Namanya
Niko. Saat umurnya dua belas tahun ia pernah melawan sekelompok anjing liar yang
ada di ladang kosong di tepi hutan. Ia berhasil lolos dengan bekas gigitan yang membuat dua jari tangannya
putus. Pada umur lima belas tahun, Niko juga pernah dituduh mencuri seekor
kambing milik Sutan Kayo. Saudagar kaya di kampung Salam. Ia menyebabkan
kebakaran di gudang milik Sutan Kayo. Sehingga di umurnya yang masih muda, ia
harus mencicipi dinginnya lantai penjara.
Ia muncul kembali di kampung Salam dan melihat
bekas rumah yang ia tempati bersama Ibu dan dua adik kecilnya kosong melompong.
Tetangganya berkata bahwa si ibu sudah pergi dengan adik-adiknya ke pemukiman
yang lain. Barangkali mereka malu setelah kejadian penangkapan anak itu oleh
polisi setempat.
Niko
termenung di tepi jalan. Matanya melihat orang-orang yang melihatnya. Ia sudah
tujuh belas tahun kini dan kampung itu sudah berkembang dengan cepat. Tetapi
ingatan mereka tentang kehebohan pencurian dan pembakaran gudang itu masih
melekat kuat. Niko menoleh ke kiri dan ke kanan. Sebetulnya ia ingin menemui
Sutan Kayo dan mengatakan kekecewaannya. Maka ia berjalan ke arah selatan, di
mana halaman luas dan rumah besar berdiri di sana. Sedikit jauh dari rumah-rumah
warga, ada lapangan yang juga luas tempat bermain kambing-kambing milik Sutan
Kayo.
Niko
sampai di tempat itu dan melihat hamparan tanah yang telah di tata rapi. Ia
tidak melihat seekor kambing pun ada di sana. Kambing Sutan Kayo bisa dikenali dengan label SK pada tubuh
binatang tersebut. Dan tanda itu menunjukkan kualitas terbaik yang ada.
Mengingat hal tersebut, Niko juga ingat tentang rentetan kejadian sebelum
peristiwa naas itu berlangsung. Niko menyapu muka dengan telapak tangannya dan
bersandar di pagar.
***
“Lalu
apa salahnya kuambil kambing yang tidak ada cap? Berarti itu bukan milik Sutan
Kayo, kan?” Tanya Niko saat bertemu Muktaran di tepi sumur tua. Muktaran adalah
salah satu pekerja Sutan Kayo yang ditugaskan membersihkan kambing-kambing
saban petang. Niko melihat Muktaran tengah menarik dua ekor kambing yang kurus
dan kecil.
Muktaran
menoleh dan memandangi Niko dengan seksama. Di tangan Muktaran, sebuah sikat
yang semula digunakan untuk membersihkan kambing terjatuh ke tanah. Muktaran
kaget dan bertanya. “Kau ada apa kemari? Sudah lama kita tidak bertemu?”
Muktaran kembali menyikat tubuh kambing itu.
“Iya.
Sudah lama kita tidak bertemu. Kau sahabatku. Tapi kau terlalu sibuk dengan
pekerjaanmu. Kau tidak mau berteman dengan anak miskin sepertiku, kan? Bagaimana?
Apa kau tahu kambing mana yang bukan milik Sutan Kayo?”
Muktaran
mendelik tajam dan berkata, “Kau tidak bisa mencuri apapun dariku!”
“Hei.
Aku tidak mencuri apapun. Aku hanya bertanya padamu, Taran. Jika kau lupa
memberi label SK pada kambing-kambing yang jumlahnya ratusan itu, apakah kau
akan mengingat kambing mana saja dan menempatkan posisi mereka semestinya.”
Pertanyaan Niko jelas menyinggung
temannya itu.
Muktaran
dengan wajah tidak senang menjawab, “Bahkan jika mataku tidak bisa melihat,
telingaku mampu menangkap dan mengenali arah langkah mereka.”
