Skip to main content

Salju yang Turun Perlahan. Denpasar Pos, 19 Agustus 2018




Salju turun sejak malam tadi. Jalan di depan Motel ditutup dengan sebuah palang. Beberapa petugas kota tampak sibuk membersihkan salju yang meluber ke tengah jalan. Bunyi sekop dan peluit membuat Hana bangun dan menyeret langkahnya dengan setengah kantuk ke jendela. Ia mengucek mata dan melihat jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh pagi. Hana kembali ke atas tempat tidur dan menyalakan telepon genggamnya. 

Pesan dari ibunya selalu saja terdengar khawatir. Hana tidak membalas pesan itu sebab ia tidak memberi kabar kepergiannya kali ini.

“Rasanya menjadi anak yang selalu berada di ketiak ibu.” Kesalnya suatu kali. Hana hanya tidak ingin ibu melihatnya seperti itu. Ia merasa sudah dewasa dan bisa menentukan pilihan.

Ia urungkan niat untuk mandi dan hanya mencuci mukanya saja. Ia bisa mati membeku jika berlama-lama di kamar mandi, meski penghangat ruangan berfungsi cukup baik. Ia masih belum tahu apa yang akan ia lakukan. Cuaca di luar tidak membuatnya nyaman. Jadwal pertemuannya dengan Ryuki bisa saja batal dan ia ingin secepatnya pulang jika keadaan cuaca tidak juga memungkinkan.

Ryuki, adalah kakak angkat Namra teman wartawan Hana di Jakarta. Hana mendapat tugas sekaligus liputan untuk mengambil berita tentang penyakit menular di salah satu kota di Jepang. Tapi sejak Hana tiba, cuaca benar-benar buruk. 

“Tapi salju akan diperkirakan turun lagi, Hana.” Suara Ryuki di seberang telepon. “Aku akan ke motel dan kita berbincang di sana. Kau kan belum beli tiket. Sayang sekali jika kau pulang begitu cepat.”

Hana memencet hidungnya dan melihat ruam merah di sana. Ia tertawa dan menyambut ucapan Ryuki dengan semangat. “Baiklah. Aku akan menunggu. Kau tahu aku bosan di kamar terus. Aku benar-benar salah mengambil waktu bertugas.”

“Tidak apa-apa. Anggaplah ini permulaan.” 

Mereka tertawa lagi dan telepon ditutup. Hana kembali menekuri buku-buku catatan yang ia bawa. Apakah ia harus ke Shinjuku Ward dan mewawancarai pekerja malam di sana. Hana mendesah, setidaknya bersama Ryuki, Hana hanya perlu menyalin berita dengan mudah. Ah, sial. Ia benar-benar merasa tidak professional kali ini.
***
Salju turun pelan sekali. Ada mobil yang terjebak di jalan depan motel . Hana turun ke lobi dan menyambut Ryuki yang datang dengan coat berwarna kelabu. Sepatu bootsnya tampak mengkilap karena sisa salju yang menempel sudah mencair. Jambangnya tumbuh seperti bulu-bulu halus, Hana hampir terpaku karena memerhatikannya. Hana juga membawanya ke kamar. Tidak ada meja di lobi, tentu saja Hana dengan terpaksa dan canggung harus berdua di dalam kamar dengan wartawan itu.

“Ini kubawakan nasi kari dari restoran di seberang sana. Cuaca masih dingin.” Ryuki menyodorkan bungkusan.

“Terima kasih. Kau kelihatan penduduk asli di sini. Tokyo benar-benar mengubahmu ya. Kau juga tampak berbeda. Namra sudah cerita semuanya.”

“Oh. Kuharap bukan cerita yang buruk.”

“Ya sebaiknya aku memang meminta bantuanmu dari awal. Kau tentu sudah pernah ke Shinjuku. Aku kesulitan jika nanti komunikasi wawancaraku terhambat karena bahasa.”

“Tidak apa-apa. Tapi kenapa kau tertarik membahas penyakit menular ini? Bukankah Namra juga bilang kau takut pada jarum suntik.”

Hana tertawa. “Bodoh sekali. Namra mengatakan hal seperti itu padamu. Padahal ini bukan pertama kalinya kita bertemu. Aku hanya menjalankan tugas. Itu saja.”

“Bukan karena seseorang?”

Hana mendelik. Ia menyunggingkan senyum. Apa Ryuki perlu tahu alasan besarnya berangkat ke tempat itu untuk mencari tahu tentang kabar kakak kandungnya yang tertular sifilis. Itu pasti sangat memalukan, pikir Hana. Lalu bagaimana dengan ibunya? Bukankah pertanyaan ibu tentang saudaranya juga sama. Hana ingin sekali menceritakan segalanya.

