sebuah kedai makanan. Boni menarik tang