Begitu
perempuan itu selesai dibersihkan oleh perawat dan seorang dokter berlalu dari
hadapanku. Aku diliputi perasaan sedih dan cemas. Aku tahu istriku itu pasti
marah besar tapi ia tampak kelelahan dan sesekali menutup matanya seperti terkantuk.
Aku mendekat dan tidak bicara sepatah katapun.
Sebelumnya
aku terlambat ke rumah sakit. Keterlambatanku ini dipicu oleh rasa lelah yang
luar biasa. Semalaman aku tidak tidur karena gelisah. Menjaga istriku yang
masih merasa kesakitan dan demi menahan agar mataku tetap terjaga aku
mendengarkan seorang lelaki yang duduk di sebelahku malam itu. Aku hampir tak
berkedip dibuatnya. Ia bercerita mengenai anak yang akan kudapatkan. Entahlah,
lelaki itu mengingatkan aku akan
suara-suara mesin pemotong rumput dan tanaman yang berwarna pucat.
Setelah
itu aku merasa sakit kepala dan berusaha mencari cara untuk menghindari lelaki
itu. Aku tidak sadar sudah jam berapa.
Kulihat istriku memicingkan mata di sela kesakitan yang ia rasakan menjelang
proses melahirkan. Lalu aku pergi ke seberang jalan di luar rumah sakit dan
tertidur di karpet mushola hingga keesokan paginya.
Di
hadapan istriku ini, aku memang tak bisa berkata karena merasa sangat bersalah.
Gaung kesedihan seolah memenuhi ruang kepalaku. Nama yang akan kuberikan pada
calon bayiku percuma saja. Buku yang kupesan untuknya belajar kelak akan
berdebu di lemari. Aku telah gagal menjadi seorang ayah. Istriku masih sangat
bersedih. Itu tampak dengan caranya memegang tanganku dan meremasnya.
“Dia
tidak selamat.” Perkataan istriku
menyiratkan ketidakrelaan. Aku memeluknya dan berkata. “Anak kita adalah
tabungan di Surga. Ia bahagia di sana, Sayang.” Dengan pura-pura tabah aku
menahan rasa sedihku pula. Istriku tertidur setelah itu dan perawat menyuruhku
keluar. Di luar ruangan kutumpahkan tangisku di sana.
Mengenai
istriku, perempuan itu memiliki minat pada musik. Ia suka bernyanyi dan
mendengarkan irama yang mendayu-dayu. Pada usia kehamilan empat minggu ia
menyuruhku membeli perlengkapan musik. Aku menyanggupinya dan ia berlatih
setiap hari menjelang sore hari. Lalu kemudian ia ingin buku-buku bacaan dan
kubelikan ia buku karangan roman picisan bahkan kuselipkan komik humor agar
membuat ia terhibur. Ia tidak pernah marah dan keesokan harinya sambil mengelus
perut ia berkata.
“Bisakah
anak kita menjadi pemimpin masa depan?”
Aku
duduk di atas kursi kayu sementara jari-jariku bekerja memilih judul buku untuk
dibaca istriku dan aku mengangguk pelan. Berharap memang akan jadi
kenyataan. Tak seorang pun dapat mengetahui
apa yang akan terjadi di masa depan. Begitu juga denganku, aku hanya ingin
membuat istriku gembira. Itu saja. Maka kulakukan sesuai keinginannya.
Namun
setelah itu aku tidak tahu persis apa penyebab gagalnya anak kami lahir. Hanya
saja sehari sebelum persalinan, istriku berkata ia menginginkan anak itu
menjadi penulis besar. Aku turut tersenyum dan kubayangkan ia lahir.
Begitu
masuk rumah sakit aku malah linglung. Mengabaikan ketakutanku dengan cara
tidur. Lalu seakan-akan mengamini aku, setan membuatku tertidur lebih lama. Aku
tidak tahu proses melahirkan itu. Saat bangun dari tidur semua sudah menyayat
hatiku.
***
Sepulang
dari rumah sakit. Istriku diam bagai patung. Ia tidak bicara padaku kecuali
pada keluarganya yang datang untuk menjenguk. Aku jadi bingung dan pergi ke
kamar lain, menonton televisi dan bersedih atas meninggalnya calon anak kami.
Kamar itu adalah kamar yang disediakan untuknya. Buku-buku masih tersusun rapi
di rak, mainan kecil juga masih terbungkus rapi di dalam bungkusan kado. Aku
jadi menangis. Kehilangan membuat rasa sentimenku muncul.