“Jika aku ke sini untuk menuntaskan rinduku bagaimana?” ucap Hana dengan wajah yang serius.

“Kukira kau belum punya kekasih. Kau kan cantik.”

“Namra yang mengatakan itu?” Hana lalu tertawa. “Aku hanya bercanda.”

“Tidak. Aku saja yang berandai-andai. Kau memang cantik. Lelaki mana yang tidak jatuh cinta padamu.”

“Ada. Kau barangkali.”

“Haha. Kau harus mengenal seseorang dengan sangat baik dulu.”

“Jadi kau tidak baik?” selidik Hana.

“Tidak tahu.”

“Sudahlah. Aku memang tidak tahu apapun tentangmu. Lupakan saja.”

“Baiklah. Aku punya data pekerja malam di sana. Cukup banyak untuk kau baca terlebih dahulu. Ini data tiga bulan lalu.” Ryuki menyodorkan berkas ke atas meja.

“Apa itu sudah basi?”

“Kau hanya menulis artikel, bukan berita baru. Lagipula kenapa bosmu tidak mengupas penyakit di sana? Kenapa harus jauh-jauh ke Tokyo.”

“Kau tahu kan industri di sini legal dan tidak sama dengan Indonesia. Aku … ah sudahlah. Aku akan mempelajari ini dan jika kau berkenan aku juga ingin menemui satu atau dua orang di sana untuk foto.”

“Asal kau punya waktu banyak di sini. Aku bisa meluangkan waktu.”

Hana membuka makanan dan menyantapnya. Ryuki menunggu  selesai makan. Dari luar, Ryuki kelihatan tampan. Hana mencuri pandangan itu. Ia kenal beberapa tahun lalu tapi mereka hanya bertemu dua kali dengan hari ini. Apa yang ia ketahui tentang lelaki itu juga tidak banyak. Hanya karena Namra, ia merasa tertarik.

Ryuki bangkit dan memeriksa saku coat. Ia mengambil buku kecil di sana dan mencatat sesuatu. Ia berpesan agar berhati-hati. Penyakit menular bisa saja menjangkiti orang yang tidak tahu apa-apa. Hana tertawa.

“Aku mengenal seorang perempuan Indonesia di sana. Dia sakit dan tidak ingin pulang. Menyedihkan sekali jika ada keluargamu dalam keadaan seperti itu.”
“Apa hal itu memalukan?” Hana terhenyak seketika.

Ryuki mengangkat bahu. “Hidup adalah pilihan masing-masing.” Lalu lelaki itu berdiri dan menepuk pundak Hana. “Besok pukul sembilan, aku menunggumu di sana.”

Hana mengangguk-angguk. Ia lihat punggung Ryuki menghilang di balik pintu. Makanan sudah hampir habis, dan seleranya hilang seketika. Ia mengambil telepon dan menghubungi seseorang.
***

Hana ingat saat telepon dari Kakaknya berdering dan ia mendengar semua itu dari telepon kabel yang tersambung di kamar. Ibu dan kakaknya tidak tahu kalau ia menguping dan mendengar kalau kakaknya hampir sekarat di suatu tempat.
“Kau melakukannya?” isak tangis ibu begitu kencang.

“Maaf, Bu. Aku tidak tahu. Sumpah. Mungkin pacarku di sini yang menularkannya.”

“Anak gila!” itu makian yang pertama Hana dengar keluar dari mulut ibunya. Lalu setelah itu Hana tak berani menguping, ia mengunci diri di kamar dan sembunyi di dalam selimut. Apakah kakaknya akan segera mati? Hana menangis, di keluarganya hal seperti itu merupakan aib yang sangat besar.

***
Hana mengenakan boot dan syal secara bergantian. Ia tersenyum karena akan bertemu kakak di Shinjuku. Kenapa kakaknya tidak mau pulang dan memilih berobat di sana, Hana juga tidak mengerti. Ia hanya membenci kebodohan kakak dan juga pacar kakaknya.

“Kau sudah sampai?” Ryuki membuyarkan lamunannya. Hana membungkuk, memberi salam. Mereka sudah ada di salah satu tempat hiburan. Tempat itu terlihat sepi. Salju yang turun di atap sudah jatuh ke tanah. Hana tak sabar untuk masuk dan bertanya.

Dua orang perempuan keluar dan menyapa. Ryuki bicara dengan bahasa mereka. Hana duduk dan melihat di sekelilingnya. Ia pun sengaja menatap lebih lama seseorang yang baru muncul di pintu. Hana terkejut dan terdiam.

