Pada pagi yang dingin, ia menyaksikan
matahari muncul seperti warna bika yang pucat. Saat itulah ia yakin bahwa kau
akan datang. Meminta maaf dan memberikan harapan dari sisa-sisa nyanyian dan lilin
yang kau tiup bersama teman-temanmu tadi malam.
Ia juga memastikan bahwa selepas
perayaan ulang tahunmu, kiamat tidak akan terjadi. Setidaknya hingga beberapa
mimpi menjadi nyata dan doanya terpenuhi. Ia kucek matanya berkali-kali da
menelepon petugas apartmen menanyakan sarapan yang belum juga tersedia. Padahal
perutnya sudah kosong dan berbunyi
Ia lega. Kau tahu kenapa? Karena petugas
apartmen itu menjawab dan menjanjikan sarapan akan datang dalam tiga menit
kemudian. Ia mengomel mengatakan apartmen ini tidak lagi melayani dan hanya
mengeruk keuntungan semata. Sebentar kemudian ia melihat keluar jendela.
Matahari yang kuning, udara yang dingin (Lalu bagaimana jika matahari
benar-benar kehilangan panasnya?) ia ketuk pintu jendela berulang-ulang, menyebut
namamu dan merasakan suasana telah menjadi kuning. Ah, kenapa makanan belum
juga tiba, kesalnya.
Ia tengah memikirkanmu dan kau mungkin
juga sedang memikirkan dirinya. Lihatlah bagaimana ia berwajah sendu ketika
membaca koran dengan judul berita perkosaan, ia menolak membacanya sampai
habis. Ia tak percaya pada siapapun selain dirimu. Hebat! Maurin… Maurin, Ia
cantik sekali.
Ia mengeluarkan teriakan kecil, mengetes
suara dan melihat ke badan jalan di bawah sana. Seperti biasa, dipenuhi motor
dan mobil yang lalu lalang. Benar hari ini kuning, segalanya kelihatan kuning.
Tapi ia berusaha untuk tetap tenang dan kembali menelepon si petugas apartmen.
“Hei! Aku minta sarapanku sekarang juga.
Aku sudah bayar!”
Ia menutup telepon dengan kasar.
Beranjak ke kamar kecil, tentu tak perlu kau tahu apa yang ia lakukan di sana.
Yang pasti ia akan kelihatan cantik dan lebih cantik dari tadi.
“Permisi nona Maurin ! Makanan sudah di
meja. Telepon kami jika perlu sesuatu lagi.” Seorang pramusaji mengantar
makanan dan segelas kopi panas. Ia kembali keluar dari kamar kecil dan melihat
pramusaji sudah tidak lagi di sana. Ia
segera memoles bedak dan bercermin. Kau benar soal penampilannya. Ia Maurin,
akan cantik meski tanpa polesan apapun. Ia tersenyum sinis di cermin dan menghabiskan
sarapan pagi itu segera.
Ia pasti ingin menunggumu di bawah,
kalau kau tak datang juga dan membalas pesannya. Maka pukul tujuh pagi ia sudah
menuruni tangga dan memperhatikan hari yang kuning membuat semuanya kelihatan
kuning. Ia menyentuh asoka yang berwarna
merah namun hari yang kuning, membuatnya tampak kuning. Maurin bertaut alisnya, tapi ia enggan menanyakan
apapun pada petugas apartmen tentang matahari yang kelihatan kuning.
Nah, kau di mana? Apa kau masih tidur
dengan setumpuk kado dan kartu ucapan selamat atau dengan teman-teman yang kau nomor satukan
itu. Ia selalu kesal jika kau meninggalkan ia berlama-lama di kamar.
Bayang-bayang tentang ketakutan selalu
membuatnya merasa terancam. Ia berharap semalam kau pulang dan makan bersama
dengan doa-doa untuk masa depan. Tapi ia tetap tersenyum dan berdiri ketika
sebuah taksi berhenti di halaman. Ia pikir itu kau, tapi rupanya tidak.
Seorang pria turun dan membawa
sekeranjang hadiah. Dari halaman itu pula tiga anak lelaki berhamburan ke
pelukan si pria dan mengucapkan kata sayang. Maurin mencoba memejamkan mata.
