Ada
yang lupa untuk pulang. Ada yang tidak juga memberi kabar kedatangan. Pada
gelombang yang berkejaran, rindu pun digelar.
Seseorang
menatap jauh ke lautan lepas, ke arah ombak yang berkejaran, juga bayang-bayang
matahari yang dihalangi gumpalan awan.
Sore itu ia masih duduk di tepi pantai. Melepas lelah, menikmati
penantiannya yang tak kunjung tiba. Jika sudah begitu, ia tidak mendengar
hal-hal lainnya. Ia tidak akan pulang dan terus memanggil-manggil nama
seseorang dari lubuk hatinya yang paling dalam.
***
“Kau
mau kemana?” Tanya Antari, suatu malam. Hujan begitu deras di luar dan ia
melihat Han tengah menatap ke jendela dan termenung panjang. Di dekatinya
lelaki itu dan dipeluknya dari belakang. Tubuhnya menjadi hangat seketika.
“Kau
tidak kedinginan, sayang?” Tanya Antari lagi. Han menggeleng dan meletakkan
jaring-jaring yang ia susun pada sebuah tiang ke tepi jendela. Antari melihatnya dan kembali
bertanya untuk apa benda tersebut.
“Aku
ingin mencari kerang. Tapi hujan sudah keburu datang.” Jawab Han.
“Ya.
Hujan begitu deras.”
“Aku
akan menunggu hujan reda.”
“Sudah
malam. Kau bisa mencarinya besok pagi.” Antari terus memeluk Han. “Jangan
pergi. Tetaplah di sampingku, Han.”
Lelaki
itu mengangguk. Mencium bibir Antari. Mereka terus berpelukan dalam dingin, dalam
pekat malam yang semakin mencekam.
Saat
cahaya matahari muncul di celah-celah jendela. Antari bangun. Ia kesiangan dan
tidak menemukan Han di sampingnya. Dengan setengah cemas ia bergegas menyusuri
rumah dan tidak menemukan lelaki itu. Ia pun menuju pantai bertanya pada
orang-orang yang ada di sana. Tapi tak satupun yang melihat Han. Tak ada yang
bisa mengabarkan berita keberadaan Han.
Dan
Antari hanya melihat jaring-jaring yang dipegang Han semalam terpancang di tepi
pantai. Han tidak ada. Apa Han benar-benar mencari kerang ketika hujan semalam.
Antari berteriak kesetanan. Ia tidak lagi memperdulikan perkataan orang.
Ia
menangis dan terus mencari Han. Berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Han tidak
juga ditemukan oleh orang-orang. Semua penduduk mulai pasrah, mengatakan Han
mungkin sudah tiada. Tapi Antari tidak bisa menerimanya.
Antari terus saja duduk di tiang pancang. Menanti
kedatangan Han. Ia pikir Han benar-benar
melaut dan kesulitan untuk pulang. Antari sudah dianggap gila penduduk pantai.
Dan keluarganya hanya bisa pasrah. Antari hanya akan kembali ke rumah saat
semesta gelap gulita. Tetapi bila pagi hingga sore tiba. Ia akan ke tepi pantai
dan menunggu Han di sana dengan segenap rindu di dadanya.
Ah,
perempuan itu. Masihkah ia menunggu. Saat waktu terus memburu hidupnya yang
lamur bersama rindu?
Entahlah.
Barangkali itu hanya rekaanku saja, sebab tak ada yang tahu. Barangkali juga perempuan
itu tengah menyeka matanya yang basah sebab tidak ada yang bisa ia lakukan di
rumah, atau bisa jadi perempuan itu ingin berjemur dan menghitamkan kulitnya.
Atau kalian mengira perempuan itu Cuma reka-rekaan kita? Bisa jadi. Ya bisa
jadi. Itu semua terserah pikiran kita.
mungkin kalau saya boleh koreksi. Bukannya yang benar itu "memedulikan", mbak? '.'a
ReplyDeleteoiya. Makasih ya Abil atas koreksinya :)
DeleteSepertinya saya harus sering main-main ke sini untuk mndapatkan hidangan segar dari mba cikie.. heee
ReplyDelete