Suatu
hari, kami berjalan dari barat ke timur dengan langkah tergesa jika merasa
terancam dan dalam keadaan setengah lapar, mengingat betapa kami harus
menghemat perbekalan di perjalanan.
Di lain hari pula, kami berjalan sangat pelan,
seakan-akan kami membawa beban di kaki kami yang mungil sehingga kami kehilangan
tenaga walaupun kami terus saja melangkah.
Di
antara kami berempat, aku orang terakhir yang berjalan di belakang karena
keberatan membawa buntalan besar berupa selimut dan alas tidur. Sebuah kayu
yang bergantungan perkakas lainnya kuseret serta di tanah. Membentuk jejak
garis yang begitu panjang. Kadang aku sengaja mengaburkan jejak kayu itu agar
tidak ada yang mengikuti langkah kami.
Di
tangan mereka ada peta arah yang tidak jelas darimana mereka dapatkan, mereka
membawa makanan kering di kantong masing-masing. Kami bersepakat dengan
peraturan yang kami buat berempat.
Apa
yang kami cari ke timur sebenarnya masih kusangsikan. Menurut cerita
orang-orang sebelumnya yang pernah ke sana, ada keajaiban di tempat itu, kebahagiaan
sejati dan keberanian hidup, sehingga
apa yang orang inginkan akan tercapai terutama bagi orang-orang pengecut
seperti kami.
“Apakah
kita tidak bisa memakai gerobak?” tanyaku pada mereka bertiga mencoba bersikap
lebih santai. Salah satu di antaranya menggeleng lalu menawarkan pergantian
untuk membawa buntalan. Entah kenapa dalam keadaan letih seperti itu, aku malah
enggan membagi beban yang kubawa. Bukankah jika aku bersusah payah nanti akan ada
gantinya. Begitu pikirku penuh perhitungan.
Kemudian
mereka bertiga bicara seperti berbisik-bisik lalu melotot ke arahku, menurut
mereka bahkan suara saja dapat mengancam jiwa. Sebuah ketakutan yang sangat
lucu sekali. Lalu apa bedanya mereka dengan aku. Bukankah aku juga penakut. Aku
lari dari sebuah rumah yang mempekerjakan aku sebagai hamba mereka. Ketakutan
dan kegelapan adalah sahabatku. Aku harus berupaya mengubahnya dengan mencari
keajaiban. Maka aku mengikuti mereka bertiga yang telah lebih dulu berkumpul di
pintu masuk pasar.
Tentu
tidak ada salahnya mencoba, mengingat betapa lugunya aku di usia hampir
seperempat abad. Aku mempercayai kelompok ini seperti aku mempercayai hidupku
yang sudah lepas dari jeratan budak. (Kadang dengan kepercayaan singkat seperti
itu, aku menemukan secuil keberanian sehingga aku tahu apa aku ini penakut atau
tidak)
Saat
aku melihat mereka kelelahan, saatnya aku menggelas alas dan selimut, juga menyodorkan
botol minuman. Kebiasaanku sebagai seorang pesuruh terbawa hingga ke dunia
luar. Mereka menggeleng, bisa melakukan pekerjaan itu sendiri. Sekarang aku
sudah mengenal mereka secara dekat. Di antaranya bisa kuceritakan pada kalian.
Orang
pertama yang bisa dikatakan sebagai pemimpin kami adalah Rohi. Ia botak dan
hanya ada janggut tebal menghiasi wajahnya yang sangar. Sebelum ini aku juga
sempat bertemu dengannya di suatu kesempatan yang lain. Dia menjadi penjual
minuman dan tuanku membeli minuman itu darinya. Umur lelaki itu aku kurang tahu,
barangkali hampir empat puluh tahun. Ia hanya suka bicara dengan Metan.
Laki-laki yang ramah pada siapa saja.
Bisa
dibilang hanya Metan yang bicara padaku dan menyampaikan perkataan antara satu
dengan yang lainnya. Metan berbadan sedang, mukanya cukup tampan dan ia paling
bersih di antara kami, aku mengatakan ini karena kulihat dua orang lainnya
jarang sekali mandi jika kami menemukan air atau semacam sumur.
