Ibu
akan meninggalkan Han di bulan, begitu ancaman yang sering ia dengar saat Han
melakukan sedikit saja kesalahan. Mendengar ibu berkata seperti itu Han akan
ketakutan dan meminta maaf lalu bersembunyi di bawah selimut dan menutup
kupingnya agar tidak mendengar suara apapun hingga ia tertidur pulas.
Paginya
Han bangun terlambat dan memang sering terlambat seperti biasanya. Padahal Han
tidur dengan cepat dan saat pagi tiba seperti ada yang mengikat kaki dan
tangannya. Lalu memaksa mata Han untuk tetap tertutup. Tentu saja itu membuat ibu
mengomel dan mencubit pahanya agar ia bangun dan terbirit-birit ke kamar mandi
lalu buru-buru ke sekolah.
Apa
yang menyenangkan di sekolah? Adalah ketika Han tidak mendengar ibu mengomel
dan membicarakan banyak hal yang tidak ia mengerti. Ketika Han disodori
semangkuk nasi putih, Han mendengarn ibuya berkata tentang tagihan dan harga
telur serta beras yang mahal. Lagipula Han tidak makan lauk pagi itu. Hanya
nasi putih dan Han tidak memaksa ibu membuat lauk. Tapi ibu tetap saja
mengomel. Akhirnya separuh mangkuk nasi itu ia berikan pada ibu kembali. Tapi
Han malah dikatai sebagai anak yang tidak bersyukur.
Di
sekolah Han memang jadi tenang. Tidak ada yang mengomel selain ibu guru yang
menerangkan pelajaran di depan kelas. Ada Nikolas yang suka membantunya belajar
dan bergaul dengan teman-teman yang lain. Saat Han masuk ke dalam kelas,
Nikolas hanya tertawa kecil dan memberi salam kompak kepadanya.
“Kau
terlambat lagi. Satpam pasti bosan padamu.” Ucapnya setengah tertawa.
“Untung
saja aku masih kelas dua.” Jawab Han.
“Kalau
kau terlambat terus. Kau benar-benar mau tinggal di bulan?” Nikolas tahu betul
soal keinginan ibu Han.
Han
menggeleng dan menepuk pundaknya, “Kami tidak punya uang untuk ke bulan.”
“Kau
tahu ibumu hanya menakutimu saja kan?”
“Itu
tidak penting. Ibuku tidak tahu bulan itu di mana. Ia bisa melihatnya di langit
saja.”
“Kau
tidak takut lagi?”
Han
diam saja.
“Ya
sudah. Nanti kau kutraktir di kantin.”
“Terima
kasih, Niko.”
Nikolas
kembali melihat buku pelajarannya. Sementara Han mengelus pahanya yang memerah
dicubit ibu.
***
Perpustakaan
sekolah cukup lengkap sehingga Han memberanikan diri berlama-lama di ruangan
itu untuk mencari tahu mengenai bulan yang sering ibu dengungkan di telinganya.
Padahal sebagian orang menyukai bulan karena keunikannya dan kecantikannya di
bulan purnama serta istilah-istilahnya yang berkaitan dengan benda itu. Han
mengambil buku tentang tata surya dan melihat isinya. Han tahu ibu tidak
mengerti tentang bulan, maka ia pinjam buku tersebut pada penjaga perpustakaan
lalu membawanya pulang untuk ia tunjukkan pada ibu.
Sepanjang
perjalanan pulang Han terus memikirkan ibu. Tapi ketika melihat sekelompok
anak-anak kelas lima dan enam bermain bola di lapangan, Han malah berjongkok di
tepi lapangan dan melihat mereka bermain. Betapa menyenangkannya mereka bisa
tertawa dan pulang dengan keadaan kotor. Ibu mereka pasti tidak akan mengomel
seperti ibunya.
Mengingat
hal itu Han buru-buru ke rumah. Ia berharap ayahnya juga sudah pulang. Sehingga
Han tidak mendengar ibu menyebut-nyebut kesalahannya lagi. Ayah selalu pergi
pagi-pagi sekali dan pulang larut malam. Han hanya sempat bertemu dengannya
sesekali. Bahkan hampir seminggu ia tidak bertemu ayah. Han terus saja melangkah
hingga tiba di rumah.
Tak
ada siapapun di rumah. Ibu pergi dan meninggalkan kunci di tempat biasa.
Berarti ayah Han belum pulang. Han melihat ada makanan yang dibuat ibu.