“Begitu
ya?” Tanya Niko dengan tak percaya. “Tak lama lagi mereka akan jadi santapan
Sutan Kayo. Tahukah kau berapa banyak kolesterol yang ditimbulkan untuk membuat
Sutan Kayo mati lebih cepat?”
“Hati-hati
dengan bicaramu, Kawan. Umur bukan masalah bagi Sutan Kayo. Kau jangan
mengusikku. Kalau kau tak punya uang pergilah. Carilah roti kering untuk
adik-adikmu itu. Itu lebih murah dari sepotong daging kambing.”
Mendengarnya,
Niko membalikkan badan. Ia ingin pergi dari tempat itu. Ia melihat wajah-wajah
orang yang lalu lalang. Ia tidak lagi berminat pada percakapan dengan Muktaran.
“Bermimpilah
setinggi langit, Niko!”
“Baiklah.
Terima kasih, kawan. Jika aku punya uang akan kubeli kambing-kambing itu.”
Niko tersenyum meski hatinya terus
memikirkan perkataan Muktaran. Pulang dari tempat itu ia duduk termenung. Kedua
adiknya pasti dibawa ibu ke ladang kering. Mengais-ngais rezki yang mungkin
bisa dijadikan makanan bekal pulang. Niko mengusap wajahnya dan tertidur di
tikar pandan. Ia baru terjaga saat suara-suara teriakan terdengar di pintu dan
ketukan keras hampir merobohkan pintu rumahnya itu.
Saat
bangkit dan melihat apa yang terjadi, Niko menyadari ada seekor kambing di
dalam rumahnya yang sempit itu. Kambing dengan tanda SK di bagian paha dan menjadi
sebab musabab keriuhan. Sadar akan hal itu, Niko langsung pergi ke pintu
belakang dan menaiki papan pembatas. Berlari sekencang-kencangnya menghindari orang-orang
yang meneriaki dirinya sebagai pencuri. Demi menghindar itulah ia masuk ke
gudang milik Sutan Kayo dan tak sengaja menyentuh pemantik api hingga mengenai
drum berisi minyak tanah . Segalanya terbakar, termasuk dua rumah yang ada di
sebelah gudang.
***
Niko
tersentak. Ada dua hal yang ia lupakan saat kembali ke rumah kecil itu setelah
dua tahun ia berada di rumah tahanan. Pertama, ia tidak lagi berhak menempati
rumah itu setelah ibunya pergi dan tidak mau tahu tentang apa yang terjadi
padanya. Kedua, ia menyadari bahwa Muktaran telah menyebabkan ia disalahkan
semua orang dan membuatnya merasa sedih dan sia-sia. Kemiskinan yang terus
menyergap keluarganya telah membuat Niko beranggapan, ia harus mengubah
segalanya suatu saat nanti. Niko bingung dan ingin bertemu Sutan Kayo.
Maka
ia pergilah ke rumah orang besar itu. Niko tidak membawa apapun selain dirinya
sendiri. Niko memencet bel yang terasa dingin di jemarinya yang masih ada. Niko
juga belajar bagaimana bersikap baik dan sopan pada orang lain ketika berada
dalam tahanan. Pagar terbuka, Niko masuk dan berjalan ke ruang tempat saudagar
besar itu. Oleh salah seorang petugas di rumah itu, ia menyilahkan Niko masuk
dan menunggu.
Tampaknya
tidak serumit yang Niko bayangkan ketika bertemu Sutan Kayo yang dielu-elukan
banyak orang. Orang besar itu memang terkenal kaya. Dan yang menjadi pertanyaan
Niko hingga saat ini adalah mengenai hukuman dan ketidakpedulian Sutan Kayo
pada pembelaan yang seharusnya Niko dapatkan.
