Aku
kenal dengan seorang pria beberapa bulan lalu. Pria yang mengingatkan aku pada
sosok ayahku. Ia terlihat begitu dewasa dan perhatian sekali. Rambutnya klimis
dan punya senyum yang manis. Aduh pokoknya seperti itulah. Aku suka mengingat
saat-saat ia-entah benar atau tidak- selesai mengantarkan saudaranya di bandara
dan ia singgah di tempatku bekerja. Ia pura-pura berdiri di depan toko dan
bersiul-siul seperti kode agar aku menyahut siulannya pula. Aku hanya bisa
tersenyum dan melihat lirikan matanya yang genit.
Kusodorkan
telapak tanganku menyambut uluran tangannya. Kalau saja semua pria bertindak
seperti itu, aku yakin banyak perempuan yang akan jatuh cinta. Toh tidak ada
yang buruk dari penglihatanku tentangnya. Kulitnya yang berwarna kuning
kecoklatan itu tampak seperti lelehan krim yang nikmat. Aku terkesiap saat ia
menjepit jemariku dan berkata, “Kau cepat sekali tertidur.”
Aku
tertawa sebentar. Membetulkan letak rambutku di belakang telinga. “Ah iya. Kau
kan tahu aku suka tidur lebih awal dan tidak sempat membalas pesanmu. Oh iya
kenapa kemari? Siapa lagi yang kau antar?” aku bertanya sembari berbasa-basi.
Jelas saja ia bukan dengan sengaja
datang menjengukku. Pria itu tersenyum dan membayar satu botol minuman.
“Sudah
siang. Kau sudah makan?” Tanya pria itu. “Apa mau kuajak makan siang di luar?”
Tidak.
Tidak. Aku tidak mengiyakan ajakannya. Sebagaimana hari biasanya aku membawa
bekal makanan sejak pagi. Aku masih bisa menahan lapar hingga pulang bekerja
pukul dua siang nanti. Ia tahu aku pasti menolak dan sengaja memanggil gadis
pramusaji yang kebetulan lalu lalang untuk mengantarkan aku makanan. Ia sudah
melunasinya terlebih dahulu sehingga mau tidak mau aku harus berterima kasih
atas kebaikannya.
“Kalau
kau tidak ada yang menjemput, kau kan bisa menelepon dan minta bantuanku. Aku
siap saja.” Ia berkata dan membuatku tersenyum malu. Meski aku bisa
memanfaatkannya dengan bermanja-manja, aku merasa sungkan dan hormat pada pria
itu. Pokoknya aku enggan mengubah perkenalan kami menjadi lebih dekat seperti
lem yang erat. Aku takut seperti kasus-kasus yang muncul antara dua orang
manusia pria dan wanita.
Pria
itu, fisiknya seperti jagoan. Aku tidak tahu ia berlatih di mana setiap hari.
Dan ia bercita-cita ingin menjadi pelatih tinju. “Kau suka berkelahi?” tanyaku
sedikit takut. Ia hanya tertawa dan membelai rambutku. Tapi aku yakin betul
kalau ia pasti punya kekasih di luar sana. Terserahlah ia bicara bahwa ia masih
lajang. Toh seperti yang kubilang, aku melihat sisi kedewasaan dalam dirinya.
Setelah
gadis pramusaji mengantarkan makanan ke tempatku. Aku jadi bingung ingin
memakannya atau tidak. Kutatap pria itu, meminta ia juga menghabiskan makanan.
Namun sinyal-sinyal yang kuberikan tidak diacuhkannya. Ia minum lagi dan bicara.
“Aku
punya adik perempuan dan ia malas sekali makan. Kau seperti dirinya. Dan itu
membuatku beranggapan kalau aku dipertemukan dengan perempuan yang mirip
adikku. Dan aku harus memperlakukanmu sama dengannya. Mungkin berbeda
sedikitlah.” Pria itu terkekeh sementara aku tercengang. Bibirnya
bergerak-gerak dan aku malah memperhatikan itu. Sial!
Masalahnya
aku bukannya malas makan. Ayolah aku sedang tidak bercanda dengan makanan lezat
ini. Aku hanya sedang sariawan dan sedikit gengsi. Tepatnya jika aku meringis
kesakitan saat makan. Aku tidak ingin pria itu melihat tampangku yang jelek.
Tentu saja ini bukan solusi. Setelah itu aku melingkarkan tangan di pinggangku
dan meminta persetujuan pria itu bahwa aku bukan kurus kerempeng. Ia tertawa
dan melirik manja. Ah, luluh sudah jika
ia begitu.
Harus
kuakui ia memang baik padaku. Sangat baik sebagai seorang teman. Setidaknya
hingga saat ini kutulis tentang pria itu, toh aku tetap peduli jika ia peduli
dan suka mengirimi aku makanan. Anggaplah ia ayahku. Oh bukan, ia terlalu muda
untuk jadi ayah. Anggap saja abang atau kekasihku. Aku belum bisa
membedakannya. Hanya saja aku mewanti-wanti diriku agar tidak menyebabkan
sentruman di antara kami berdua.