Kelihatan enak sekali. Ada semangkuk sup dan sepiring daging cincang, ada nasi
semangkuk besar dan lima potong ikan goreng. Rasanya sudah lama sekali ibu
tidak masak banyak seperti ini. Apa ibunya akan mengundang orang lain makan di
rumah. Ah entahlah, pikir Han, ia lapar dan mencicipinya hingga puas.
Saat
ibu pulang, Han melihatnya baik-baik saja dan tersenyum padanya. Apakah Han
sudah makan atau belum, tanyanya. Han mengangguk dan bertanya makanan sebanyak
itu untuk siapa. Ibu tidak menjawab dan pergi ke kamarnya. Teringat olehnya
buku yang ia pinjam dari perpustakaan. Lalu kepala Han berpikir apakah ia harus
menunjukkan buku itu sekarang atau tidak.
Tapi
buku itu sudah terlanjur ia keluarkan dan ibu kembali keluar dari kamar. Ia
mengamati buku yang Han pegang.
“Apa
itu?”
“Ini
buku di sekolah. Aku ada tugas, Bu.”
“Oh.
Buku Alam Semesta? Kau sudah belajar itu di kelas dua?” Tanya ibu curiga.
“Iya.
Tentu saja. Apa ibu mau melihatnya?”
Ibu menggeleng lalu menatap ke pintu lama
sekali. Sekiranya ibu diam seperti itu, Han merasa kasihan padanya. Tapi lain halnya jika
ia tengah mengomel panjang, Han seakan-akan ingin menutup mulutnya dengan
lakban.
“Bu,
apa ayah sudah pulang?” Tanya Han kemudian.
“Ayahmu
itu sibuk sekali. Kau jangan bertanya tentang itu. Jangan membuatku pusing.”
Ibu kesal.
“Tapi,
Bu. Apa ayah baik-baik saja?”
“Sudahlah.
Kalau kau mengoceh terus kau akan…”
“Dibuang
ke bulan?”
“Mm…iya.
Kau akan kubuang ke bulan. Kalau kau nakal dan tidak patuh padaku.”
“Lalu
makanan itu untuk siapa?” Han semakin ingin bertanya.
Tapi
ibu diam saja setelah itu. Ia berdiri lalu duduk kembali, sesekali melongok ke
pintu dan mendesah. Ia memandang Han sebentar lalu menangis. Han heran dengan
apa yang ibu lakukan. Apa Han salah bertanya? Han takut ibu akan menghukumnya.
Namun Han teringat perkataan Nikolas tentang cara mengambil perhatian ibu.
Han
masih memegang buku itu dan dengan ketakutan ia berjalan mendekat ke arah ibu
lalu duduk di sampingnya. Memeluk tubuh ramping ibu membuat Han tahu kalau ibunya
sekurus itu. Han menjadi begitu kasihan dan pelan-pelan ketakutannya buyar. Han
menunjukkan buku itu padanya lagi, berharap ia mau membuka dan membacanya.
“Aku
tahu ibu membuat makanan itu untuk bekalku di jalan. Kau benar-benar ingin
membuangku ya, Bu? aku sayang padamu.” Han mencium pundak ibu berkali-kali.
“Aku pasti merindukan ibu.”
Tiba-tiba
ibu melepaskan pelukan Han dan mencubit lengannya hingga Han menjerit. Monster
itu kembali datang, pekik Han dalam hati. “Aku tahu Nikolas punya ide yang baik
tapi tidak tepat untuk kucoba pada ibuku.”
Ibu mulai mengomel tentang ayah yang sering terlambat
pulang bahkan jarang pulang. Han baru tahu kalau makanan banyak itu untuk
menyambut ayah dan merayakan delapan tahun pernikahan mereka. Ibu bilang ayah
membuatnya membuang-buang duit. “Lihat, makanan itu bisa basi kalau tidak
dipanaskan!”
Lalu
ibu berteriak lagi, “Awas ya kalau ayahmu itu pulang. Aku akan menendangnya ke
bulan!”
Han
diam dan terbirit-birit masuk ke dalam kamar. Buku perpustakaan masih bisa ia
selamatkan. Dari kamar Han masih bisa mendengar omelan ibu lalu setelah itu
perlahan sunyi kembali. Buku tata surya ia buka dan ia lihat bulan yang penuh
kawah dan sepi. Sesepi hati Han malam itu. ***
Pekanbaru.
2016
terbit di Padang Ekspress, 18 Desember
Comments
Post a Comment