Salju
turun sejak malam tadi. Jalan di depan Motel ditutup dengan sebuah palang.
Beberapa petugas kota tampak sibuk membersihkan salju yang meluber ke tengah
jalan. Bunyi sekop dan peluit membuat Hana bangun dan menyeret langkahnya
dengan setengah kantuk ke jendela. Ia mengucek mata dan melihat jam di dinding
menunjukkan pukul sepuluh pagi. Hana kembali ke atas tempat tidur dan
menyalakan telepon genggamnya.
Pesan
dari ibunya selalu saja terdengar khawatir. Hana tidak membalas pesan itu sebab
ia tidak memberi kabar kepergiannya kali ini.
“Rasanya
menjadi anak yang selalu berada di ketiak ibu.” Kesalnya suatu kali. Hana hanya
tidak ingin ibu melihatnya seperti itu. Ia merasa sudah dewasa dan bisa
menentukan pilihan.
Ia
urungkan niat untuk mandi dan hanya mencuci mukanya saja. Ia bisa mati membeku
jika berlama-lama di kamar mandi, meski penghangat ruangan berfungsi cukup
baik. Ia masih belum tahu apa yang akan ia lakukan. Cuaca di luar tidak
membuatnya nyaman. Jadwal pertemuannya dengan Ryuki bisa saja batal dan ia
ingin secepatnya pulang jika keadaan cuaca tidak juga memungkinkan.
Ryuki,
adalah kakak angkat Namra teman wartawan Hana di Jakarta. Hana mendapat tugas
sekaligus liputan untuk mengambil berita tentang penyakit menular di salah satu
kota di Jepang. Tapi sejak Hana tiba, cuaca benar-benar buruk.
“Tapi
salju akan diperkirakan turun lagi, Hana.” Suara Ryuki di seberang telepon.
“Aku akan ke motel dan kita berbincang di sana. Kau kan belum beli tiket.
Sayang sekali jika kau pulang begitu cepat.”
Hana
memencet hidungnya dan melihat ruam merah di sana. Ia tertawa dan menyambut
ucapan Ryuki dengan semangat. “Baiklah. Aku akan menunggu. Kau tahu aku bosan
di kamar terus. Aku benar-benar salah mengambil waktu bertugas.”
“Tidak
apa-apa. Anggaplah ini permulaan.”
Mereka
tertawa lagi dan telepon ditutup. Hana kembali menekuri buku-buku catatan yang
ia bawa. Apakah ia harus ke Shinjuku Ward dan mewawancarai pekerja malam di
sana. Hana mendesah, setidaknya bersama Ryuki, Hana hanya perlu menyalin berita
dengan mudah. Ah, sial. Ia benar-benar merasa tidak professional kali ini.
***
Salju
turun pelan sekali. Ada mobil yang terjebak di jalan depan motel . Hana turun
ke lobi dan menyambut Ryuki yang datang dengan coat berwarna kelabu. Sepatu
bootsnya tampak mengkilap karena sisa salju yang menempel sudah mencair.
Jambangnya tumbuh seperti bulu-bulu halus, Hana hampir terpaku karena
memerhatikannya. Hana juga membawanya ke kamar. Tidak ada meja di lobi, tentu
saja Hana dengan terpaksa dan canggung harus berdua di dalam kamar dengan
wartawan itu.
“Ini
kubawakan nasi kari dari restoran di seberang sana. Cuaca masih dingin.” Ryuki
menyodorkan bungkusan.
“Terima
kasih. Kau kelihatan penduduk asli di sini. Tokyo benar-benar mengubahmu ya. Kau
juga tampak berbeda. Namra sudah cerita semuanya.”
“Oh.
Kuharap bukan cerita yang buruk.”
“Ya
sebaiknya aku memang meminta bantuanmu dari awal. Kau tentu sudah pernah ke
Shinjuku. Aku kesulitan jika nanti komunikasi wawancaraku terhambat karena
bahasa.”
“Tidak
apa-apa. Tapi kenapa kau tertarik membahas penyakit menular ini? Bukankah Namra
juga bilang kau takut pada jarum suntik.”
Hana
tertawa. “Bodoh sekali. Namra mengatakan hal seperti itu padamu. Padahal ini
bukan pertama kalinya kita bertemu. Aku hanya menjalankan tugas. Itu saja.”
“Bukan
karena seseorang?”
Hana
mendelik. Ia menyunggingkan senyum. Apa Ryuki perlu tahu alasan besarnya
berangkat ke tempat itu untuk mencari tahu tentang kabar kakak kandungnya yang
tertular sifilis. Itu pasti sangat memalukan, pikir Hana. Lalu bagaimana dengan
ibunya? Bukankah pertanyaan ibu tentang saudaranya juga sama. Hana ingin sekali
menceritakan segalanya.
“Jika
aku ke sini untuk menuntaskan rinduku bagaimana?” ucap Hana dengan wajah yang
serius.
“Kukira
kau belum punya kekasih. Kau kan cantik.”
“Namra
yang mengatakan itu?” Hana lalu tertawa. “Aku hanya bercanda.”
