Skip to main content

Posts

Showing posts from March, 2013

Kebodohan Kita

   Suatu hari saya menemukan diri saya sudah tidak lagi sama seperti kemarin. Saya pilek dan tidak tahu harus makan apa. Seseorang sudah membuat saya begini. Saya melihat matahari dengan silau yang membuat mata saya sakit. Saya bersin berkali-kali.    Kemudian saya  harus berjalan seorang diri. Ruangan yang luas tampak sepi dan saya tidak menemukan Dia di sana. Oh ya. Bukankah Dia sudah pergi. Saya lupa bahwa dia sudah pergi sejak dua tahun lalu. Saya menemukan kenyataan itu dengan mata yang memerah.   Saya makan sendiri di dapur dan tidak ada yang menyuapi saya seperti kemarin.  Saya menemukan keheningan dalam setiap pagi saya dan saya berusaha untuk melihat keluar dan memandangi matahari yang tetap saja bersinar.   Saya mencoba menelepon seseorang, saya mencoba untuk tetap baik-baik saja.   Teman saya itu tertawa dan mengatakan saya bodoh. Bodoh memang jika terlalu mencintai seseorang. Saya katakan kepadanya bahwa saya mencintai apa yang telah Tuhan berikan pada saya. Saya merasa

SOLILUI

Oleh Cikie Wahab Solilui duduk di bangku dengan wajah pucat. Riasan di wajahnya tampak pudar dan matanya mengambang ke arah lampu jalan. Ia menarik napas hingga hidungnya kembang kempis.  Ia segera ambil tisu dari dalam tas kulit berwarna merah dan mulai membersihkan ujung mata, lipstick hingga melap airmatanya yang tumpah. Solilui memandang ke seberang jalan. Toko pakaian di ujung jalan masih buka. Solilui enggan beranjak. Langit terang. Beberapa pasang lelaki dan perempuan tengah sibuk menikmati malam dan bercengkrama memikirkan kemana mereka setelah menghabiskan jagung bakar. Tiba-tiba Solilui merasa muak melihat semua itu. Ia memalingkan muka dan malah menemukan seorang pengamen berdiri di sampingnya. Tanpa permisi menyanyikan lagu yang terdengar sumbang di telinga.  Solilui tidak mengusirnya. Gitar kecil di pelukan pengamen itu menarik minatnya. Ia kembali mengenang pertemuan dengan perempuan yang membuat separuh hatinya berdebar seperti yang ia rasakan sekarang. “

Hari Terakhir, Rud

    Aku melihatmu, Rud. Dengan tengadah menatap langit di luar rumah. Mata memejam sesekali dan tangan yang mengepal erat ke tanah. Angin juga yang membuat mata lentikmu berkedip-kedip menahan perih. Tak kau hiraukan pekik istrimu, Rud. Kau tidak sedang gilakah? Istrimu mencak-mencak di teras rumah, mengatakan beberapa nama di kebun binatang. Aku bergidik, rumah ini seperti gunung merapi yang tengah berapi-api, meluap dan menyerempet nama-nama yang mengalir dari kekecewaan.      Kau mendongak, lalu bangkit dan masuk ke dalam rumah. Aku mengikutimu lagi, ingin memastikan kau tidak berniat bunuh diri. Maka suaramu keluar parau dari tenggorokan yang kering. Kau bilang menyesal telah mengecewakan  istrimu, kau juga tidak bisa menepis hal yang sudah kadung terjadi. Oh Tuhan… pekik istrimu. Tapi kau meringkuk di atas kasur. Pasir menempel di celana dan debu yang melekat di muka.     Istrimu masuk, kembali dengan airmata. Tenaganya habis setelah berteriak-teriak tadi. Ia menaruh Koran k