Ketika
ia melihat ke jendela, lamunannya berhenti tapi tetap saja ia tidak mendengar
ketukan pintu berkali-kali karena suara hujan yang deras. Tapi saat teleponnya
berdering, ia sadar dan bergegas menuju pintu. Membukanya dan menemukan Paul
dengan ekspresi sedikit kesal.
“Kenapa
lama sekali? Aku kedinginan.” Paul masuk dan mengibas jaketnya. Ia menaruh
benda itu di gantungan baju. Perempuan itu tidak menjawab dan hanya memandangi
hujan yang jatuh lewat pintu.
“Kau
kenapa? Sakit?” Tanya laki-laki itu lagi.
Perempuan
itu menggeleng. Hujan selalu memberikan pengharapan padanya. Ia mencoba
mengingat kembali hujan yang paling buruk yang pernah ia alami.
Lelaki
itu duduk setelah mengganti baju dan menaruh kopi panas ke atas meja. Perempuan
itu masih melamun dan duduk melihat jendela, tempias air hujan menimbulkan
bayang-bayang di kaca.
“Sudah
sore begini. Kau mau makan apa?” Tanya Paul. Perempuan itu menggeleng. Lalu
berkata lagi Paul, “Katakan sesuatu. Kenapa kau diam saja?”
Perempuan
itu akhirnya benar-benar menoleh. Melihat lekat mata lelaki itu. “Hujan ini
membuatku ingat kenangan yang menyedihkan. Menunggu seseorang dan berdiri di
antara hujan dan dingin. Payungku tidak mampu lagi menahan air dan aku
benar-benar basah.”
“Aku
tahu,” kata lelaki itu. “Dan kau belum bisa melupakannya?”
Mereka
saling bertatapan. Pada masa yang diceritakan perempuan itu kepada Paul,
sepenuhnya Paul belum memasuki kehidupan dirinya. Mereka berteman dan hingga
kini mereka masih berteman meski keduanya saling membutuhkan banyak hal untuk
dilakukan berdua. Hujan pulalah yang membuat mereka saling menyimpan dendam
pada pasangan masing-masing.
“Aku
sudah lupa pada kekasihku. Kau harusnya juga sudah melupakan lelaki brengsek
itu. Lebih baik kita habiskan sore yang basah ini dengan bermain kartu atau
menonton televisi.”
“Lalu
kenapa aku belum bisa lupa pada hal itu, Paul? Katakan padaku. Bodohkah aku?”
“Tidak.
Hanya saja aku tidak ingin kau diam dan terlihat menakutkan dengan wajah
seperti itu. Hujan begini kau bisa membuatkan aku coklat panas. Dua puluh meter
dari sini ada yang tidak tahan dengan kedinginan, tapi kita malah asik
memikirkan pelukan seseorang yang tidak akan pernah kita dapatkan.”
“Kau
selalu bisa mengalihkan percakapan.”
“Benar
sekali. Atau jika kau kedinginan kau bisa memelukku. Aku akan tetap
menghormatimu dan tidak berbuat macam-macam. Aku akan mengantarkan makanan ke
tetangga itu. Barangkali ia juga butuh selimut tebal.”
“Aku
ikut.” Perempuan itu bangkit dan meraih lengan Paul.
“Hujan.”
“Tidak
apa-apa. Ini masih sore. Aku bosan di rumah.”
“Kalau
begitu kau yang menenteng bungkusan ini dan aku akan memegang payung untukkmu.”
Perempuan
itu tersenyum akhirnya.
Di
antara hujan yang masih turun dengan deras. Dua manusia itu berjalan di bawah
payung besar. Lelaki itu berusaha membuat teman perempuannya tertawa dan
perempuan itu juga ingin melupakan hujan yang buruk itu segera. Semoga.
entah mengapa, begitu epik dan so sweeeeeet pada endingnya. jadi kak, tiap hari kamis ada mini cerita baru? jee akan sering2 berkunjung kemari!
ReplyDeleteCeritanya asik. :)
ReplyDeleteBahasanya enak dibaca dan mengalir :)
Terima kasih Ron. Semoga menyenangkan selalu
DeleteMakasih jeni. sering2lah kemari
ReplyDelete