Skip to main content

Posts

Showing posts from 2013

Sajak Cikie Wahab

Segala Laut I              Di bawah tangga yang bertingkap derap langkah gagap kabar negeri  hanyut dalam tubuh-tubuh tak selamat berpuluh kisah dari para penjual rempah cinta yang mengeja batang basah pucuk rebah dan bau tanah segala yang bertandang membawa ringkih pulau nun jauh dari bawah tangga kala senja orang-orang meneriakkan sejarahnya budak di sampan hanyut tanpa tujuan ikan di perigi jadi buih hingga dipenuhi pasir tak hentinya derita mengalir II         Pun laut telah jadi badai dan gelombang menyapu pantai sebab kita tak jua kan pandai mengarah perahu di sela gemuruh padahal langit kelak runtuh tatkala dingin memanggil-manggil dan resah merutuki segala kisah hendak kemana melangkah jarak tak lagi beda luka telah merata di semenanjung Malaka kayuh patah berserak segala rupa dalam ingatan yang tak membawanya pulang menepi ke dalam sekarat tenggelam serupa kiamat III.        Hingga pulang ke tepian

Sajak Cikie Wahab (HariPuisi Indopos,30 Nov 2013)

Pada Pagi yang Sepi     Di permulaan pagi Di jalan-jalan yang sebentar sepi Bunyi klakson mendadak mati Aku melihat reruntuhan wajah-wajah Yang menandakan malam panjang Mereka dan orang-orang yang melangkah Terengah-engah di selip doa menjelang cahaya Meninggalkan selimut dan biji semangka  dalam sebuah pot tak berwarna aku terkesima bagaimana mereka kuyup dan menggigil melintas di antara kota merongrong jalan yang patah mengejar jarum jam  tak berdaya tidak ada yang mereka bawa dalam bekal makanan dan gossip murahan mereka hanya menunggu tetes hujan melelapkan mata yang penuh angan sebentar saja agar mimpi indah selalu datang Doa Aku tidak punya cerita apapun Saat bulan sudah berganti rupa dan orang-orang merayakan pesta jika saja doa menjadi sempurna di malam yang kau timpakan senyum basah tentu akan jadi sungai yang mengalir sesukanya pecah ia di samudra merindu di bawah kantuk pada petang yang tenang agar kel

Dari Suara yang Bergema

Usup dan kedua adiknya turun dari bis  berwarna kuning tua di simpang jalan yang menuju dua arah. Dengan uang seribu rupiah, Usup melihat wajah supir bis itu menatap dirinya dengan kesal. Meski begitu, supir itu memberhentikan laju bis dan menyuruh mereka cepat-cepat turun. Usup mempererat pelukan Tius, ia terlelap di pundak. Goncangan dalam bis membuat kantuknya semakin bertambah sementara  Damar ikut menepi sambil melap keringatnya yang bercucuran. “Bang, aku haus.”” Perkataan Damar membuat Usup sadar, bahwa ia lupa memasukkan botol plastik berisi air. “Nanti. Kita belum dapat uang, Damar,” bujuknya mengusap kepala Damar. Usup menelan airliur. Sesak dan pengap dalam bis tadi membuat tenggorokannya kering. Mereka bergegas naik di atas jembatan. Damar meletakkan sehelai kardus dan duduk di sebelah Usup, di antara lorong jembatan yang teduh. Di atas ratusan kendaraan yang melaju. Kardus bergambar botol minuman membuat Damar tersenyum sambil melirik Usup dan menunjukkan giginya

Secarik surat untuk AL

         Kita adalah pertemuan yang tak seimbang. Ketika sama-sama tumbang oleh keadaan. Ketika itu hujan turun dengan deras. Aku hanya menemukan siluet ketertarikan pada tanah yang basah sesudahnya. Aku tahu, Al. Sangat tahu untuk tetap berdiri di kakiku, tanpa memaksa siapapun menjadi roda yang kokoh untukku. Kau sudah mengatakannya malam itu bukan.         Jadilah pecinta Tuhan, Katamu. Ya jawabku. Sebongkah ketidakpercayaan langsung jatuh menimpa hujan itu.  Aku mencoba mengerti satu persatu iramanya dan membuka mata kemana arah bulan bercahaya. Langit sungguh gelap, dingin sungguh mencekam. Cinta lebih indah daripada ketertarikan.         Bila kadar cinta dapat diukur maka ia tak sesempurna itu, bukan? Ada yang diam di lidahku dan ada yang mengalir di kelopak mataku. Mungkin langit masih tetap gelap tapi kita harus tetap menepi, meninggalkan hujan yang menusuk perih di sela-sela detak jarum jam.        Ah, sudahlah. kataku. Mari melebarkan sayap dan melupakan cerita masa lalu.