“Tidak.
Aku saja yang berandai-andai. Kau memang cantik. Lelaki mana yang tidak jatuh
cinta padamu.”
“Ada.
Kau barangkali.”
“Haha.
Kau harus mengenal seseorang dengan sangat baik dulu.”
“Jadi
kau tidak baik?” selidik Hana.
“Tidak
tahu.”
“Sudahlah.
Aku memang tidak tahu apapun tentangmu. Lupakan saja.”
“Baiklah.
Aku punya data pekerja malam di sana. Cukup banyak untuk kau baca terlebih
dahulu. Ini data tiga bulan lalu.” Ryuki menyodorkan berkas ke atas meja.
“Apa
itu sudah basi?”
“Kau
hanya menulis artikel, bukan berita baru. Lagipula kenapa bosmu tidak mengupas
penyakit di sana? Kenapa harus jauh-jauh ke Tokyo.”
“Kau
tahu kan industri di sini legal dan tidak sama dengan Indonesia. Aku … ah
sudahlah. Aku akan mempelajari ini dan jika kau berkenan aku juga ingin menemui
satu atau dua orang di sana untuk foto.”
“Asal
kau punya waktu banyak di sini. Aku bisa meluangkan waktu.”
Hana
membuka makanan dan menyantapnya. Ryuki menunggu selesai makan. Dari luar, Ryuki kelihatan
tampan. Hana mencuri pandangan itu. Ia kenal beberapa tahun lalu tapi mereka
hanya bertemu dua kali dengan hari ini. Apa yang ia ketahui tentang lelaki itu
juga tidak banyak. Hanya karena Namra, ia merasa tertarik.
Ryuki
bangkit dan memeriksa saku coat. Ia mengambil buku kecil di sana dan mencatat
sesuatu. Ia berpesan agar berhati-hati. Penyakit menular bisa saja menjangkiti
orang yang tidak tahu apa-apa. Hana tertawa.
“Aku
mengenal seorang perempuan Indonesia di sana. Dia sakit dan tidak ingin pulang.
Menyedihkan sekali jika ada keluargamu dalam keadaan seperti itu.”
“Apa
hal itu memalukan?” Hana terhenyak seketika.
Ryuki
mengangkat bahu. “Hidup adalah pilihan masing-masing.” Lalu lelaki itu berdiri
dan menepuk pundak Hana. “Besok pukul sembilan, aku menunggumu di sana.”
Hana
mengangguk-angguk. Ia lihat punggung Ryuki menghilang di balik pintu. Makanan
sudah hampir habis, dan seleranya hilang seketika. Ia mengambil telepon dan
menghubungi seseorang.
***
Hana
ingat saat telepon dari Kakaknya berdering dan ia mendengar semua itu dari
telepon kabel yang tersambung di kamar. Ibu dan kakaknya tidak tahu kalau ia
menguping dan mendengar kalau kakaknya hampir sekarat di suatu tempat.
“Kau
melakukannya?” isak tangis ibu begitu kencang.
“Maaf,
Bu. Aku tidak tahu. Sumpah. Mungkin pacarku di sini yang menularkannya.”
“Anak
gila!” itu makian yang pertama Hana dengar keluar dari mulut ibunya. Lalu
setelah itu Hana tak berani menguping, ia mengunci diri di kamar dan sembunyi
di dalam selimut. Apakah kakaknya akan segera mati? Hana menangis, di
keluarganya hal seperti itu merupakan aib yang sangat besar.
***
Hana
mengenakan boot dan syal secara bergantian. Ia tersenyum karena akan bertemu
kakak di Shinjuku. Kenapa kakaknya tidak mau pulang dan memilih berobat di
sana, Hana juga tidak mengerti. Ia hanya membenci kebodohan kakak dan juga
pacar kakaknya.
“Kau
sudah sampai?” Ryuki membuyarkan lamunannya. Hana membungkuk, memberi salam.
Mereka sudah ada di salah satu tempat hiburan. Tempat itu terlihat sepi. Salju
yang turun di atap sudah jatuh ke tanah. Hana tak sabar untuk masuk dan
bertanya.
Dua
orang perempuan keluar dan menyapa. Ryuki bicara dengan bahasa mereka. Hana
duduk dan melihat di sekelilingnya. Ia pun sengaja menatap lebih lama seseorang
yang baru muncul di pintu. Hana terkejut dan terdiam.
***
Hana
melihat orang-orang masih memakai coat yang tebal. Salju masih turun perlahan,
begitu bunyi berita di layar televisi. Ryuki sudah mengenalkan pacarnya kemarin
dan Hana pura-pura tidak kenal dengan perempuan itu. Ia ingin sekali memeluknya
dan mengatakan ibu rindu padanya tapi Hana hanya terdiam saat Ryuki mencium
perempuan itu dengan sangat mesra.
“Pilihanmu
tepat sekali,” Hana memandang salju yang kelabu, ia menyeka matanya dan
mengirim pesan ke ibu.
Aku akan pulang. Ibu jangan cemas.
Kita akan baik-baik saja tanpa kakak.***
Comments
Post a Comment