Niko
mendesah ketika hampir satu jam ia menunggu di ruangan untuk bertemu Sutan
Kayo. Ia diberi minuman tiga botol oleh pelayan. Ia hanya meneguk sebotol air
mineral dan tidak menyentuh yang lain. Ia perhatikan ruangan itu dan laci-laci
yang ada di dinding. Niko hampir saja pulang setelah tertidur sejenak dan kesal akan lamanya menunggu.
Saat
Niko berdiri, pintu terbuka dan Sutan Kayo muncul dengan tersenyum.
“Lama
menunggu, Niko?” Tanya Sutan Kayo.
Menyadari
kalau ia dikenal oleh Sutan Kayo. Niko menunduk dan berkata. “Maafkan aku, Pak.
Aku bisa menunggu sebab tak ada yang menungguku di rumah. Aku bisa menunggu
sebab ada yang menganjal di hatiku dua tahun ini.”
“Aku
sudah tahu itu. Bagaimana kau bisa kemari?” Sutan Kayo duduk, membuka satu
botol minuman dan meneguknya. “Ini dari Pulau. Nikmat sekali. Kau belum coba
ini?” Sutan Kayo mengalihkan pembicaraan.
“Bagaimana
bisa waktu itu, Bapak tidak bertanya siapa yang salah? Kenapa menghukumku
seperti itu?” suasana hening seketika. Niko meneguk minumannya kembali. “Aku
memang miskin. Tidak sekolah dan punya Ibu juga dua orang adik yang harus
kubiayai. Aku tidak tahu bagaimana kondisi mereka setelah itu. Apakah bapak
tahu rasanya kehilangan keluarga dan kesempatan mengatakan aku tidak bersalah?”
Niko menatap ke lantai yang dingin.
Sutan
Kayo mengangguk-angguk. Ia juga mulai membuka lengannya yang sejak tadi berada
di dalam kantong jubahnya. “Kalau bukan karena Muktaran, mungkin aku sudah
membunuhmu waktu itu.”
“Tapi
aku tidak mencurinya, Bapak. Aku bahkan tidak pernah menyentuh kambing-kambing
itu. Dan soal kebakaran itu, aku tidak sengaja. Maafkan aku.”
“Kau
pasti sangat lapar. Pelayanku akan memberi hidangan lezat siang ini. Duduk
saja. Aku tidak harus menjelaskan apa-apa kepadamu. Kekesalan memang akan
selalu ada dalam hidup, bukan? Dan apa yang kau pelajari di tahanan tentu bisa
membuatmu berpikir lebih baik.”
“Aku
tidak lapar. Aku tidak mengemis. Aku
terbiasa makan apa adanya. Aku cuma ingin kau memberiku modal untuk memulai
hidupku yang baru.”
“Oh
begitu. Permintaan yang sama dari hampir seluruh orang.”
“Persis.
Aku salah satunya.”
Niko
berdiri. Ia tidak merasa melucu siang itu. Tapi setelah Sutan Kayo memaafkan
dirinya –meski tidak membantunya sama sekali. Niko pulang dan memulai hidupnya
yang baru. Dan bertahun-tahun kemudian, setelah Niko mempersunting seorang
perempuan baik-baik. Ia telah mempunyai belasan pegawai yang akan patuh pada
perintahnya. Niko bertemu Muktaran yang masih setia pada kambing milik Sutan
Kayo. Niko mengucapkan terima kasih atas apa yang telah dilakukan Muktaran
belasan tahun lalu meski Muktaran menyangkal hal tersebut dan mengatakan ia tak
pernah menjebak Niko dalam situasi pencurian itu. Niko tak percaya dan
bertanya-tanya siapa yang melakukan itu. Tak ada satupun yang bisa menjawabnya.
Bahkan saat dua adiknya mampu meraih gelar sarjana dan cerita ini sampai ke
tangan pembaca, Niko tetap tidak tahu siapa yang meletakkan kambing bertanda SK
itu di belakang pintu.***
Comments
Post a Comment