Mata
Metan kabur sebelah setelah dikeroyok orang-orang di malam hari. Setelah itu ia
menjadi penakut menghadapi orang banyak. Padahal ia cukup digemari para wanita
yang melihatnya.
“Kenapa
mereka menindas orang lemah?” tanyaku.
“Itu
sudah hukum alam.”
“Tapi.
Aku mendengar hak manusia, aku kira….”
“Lalu
kenapa kau pernah jadi hamba?” Metan membalikkan pertanyaan itu.
“Aku…”
“Tidak
usah pusing. Sebagian orang berpikir dengan lebih baik tetapi sebagian yang
berpikir sangat buruk itu juga banyak. Kau tidak bisa mengubah pemikiran mereka
selain ketika mereka masih bayi. Apa aku
bisa mempercayaimu?” tanya Metan.
Aku
mengangguk cepat, kemudian ia bercerita sesuatu.
“Pada
mulanya aku adalah seorang pemberani, dalam arti aku bisa melenyapkan
seseorang. Pada usia lima belas tahun itulah aku melakukannya. Aku tidak merasa
bersalah dan bangga sendiri atas apa yang kulakukan. Aku ingin menguasai banyak
hal. Tapi setelah itu, ibu, yang
kusayangi meninggal. Aku kabur dari rumah dan mendapati segalanya berubah. Aku lalu
dikeroyok orang suruhan ayahku sendiri. Aku trauma dan ketakutan. Aku lari
sejauh-jauhnya dan berkelana sehingga bertemu dengan seorang pak tua. Dari
dialah aku belajar banyak hal termasuk ilmu ketuhanan.”
“Tuhan?
Kalau kau ada tuhan, kenapa kau masih penakut?”
“Aku
tidak tahu. Aku lebih suka belajar cara meringankan tubuh dari pak tua itu.”
“Kau
kan tidak gemuk, kau pasti bisa meringankan tubuh.”
Metan
memukul kepalaku dengan kayu. “Menurutku bukan ringan seperti itu, tapi
melayang, terbang.”
“Oh
hebat. Lalu apa kau bisa melakukannya? Ayo tunjukkan!”
“Orang
tua itu mati keesokan harinya sebelum aku berhasil.”
“Apa
kau membunuhnya?”
Pletak!
Kepalaku lagi-lagi terkena bilah kayu yang lebih kecil.
“Apa
kau pikir membunuh guru itu adalah hal yang menyenangkan? Cobalah berpikir
lebih luas. Ah.”
Aku
menggaruk kepalaku seperti yang Metan lakukan. Aku suka menirunya, karena ia
orang baik menurutku. Setelah itu aku melihat ke arah lain, satu anggota lagi
bernama Dimin, tengah menonton percakapan kami. Saat aku melihatnya ia
pura-pura menguap lalu membalikkan badan. Dimin lebih pendek dariku tapi dia
punya hidung yang lebih mancung dan jika wajahnya sedikit gemuk tentu saja dia
tidak akan terlihat seperti drakula.
Aku
pun masih melihat hari-hari itu seperti mimpi, seperti keajaiban tersendiri
bertemu orang-orang seperti mereka bertiga.
“Kau
masih mendengarkanku?” tanya Metan. Aku menoleh dan mengangguk. Dua orang lain
itu seolah-olah tak mendengar percakapan kami, mereka sibuk dengan diri
masing-masing.
“Begini.
Beberapa tahun belakangan ini aku menderita semacam ketakutan yang membuat
jantungku seakan berhenti berdetak. Awalnya aku mengira itu semacam mimpi buruk
yang tiap malam datang, tapi aku merasakannya di dunia nyata. Aku tidak tahu
cara mengatasinya. Aku mencari berita ke mana aku harus berobat dan akhirnya
seseorang mengatakan padaku bahwa timur adalah tempatnya.”
Metan
tidak tersenyum, tidak juga berekspresi apa-apa, ia duduk mengamati diriku yang
melihat ke arahnya.
“Alasan
ketakutanmu itu apa?” tanyaku.
Ia
menarik selimut dan menutupi kakinya, udara mulai terasa mencekam. Bunyi khas
dalam kegelapan muncul, aku terperanjat
saat seekor kelabang merayap di antara kayu tua yang basah.