“Kau
perempuan yang lucu,” ungkapnya sambil mengatakan aku penurut dan tidak banyak
pinta. Aku kira ini hanya gombalannya yang membuatku berpikir untuk melanjutkan
pekerjaan atau menemaninya bercanda. Tapi justru ia berhasil memikat hatiku
untuk terus-terusan bersikap baik padanya. Ia satu-satunya pria yang terlihat
antusias begitu kusodori kupon diskon buku-buku.
Yah
begitulah para pria. Satu-satunya kesempatan aku pergi berdua dengannya adalah
saat tak ada yang menjemput diriku sepulang kerja dan ia tak sengaja meleponku
sepuluh menit sebelum jam pulang. Kata tak sengaja ini bukan aku yang
menuliskannya tetapi karena pria itu yang terus mengatakan kebetulan, maka itu
terdengar menjengkelkan. Pun ia sudah di parkiran dan menungguku datang dengan
lantunan musik lawas dalam mobilnya.
Aku
muncul di kaca mobilnya dan ia membukakan pintu. Bau pewangi meruak seperti
menusuk hidungku. Ah entahlah. Aku semakin pusing jika mencium wanginya. Aku
memintanya menyalakan kipas atau ac- lah begitu. Sehingga menolak permen tangkai yang sama darinya dan
ia memandangiku dengan tatapan aneh.
“Kau
baik-baik saja?” Tanya pria itu.
“Tentu.
Aku baik sekali,” jawabku. Kubalas pandangannya yang seperti menggoda itu. Aku
yakin ia sedang berpikir hendak membawaku ke mana. Meskipun ia bertanya aku mau
langsung pulang atau bagaimana. Aku lapar waktu itu dan memintanya singgah di
sebuah tempat makan.
Aku
memesan makanan dan minuman dingin, sambil mendengarkan ia bercerita mengenai
pekerjaannya yang sangat padat. Pembicaraan itu tentu menyebar ke mana saja.
Sebentar ia mengoceh pula tentang tontonan yang menyebalkan beberapa hari baik
di koran maupun di tivi dan sebentar kemudia ia bercerita tentang adik
perempuannya. Tapi mendengar ia bicara tanpa jeda membuat mataku berkeliaran ke
segala arah. Dan tepat ke sekelompok perempuan bertampang nafsu yang
berbisik-bisik tentang pria itu.
Sadar
ada yang demikian, pria itu menggenggam tanganku seolah-olah kami tengah
berkencan. Oh Tuhan. Aku gemetar dipegang olehnya. Ia menuntun pikiranku
tentang ruang lavender dan minuman busuk berbahan dasar apel yang pernah ia
ceritakan sebelumnya. Anggaplah begitu, aku ada di ruangan itu bersama si pria.
Tetapi kami tidak melakukan apa-apa selain tertawa, makan dan menonton tivi.
Tapi
itu semua tidak mungkin. Tidak akan kusetujui karena aku akan lebih bahagia
jika diberi buku. Nah berhubung perempuan-perempuan itu masih melirik nakal ke
arah pria di hadapanku. Aku mulai mendesah dan berharap segera pulang ke rumah.
Pria itu menuntun lenganku dan kami pulang dengan meninggalkan kekesalan bagi
mereka..
***
Beberapa
waktu lamanya aku dan pria itu tidak bertemu lagi. Aku juga tidak
menghubunginya karena kesibukan. Pun ia tidak meneleponku dan mengabari apa
yang terjadi padanya. Untuk beberapa saat aku mudah teringat lalu merasa sedih
sendiri. Tak bisa kujelaskan bagaimana aku menganggap ia sebagai pria baik-baik
yang mengisi ruang kosong di hatiku.
Aku
rindu padanya tiba-tiba. Pokoknya aku ingin bertanya apa yang terjadi, apakah
ia sudah menikah atau menjadi pelatih tinju seperti yang ia bilang dahulu. Aku
mulai meneleponnya dan nomor itu masih aktif. Anggap saja aku memang sedang
menghabiskan pulsa gratis. Itu tentunya tidak membuat aku malu karena
menghubunginya terlebih dahulu.
Telepon
diangkat dan aku mendengar suaranya yang jauh.
“Maria.
Cepatlah. Aku akan mengantar anak-anak ini ke kelas melukis.”
“Halo.
Ini siapa?” suara perempuan bertanya padaku.
“Oh
saya guru melukis anak anda.” Entah bagaimana aku berpikir untuk berkata
seperti itu.
“Oh
Ibu guru. Ada apa? Kami baru saja ingin mengantar Salma, Rika dan Fitri ke
tempat les,” suara perempuan itu ramah dan renyah sekali.
“Sekolah
diliburkan.”
“Oh
begitu ya. Tapi kenapa?”
“Aku
tidak enak badan. Tolong katakan pada suami anda agar membayar ruangan lavender
dan minuman apel yang …”
“Ibu
guru?”
“Ya.”
“Suami
saya sudah meninggal.”
Aku
terhenyak dan diam. Suara pria itu terdengar sangat nyaring di telingaku meski
ia seperti kerepotan mengurus anak-anak itu, anak dari adik perempuannya.
Entahlah. Mungkin pria itu melupakan cita-citanya menjadi pelatih tinju dan
memilih menjadi pengurus anak-anak itu. Oh kau, pasti pria yang sangat baik.
Aku sangat merindukanmu.***
Comments
Post a Comment