***
Hana melihat orang-orang masih memakai coat yang tebal. Salju masih turun perlahan, begitu bunyi berita di layar televisi. Ryuki sudah mengenalkan pacarnya kemarin dan Hana pura-pura tidak kenal dengan perempuan itu. Ia ingin sekali memeluknya dan mengatakan ibu rindu padanya tapi Hana hanya terdiam saat Ryuki mencium perempuan itu dengan sangat mesra.

“Pilihanmu tepat sekali,” Hana memandang salju yang kelabu, ia menyeka matanya dan mengirim pesan ke ibu. 

Aku akan pulang. Ibu jangan cemas. Kita akan baik-baik saja tanpa kakak.***






Comments

Popular posts from this blog

Kamisan #1 Session 3: ~Memeluk Hujan yang Buruk ~

Ketika ia melihat ke jendela, lamunannya berhenti tapi tetap saja ia tidak mendengar ketukan pintu berkali-kali karena suara hujan yang deras. Tapi saat teleponnya berdering, ia sadar dan bergegas menuju pintu. Membukanya dan menemukan Paul dengan ekspresi sedikit kesal. “Kenapa lama sekali? Aku kedinginan.” Paul masuk dan mengibas jaketnya. Ia menaruh benda itu di gantungan baju. Perempuan itu tidak menjawab dan hanya memandangi hujan yang jatuh lewat pintu. “Kau kenapa? Sakit?” Tanya laki-laki itu lagi. Perempuan itu menggeleng. Hujan selalu memberikan pengharapan padanya. Ia mencoba mengingat kembali hujan yang paling buruk yang pernah ia alami. Lelaki itu duduk setelah mengganti baju dan menaruh kopi panas ke atas meja. Perempuan itu masih melamun dan duduk melihat  jendela, tempias air hujan menimbulkan bayang-bayang di kaca. “Sudah sore begini. Kau mau makan apa?” Tanya Paul. Perempuan itu menggeleng. Lalu berkata lagi Paul, “Katakan sesuatu. Kenapa kau diam saj...

11 BARANG PROMOSI YANG TEPAT MEMBANGUN BRAND

            “Gue lagi merintis usaha makanan kering,” “Oh ya? Bagus donk.” “Tapi gue butuh bantuan lo buat promosi. Gue bingung.” “Bikin strategi dulu aja.” “Gimana caranya?” Nah gimana? Gue  langsung ingat sesuatu.  Demi seorang sahabat yang lagi memulai usaha dan membangun Brand alias Merek, yakni simbol, tanda, desain atau gabungan di antaranya yang dipakai sebagai identitas suatu perorangan, gue mikir promosi yang tepat dan efektif itu seperti apa buat sahabat gue ini. Setiap manusia yang tengah merintis usaha dan membangun brand produknya pasti akan berhadapan dengan yang namanya pasar. Pasar dalam arti konsumen ini tentunya memiliki perbedaan baik dari jenis kelamin, umur, status sosial, hingga perbedaan tingkat kebutuhan masing-masing. Buat sahabat gue atau juga kalian yang telah menciptakan suatu produk entah itu makanan atau benda lainnya dan ingin mendulan...

Kamisan #13 IKAN KOI~ Hadiah Keberuntungan

Anak itu menurunkan tangannya sehingga menyentuh dasar aquarium. Tetapi ia tidak menemukan ikan kesayangannya di sela-sela rerumputan air. Ia angkat tangannya dan dengan mata memerah ia melihat ibunya masuk meletakkan bungkusan. “Ikanmu tidak akan kembali, Yud. Dia sudah mati dan papamu yang membuangnya.” “Tapi kenapa tidak bilang padaku dulu, Bu? Aku ingin melihat ikan itu.” “Sudahlah, Yud. Kau bukan anak TK lagi. Lihat keluar sana, di kolam ada ikan baru yang dibeli papamu.” Dengan berat hati. Anak lelaki itu melangkah, menyusuri lantai menuju ruang belakang. Di sudut halaman, sebuah kolam batu bercat hitam. Kolam yang baru sebulan lalu di isi air tanpa ada ikan di dalamnya. Entah kenapa papa anak itu enggan mengisinya, barangkali sebab anak itu terlalu sibuk dengan ikan di aquarium. Anak itu duduk berjongkok di depan kolam. “Papa jahat! Padahal aku lebih suka ikan itu dari apapun.” Ucapnya setengah berbisik dan memeluk lututnya kemudian menelungkupkan kepala di anta...