Skip to main content

Posts

Showing posts from December, 2013

Sajak Cikie Wahab

Segala Laut I              Di bawah tangga yang bertingkap derap langkah gagap kabar negeri  hanyut dalam tubuh-tubuh tak selamat berpuluh kisah dari para penjual rempah cinta yang mengeja batang basah pucuk rebah dan bau tanah segala yang bertandang membawa ringkih pulau nun jauh dari bawah tangga kala senja orang-orang meneriakkan sejarahnya budak di sampan hanyut tanpa tujuan ikan di perigi jadi buih hingga dipenuhi pasir tak hentinya derita mengalir II         Pun laut telah jadi badai dan gelombang menyapu pantai sebab kita tak jua kan pandai mengarah perahu di sela gemuruh padahal langit kelak runtuh tatkala dingin memanggil-manggil dan resah merutuki segala kisah hendak kemana melangkah jarak tak lagi beda luka telah merata di semenanjung Malaka kayuh patah berserak segala rupa dalam ingatan yang tak membawanya pulang menepi ke dalam sekarat tenggelam serupa kiamat III.        Hingga pulang ke tepian

Sajak Cikie Wahab (HariPuisi Indopos,30 Nov 2013)

Pada Pagi yang Sepi     Di permulaan pagi Di jalan-jalan yang sebentar sepi Bunyi klakson mendadak mati Aku melihat reruntuhan wajah-wajah Yang menandakan malam panjang Mereka dan orang-orang yang melangkah Terengah-engah di selip doa menjelang cahaya Meninggalkan selimut dan biji semangka  dalam sebuah pot tak berwarna aku terkesima bagaimana mereka kuyup dan menggigil melintas di antara kota merongrong jalan yang patah mengejar jarum jam  tak berdaya tidak ada yang mereka bawa dalam bekal makanan dan gossip murahan mereka hanya menunggu tetes hujan melelapkan mata yang penuh angan sebentar saja agar mimpi indah selalu datang Doa Aku tidak punya cerita apapun Saat bulan sudah berganti rupa dan orang-orang merayakan pesta jika saja doa menjadi sempurna di malam yang kau timpakan senyum basah tentu akan jadi sungai yang mengalir sesukanya pecah ia di samudra merindu di bawah kantuk pada petang yang tenang agar kel

Dari Suara yang Bergema

Usup dan kedua adiknya turun dari bis  berwarna kuning tua di simpang jalan yang menuju dua arah. Dengan uang seribu rupiah, Usup melihat wajah supir bis itu menatap dirinya dengan kesal. Meski begitu, supir itu memberhentikan laju bis dan menyuruh mereka cepat-cepat turun. Usup mempererat pelukan Tius, ia terlelap di pundak. Goncangan dalam bis membuat kantuknya semakin bertambah sementara  Damar ikut menepi sambil melap keringatnya yang bercucuran. “Bang, aku haus.”” Perkataan Damar membuat Usup sadar, bahwa ia lupa memasukkan botol plastik berisi air. “Nanti. Kita belum dapat uang, Damar,” bujuknya mengusap kepala Damar. Usup menelan airliur. Sesak dan pengap dalam bis tadi membuat tenggorokannya kering. Mereka bergegas naik di atas jembatan. Damar meletakkan sehelai kardus dan duduk di sebelah Usup, di antara lorong jembatan yang teduh. Di atas ratusan kendaraan yang melaju. Kardus bergambar botol minuman membuat Damar tersenyum sambil melirik Usup dan menunjukkan giginya