Kemudian
aku mendengar pintu dibuka. Buru-buru kuhapus airmata dan melihat istriku
muncul di pintu lalu masuk ke dalam kamar. Pelan-pelan sekali ia melangkah
dengan tubuhnya yang tampak lemah.
“Istirahat
saja, sayang.” Aku bangkit dan mencoba membantunya duduk di sana. “Apa kau
baik-baik saja?”
Ia
tak menjawab pertanyaanku dan sungguh hal itu yang membuat lelaki menjadi takut
berhadapan dengan perempuan. Aku mencoba meraba keningnya dan merasa tidak
perlu secemas itu.
“Buku-buku
ini akan kau apakan?”
Aku
menoleh. Itu kalimat pertama ia menyapaku semenjak kejadian di rumah sakit. Aku
senang dan terburu-buru menjawab. “Mungkin akan kujual.”
Ia
kemudian berdehem, menaruh tangannya ke atas perut yang sudah kempes. “Tidak
perlu. Kau tidak usah menjualnya. Bacakan saja. Tolong kau bacakan untukku.” Ia
tersenyum padaku. Luluh sudah hatiku melihat ia begitu. Aku mengangguk cepat
dan memintanya menyebut buku mana yang akan kubaca.
Tepat
di atas sebuah meja, buku berjudul CINTA YANG HILANG ada di sana dan istriku
memintaku membacakan itu. Maka kubaca cerita pertama dari kumpulan cerpen O.
Henry tersebut dengan judul yang sama dengan buku itu.
Pada suatu malam, setelah matahari
terbenam, seorang lelaki muda tampak mencari sesuatu di antara rumah-rumah
besar bercat merah. Dia membunyikan bel-bel rumah itu. Lelaki itu sangat
mencintai perempuan yang dicarinya dan telah berusaha keras menemukannya. Dia
yakin, sejak menghilangnya gadis itu, bahwa gadis luar biasa ini telah
terkurung di suatu tempat. Namun, kota tempatnya tinggal itu bagaikan pasir
apung mengerikan yang telah menyedotnya entah ke mana-mungkin terkubur dalam
lumpur.
“Apa
dia merasa sangat kehilangan?” Tanya istriku memotong bacaanku itu.
“Ng…
aku belum selesai.”
“Aku
tidak mau mendengarnya lagi.”
“Kenapa?”
“Karena
itu akan sangat menyakitkan. Cinta yang hilang. Bukankah itu seperti anak kita
yang hilang?”
“Anak
kita tidak hilang. Ia dipanggil Tuhan, sayang.”
“Tapi
aku tidak bisa mengingatnya.” Ia terisak-isak dan membuatku merasa bersalah.
“Kita
baca cerita yang lain ya. Jangan menangis.” Kupeluk kepalanya ke dadaku.
“Bagaimana
aku bisa bertahan?”
“Ada
aku. Kau jangan bersedih. Kita bisa berdoa agar dititipkan kembali
malaikat-malaikat kecil itu.”
Dan
entah kenapa aku teringat perkataan lelaki yang duduk di sebelahku saat rumah
sakit waktu itu.
“Sayang.
Mari kita pergi setelah ini.” Istriku berkata setelah menyeka air matanya.
“Ke
mana?” tanyaku kaget.
“Membacakan
kisah ini kepada siapa saja.”
“Kenapa
begitu?”
“Agar
aku bisa melupakan anak kita. agar aku bisa membuat kesepakatan dengan banyak
orang.”
“Aku
tidak mengerti.” Istriku mulai menceracau.
“Kau
yang tidak mengerti. Aku ingin membuat kisah ini menjadi bahagia. Biar mereka
yang menentukan akhir cerita ini.”
Istriku
uring-uringan dan aku dibuat pusing olehnya. Kutelepon dokter dan kuminta saudaranya membawa istriku ke
kamar utama. Aku tidak ingin ia berhalusinasi seperti itu. Sungguh aku terluka
melihatnya.
Malam
itu, setelah merasa cukup tenang, aku melihatnya di kamar dan kuperhatikan apa
yang ia kerjakan. Ia menyanyi kecil dan membuka halaman buku yang sempat
kubaca tadi pagi lalu ia bergumam padaku
ketika melihatku datang.
“Aku
ingin anak kita jadi pengusaha saja.”
Kupeluk
ia erat dan mencium keningnya. Aku tak menjawab hanya mengangguk-angguk dan
membisikkan apa saja yang membuatnya senang. Sejak malam itu tidak ada yang
berubah di antara kami. Hanya pertengkaran kecil dan kebahagiaan. Selebihnya
kami saling berebutan akan jadi apa masa depan anak kami yang akan datang.***
Comments
Post a Comment