“Aku
takut dengan diriku sendiri.” Ia berkata dengan mimik wajah sedih pula. Aku
tidak lagi bertanya sebab dia sudah menutup matanya untuk terlelap satu atau
dua jam saja. Rohi melihatku dan batuk. Aku hanya menyunggingkan senyum dan
melihat ke langit.
Tidak
ada bintang malam itu, aku hanya melihat sekelebat cahaya dan ingatanku tentang
lampu kristal di rumah majikanku. Hampir saja aku menjatuhkan benda kesayangan
tuan dan membuatnya marah. Bahkan ketika aku tidak melakukan kesalahanpun aku
ketakutan luar biasa, tubuhku habis dengan luka dan airmataku sudah kering.
“Bukankah
jika ditempa sedemikian rupa, kau akan tahan banting dan menjadi kuat?” tanya
Metan di lain waktu.
Aku
menggeleng cepat. Ketakutan itu menyelimuti jiwaku, ada yang mati dalam diriku
yaitu keberanian. Bahkan untuk menunjukkan mukaku sendiri aku tidak mampu, aku
harus pergi sejauh-jauhnya, seperti perkataan Metan. Aku harus menemukan
keberanian.
***
Setelah
melakukan perjalanan berminggu-minggu dan melihat bagaimana situasi selama di perjalanan.
Aku melihat keputus-asaan di wajah ketiganya. Timur yang bagaimanakah? Apakah
itu hanya sekedar arah, tempat atau nama? Aku muncul ke hadapan Metan, setelah
kami tidak punya apa-apa lagi untuk di makan.
“Kau
masih kuat?” tanya Metan.
Aku
mengangguk. Metan ingin singgah di pemukiman dan beristirahat dalam ruang
berkelambu, atau di atas dipan yang empuk. Ia ingin minum arak dan dilayani
layaknya seorang tuan. Aku heran dan bertanya, di mana perkampungan yang ia
maksud itu.
“Kau
pergilah. Lanjutkan perjalanan ini. Aku lelah. Jika Rohi sudah tidak memiliki
hasrat ke sana, bagaimana aku juga ingin ke sana.”
Aku
melihat Dimin yang tertunduk. Di antara mereka hanya Dimin yang masih tampak
bugar. Tapi membayangkan pergi berdua saja dengan orang seperti itu membuatku
mual. Seperti aku akan dilahap oleh pandangannya yang kaku. Aku terduduk saja
melepaskan buntalan besar dan menunggu perintah.
“Kalau
aku pulang, apakah aku jadi pengecut?” tanyaku pada Metan, Rohi mendengarnya
dan ia baru saja menyeka matanya yang sembab.
“Apa
kau bisa pulang dalam keadaan tak bertenaga dan tidak punya bekal apapun. Apa
kau punya sesuatu atau seseorang yang menunggumu pulang?” tanya Metan.
Aku
terdiam. Aku ingin merentangkan tanganku dan memeluk mereka satu persatu. Tapi
tak jadi kulakukan karena aku tahu mereka tidak akan suka. Lambat laun aku juga
tidak menemukan harapan apa-apa jika aku menemukan keajaiban di timur. Aku
berdiri dan menatap ke langit. Matahari baru saja terbit dari timur, aku
menemukan cahayanya berkilauan. Di antara mereka bertiga yang terjerembab dalam
keputusasaan, aku melihat diriku yang berdiri sepenuhnya atas kemauanku.
“Aku
akan pergi ke timur, bukan karena keajaiban semata tapi karena tidak ada yang
membuatku harus kembali pulang.” Aku menunduk dan menahan degup dadaku agar
tidak menyisakan tangisan di mata.
Ketiga
orang itu melihatku dengan ekspresi datar. Aku melambaikan tangan dan mengambil
beberapa alat yang bisa kupakai seorang diri.
“Di
luar sana, kau adalah petarung terbaik, di dalam hati kau adalah keajaiban!!”
Metan meneriakkan kata-kata itu hingga aku tidak lagi bisa melihat mereka di
belakang. Aku terus berjalan dan menangis. Rasa-rasanya aku tidak akan pernah
sampai ke mana-mana, selain kepada pikiranku yang selalu menyala.***
Cikie
Wahab, bergiat di komunitas paragraf
Comments
Post a Comment