Skip to main content

Posts

Showing posts from October, 2013

Secarik surat untuk AL

         Kita adalah pertemuan yang tak seimbang. Ketika sama-sama tumbang oleh keadaan. Ketika itu hujan turun dengan deras. Aku hanya menemukan siluet ketertarikan pada tanah yang basah sesudahnya. Aku tahu, Al. Sangat tahu untuk tetap berdiri di kakiku, tanpa memaksa siapapun menjadi roda yang kokoh untukku. Kau sudah mengatakannya malam itu bukan.         Jadilah pecinta Tuhan, Katamu. Ya jawabku. Sebongkah ketidakpercayaan langsung jatuh menimpa hujan itu.  Aku mencoba mengerti satu persatu iramanya dan membuka mata kemana arah bulan bercahaya. Langit sungguh gelap, dingin sungguh mencekam. Cinta lebih indah daripada ketertarikan.         Bila kadar cinta dapat diukur maka ia tak sesempurna itu, bukan? Ada yang diam di lidahku dan ada yang mengalir di kelopak mataku. Mungkin langit masih tetap gelap tapi kita harus tetap menepi, meninggalkan hujan yang menusuk perih di sela-sela detak jarum jam.        Ah, sudahlah. kataku. Mari melebarkan sayap dan melupakan cerita masa lalu.

Mai...

Matahari kembali masuk melewati celah pintu dan Mai berjingkat-jingkat ke atas tempat tidurku yang tersusun dari bilah-bilah bambu. Dengan rambut kepang dua ia tarik selimut lalu memaksaku memperhatikan apa yang ia bawa “Hari sudah siang, ayah. Apa ayah tidak bekerja?” Aku menguap panjang, mengingat-ingat mimpi yang keburu menghilang. “Lihatlah ini, ayah.” Mata Mai penuh harap, bibirnya bergerak pelan. Di tangannya ada secarik kertas dengan tulisan berwarna biru. “Ini tulisan pertamaku. Sesilia yang mengajari. Dan ini oleh-oleh untuk Nenek dan Kakek.” Aku masih diam memahami tulisan yang ia buat. “Aku akan membantumu bekerja dan kita akan pulang berdua, Ayah.” “Pulang?” Mai membuatku terharu, tapi melihat wajahnya yang lugu akupun mengangguk setuju hingga Mai langsung memelukku. Ah, Mai… Bidadari kecilku. “Kau tahu, Mai? Plastik dan sampah inilah yang menghidupkan kita dan kau harus tahu apa jadinya dunia ini tanpa ada sampah.” Mai tertawa dengan pipi kecoklatan, ia me

Bipolar

Suatu hari, aku merasa seperti ini;  “Aku tidak tahu harus menulis apa.” Ucapku pada istri yang mondar mandir melihatku berdiam dalam kamar. Istriku geleng-geleng kepala, menaruh kopi hitam ke atas meja. Ia lalu keluar, menutup pintu tanpa mengomentari ucapanku. Lalu benarkah aku tidak akan menulis lagi. Ah, aku jadi berpikir ulang. Bukankah aku harus bertahan sebagai pengarang yang kaya wawasan. Tiba-tiba istriku masuk, menatap dengan curiga dan ia pun menyodorkan selembar kartu pos berwarna coklat tua. “Jangan aneh! Aku sudah masak enak hari ini. Ayo makan.” Aku mengangguk dengan berat hati. Sebentar aku melirik arloji pukul sembilan pagi, sebentar aku mengamati kartu pos tadi. “Ini honor cerpenmu?” Tanya istriku. “Bukan,” Aku pastikan ini adalah artikel pengembalian naskah lagi. “Tidak apa-apa. Mereka memberi kesempatan pada penulis baru, sekarang giliranmu untuk menunggu.” Aku menahan tangan istriku, memberikan lembaran naskah yang kubuat sejak beberapa bulan

Lelucon I

   Bagaimana aku bisa mengatakan ini lelucon atau curhat sampah? tidak! aku tidak menyepelekan perasaan apapun yang diberikan Tuhan. Sebagaimana rasa ketika makhluk hidup hadir sebagai wakilNya. Barangkali aku menjadi wanita paling cengeng yang  manja. Saat seseorang juga menyepelekan perasaanku padanya.   Aku percaya pada cinta pandangan pertama, sebagaimana aku melihat kebaikan dari sorot matanya dan seperti yang dilakukan seorang pujangga, aku membuat bait puisi untuknya.   Tapi ternyata salah. Salah karena cinta selalu dipilih. Dan ia tak memilihku. Setiap aku mengirimkan pesan, ia membalas dengan hampa. Berbeda ketika awal-awal kami berkenalan. Ingin aku mengatakan ke telinganya dan meyakinkan ia, bahwa akulah yang diutus Tuhan dalam kesepiannya itu; barangkali. ah... aku terlalu berlebihan bukan.   Suatu saat nanti ketika aku tak lagi mengirimi ia pesan, kalian jangan bilang padanya. Kumohon. Jangan bilang apa-apa padanya hingga ia melihatku terbujur kaku dan membisu. "Ke