Segala Laut
I Di bawah tangga yang bertingkap
derap langkah gagap
kabar negeri hanyut
dalam tubuh-tubuh tak
selamat
berpuluh kisah dari para
penjual rempah
cinta yang mengeja batang
basah
pucuk rebah dan bau tanah
segala yang bertandang
membawa ringkih pulau
nun jauh
dari bawah tangga kala senja
orang-orang meneriakkan
sejarahnya
budak di sampan
hanyut tanpa tujuan
ikan di perigi jadi buih
hingga dipenuhi pasir
tak hentinya derita mengalir
II Pun laut telah jadi badai
dan gelombang menyapu pantai
sebab kita tak jua kan pandai
mengarah perahu di sela gemuruh
padahal langit kelak runtuh
tatkala dingin memanggil-manggil
dan resah merutuki segala kisah
hendak kemana melangkah
jarak tak lagi beda
luka telah merata
di semenanjung Malaka
kayuh patah
berserak segala rupa dalam
ingatan yang tak membawanya pulang
menepi ke dalam sekarat
tenggelam serupa kiamat
III. Hingga pulang ke tepian
Seperti melepas
rindu yang paling dalam
Bertatap muka yang kerap dibakar matahari
Berhari-hari ia tak kembali
Hujan membawa kabar
Di gelombang yang menghempas karang
Dalam nyanyian anak-anak nelayan
Perahu yang retak
Syair yang menyerak
Tapi agaknya, laut masih bungkam
Pada panggilan setia orang sepasang
Biarlah, pulang jadi harapan
Dalam lipatan lapuk yang dikenai kutuk
Koma
Malam turun saat kereta diam
Ada nyala api dalam dada
Ada dingin yang menyusup di kepala
Mengecil dan pelan-pelan terlupa
Melintas seperti gelap pada tutup mata
Hingga kering di bibir bicara
Kita sudah lupa saat tiba keluh kesah
Yang timbul selalu saja luka
Waktu telah lama meniadakannya
Dan sepi jadi
penanda di antaranya
Gerombolan
Angin
Yang membuat pijar pada kayu lapuk kita
Adalah tiupan angin selatan ke utara
Kecil ia sebab jurang basah
Telah meredam suara-suara
Jika besar adalah patahan arang yang terakhir
Maka kita tunjuk kesedihan paling getir
Duduk bersama
Menceritakan seberapa besar udara
Yang memenuhi angan-angan
Kita tak perlu melihat kepulan asap
Menyumpahi reranting
Dan remah daun yang lupa diambil
Segerombolan angin memuting
Dari bayang mata
Ada yang menjalar serupa peluk mesra
Hingga tinggal abu
Lumur ke seluruh tubuh
Tak Ada Sepi
yang Datang
Terlalu lambat untuk menyadari musim
yang berkejaran antara hujan dan kemarau di daratan
segala jaga yang kita alirkan
merentang mencumbui gulita
membayang dalam sebuah figura
dan kelesuan lenyap seketika
ada harapan yang tak kunjung padam
ketika dari balik kaca kita menemukan
gemetar yang mengeja doa
suara yang menyemai kata
dan untuk setiap percintaan
tak ada sepi yang akan datang
hingga rintih kita tinggalkan
Kau Peluk
Kaulah yang kupeluk
Saat hujan satu-satu menceritakan dinginnya
Tentang remah sisa kenangan
di dalam surat kabar
Tentang rindu tertahan
Yang mengurai dendam
Selepas adzan
Kita akan menemukan ingatan
di dada bidang
yang kupeluk seperti bayangan
Pekanbaru.
Desember 2013
dimuat di RiauPos. 15 Desember 2013
Comments
Post a Comment