Mai...

Matahari kembali masuk melewati celah pintu dan Mai berjingkat-jingkat ke atas tempat tidurku yang tersusun dari bilah-bilah bambu. Dengan rambut kepang dua ia tarik selimut lalu memaksaku memperhatikan apa yang ia bawa “Hari sudah siang, ayah. Apa ayah tidak bekerja?” Aku menguap panjang, mengingat-ingat mimpi yang keburu menghilang. “Lihatlah ini, ayah.” Mata Mai penuh harap, bibirnya bergerak pelan. Di tangannya ada secarik kertas dengan tulisan berwarna biru. “Ini tulisan pertamaku. Sesilia yang mengajari. Dan ini oleh-oleh untuk Nenek dan Kakek.” Aku masih diam memahami tulisan yang ia buat. “Aku akan membantumu bekerja dan kita akan pulang berdua, Ayah.” “Pulang?” Mai membuatku terharu, tapi melihat wajahnya yang lugu akupun mengangguk setuju hingga Mai langsung memelukku. Ah, Mai… Bidadari kecilku. “Kau tahu, Mai? Plastik dan sampah inilah yang menghidupkan kita dan kau harus tahu apa jadinya dunia ini tanpa ada sampah.” Mai tertawa dengan pipi kecoklatan, ia me

Bipolar

Suatu hari, aku merasa seperti ini;  “Aku tidak tahu harus menulis apa.” Ucapku pada istri yang mondar mandir melihatku berdiam dalam kamar. Istriku geleng-geleng kepala, menaruh kopi hitam ke atas meja. Ia lalu keluar, menutup pintu tanpa mengomentari ucapanku. Lalu benarkah aku tidak akan menulis lagi. Ah, aku jadi berpikir ulang. Bukankah aku harus bertahan sebagai pengarang yang kaya wawasan. Tiba-tiba istriku masuk, menatap dengan curiga dan ia pun menyodorkan selembar kartu pos berwarna coklat tua. “Jangan aneh! Aku sudah masak enak hari ini. Ayo makan.” Aku mengangguk dengan berat hati. Sebentar aku melirik arloji pukul sembilan pagi, sebentar aku mengamati kartu pos tadi. “Ini honor cerpenmu?” Tanya istriku. “Bukan,” Aku pastikan ini adalah artikel pengembalian naskah lagi. “Tidak apa-apa. Mereka memberi kesempatan pada penulis baru, sekarang giliranmu untuk menunggu.” Aku menahan tangan istriku, memberikan lembaran naskah yang kubuat sejak beberapa bulan

Lelucon I

   Bagaimana aku bisa mengatakan ini lelucon atau curhat sampah? tidak! aku tidak menyepelekan perasaan apapun yang diberikan Tuhan. Sebagaimana rasa ketika makhluk hidup hadir sebagai wakilNya. Barangkali aku menjadi wanita paling cengeng yang  manja. Saat seseorang juga menyepelekan perasaanku padanya.   Aku percaya pada cinta pandangan pertama, sebagaimana aku melihat kebaikan dari sorot matanya dan seperti yang dilakukan seorang pujangga, aku membuat bait puisi untuknya.   Tapi ternyata salah. Salah karena cinta selalu dipilih. Dan ia tak memilihku. Setiap aku mengirimkan pesan, ia membalas dengan hampa. Berbeda ketika awal-awal kami berkenalan. Ingin aku mengatakan ke telinganya dan meyakinkan ia, bahwa akulah yang diutus Tuhan dalam kesepiannya itu; barangkali. ah... aku terlalu berlebihan bukan.   Suatu saat nanti ketika aku tak lagi mengirimi ia pesan, kalian jangan bilang padanya. Kumohon. Jangan bilang apa-apa padanya hingga ia melihatku terbujur kaku dan membisu. "Ke