Skip to main content

Posts

Showing posts from December, 2012

Usai Sepasang

Takbir berdendang harapan telah datang tangisan kemenangan dari makhluk sepasang ambillah sepenuh kemampuan untuk penuhi sejuta keinginan bagi sosok terdepan yang telah kuasai separuh kehidupan jangan rantai senyumnya dengan gelang  bernyawa yang mulai mencari makna dengan kasih kelana ulurkan saja tangan sepasang demi hidup yang akan datang bukan hendak di_cerai hanya bersambung seulur belai dan akhir yang bisa di_eja hanya ketika ia dewasa kini sepasang telah usai dan terdepan telah mulai dalam waktunya yang tertuai ia ternyata lunglai sosok terdepan kesasar kelam tanpa sepasang yang tak lagi memandang

Realitas Sosial dalam Tunggu Aku di Sungai Duku

Namun aku merasakan sesuatu yang lain ketika memasuki tempat ini. Aku tak peduli apakah ini penjara bagi pesakitan, perampok, pemerkosa, koruptor, bromocorah kambuhan atau esidivis kelas kampong. Kalau engkau ingin tahu Maria, aku merasa inilah tempat yang baik bagi pikiranku, setidaknya aku merasa hidup yang lebih bebas dan pikiranku bisa berjalan dengan seluas-luasnya.(Penjara:3) Begitulah apa yang dirasakan Rusdi, tokoh protagonis  dalam cerpen berjudul “Penjara”. Ia berkeyakinan bahwa ada penjara yang lebih dalam, lebih tinggi, dan lebih kokoh dan lebih segalanya dari apa yang  sekarang dirasakan Rusdi. Penjara yang membuat kerangkeng kebebasan menjadi sebatas angan-angan, dan di dalamnya menyelinap kekecewaan, keletihan yang amat dalam. Tapi, satu hal yang mampu membuat Rusdi bias berpikir lebih tenang ialah karena cinta. Sebuah ukuran kebahagiaan yang kerap membuat manusia mampu bertindak seperti dewa. Cerpen ini menjadi cerpen pembuka dalam kumpulan cerpen Tunggu Aku