Anak-anak itu memberi kecupan dan mendapat kado berwarna kuning. Ketiganya
meniup terompet dan tertawa. Sementara ia terus menunggu taksi berikutnya yang
akan mengantarkanmu segera.
“Bisa kau beritahu hari ini tanggal
berapa?” Ia bertanya pada wanita baya yang tergopoh-gopoh menuju taksi.
“Kau ini lupa? Ini tanggal satu.” Wanita
itu kesal karena ia menganggu waktunya.
“Maaf . terima kasih.”
Ia kembali berdiri dan memandangi wanita
itu memasuki taksi. Lagi-lagi hari yang kuning membuat wajah wanita baya itu
kekuningan. Ia mendesah, menyeka pipinya yang lembab tiba-tiba.
Ia berdiri lagi. Sebuah mobil berhenti. Membuka jendela dan
membuang bungkusan makanan ke jalan. Apa orang-orang itu tidak berpikir untuk
membuangnya ke dalam kotak sampah. Maurin memungutnya dan merasa udara
dingin menerpa tengkuknya. Ia melemparkan bungkusan itu ke dalam kotak
surat. Ia ingin seseorang merasa sedih ketika surat yang datang itu bersama
sampah. Ia tidak kuasa menahan tawa.
“Nona Maurin.” Petugas apartmen
memanggilnya. Ia menoleh dan menunggu petugas itu bicara. “Bisakah anda ke
lobi. Ada yang ingin kami tanyakan pada nona.”
“Oh ya? Penting?” ia terkejut. Harusnya
kau memang sudah di sini dan melihat bagaimana ia bingung dan memandangi hari itu dengan setengah
linglung. Mereka masuk ke sebuah ruang. Dindingnya dipenuhi lukisan dan piano
besar bertengger di sudut ruangan. Semuanya tampak kuning. Petugas apartmen
meninggalkannya. Ia tengah sibuk menghubungi teleponmu. Dan saat itu pula pihak
apartment menyapanya.
“Nona Maurin. Maaf menganggu waktumu.”
“Tidak apa-apa. Apa ada sesuatu yang
penting?”
“Apa anda ingin terus menetap di sini?”
“Maksudnya?”
“Kami bersepakat anda harus segera
pindah. Anda terlalu banyak membuat
masalah. Tentang seseorang di kamar anda. Kami bisa memanggil polisi segera.”
Ia menunduk dan matanya kabur. Ia
tetaplah seorang perempuan dan berharap kali ini adalah sebuah kesalahan. Apa
dengan kecantikannya itu telah membuat masalah, atau latar belakang dan juga
asal usulnya? Maurin mendesah, selama ini ia kerap membawa teman prianya ke
apartmen, menyebabkan kebakaran di dapur, bertengkar dengan sejumlah teman
wanita dan tampil sebagai perempuan yang di goda banyak pria.
Ia sadar saat dua minggu lalu kau
berjanji untuk membawanya kemana saja, agar ia tak lagi bermasalah dan di
anggap sampah. Kau sangat pandai berjanji. Kau harusnya tahu Jakarta begitu berat untuk ia tinggalkan
karena kau. Matahari yang kuning itu telah membawanya berangan-angan dalam
mimpi. Ia pikir sebentar lagi kiamat akan datang.
Maurin berlari ke kamar. Mengumpulkan
semua foto tentang persahabatan kalian dan tentang kemesraan selama dua minggu
belakangan. Ia berpikir hari yang kuning telah menyebabkan kau pergi, mengusirnya
dan menghancurkan semua harapan yang sama sekali belum dimulai.
“Nona Maurin…Nona! Kau mau kemana?”
Petugas apartmen terus melihatnya.
Petugas itu mencoba berdialog dengannya. Ia pikir perempuan itu hendak
melarikan diri.
“Aku harus pergi. Tapi aku akan menunggu
hari ini cerah. Kau jangan mengangguku. Tutup pintu!! Beri aku waktu hingga ia
datang!” ia menangis tersedu-sedu. Semua hal yang ia lakukan dahulu benar-benar
tiada arti. Ia hanya menginginkan kau datang membelanya dan menjadikan ia
sebagai seseorang yang tidak bermasalah.
Ia hanya melihat matahari yang kuning, jalanan yang pucat dan mendengar irama
radio yang sendu.
***
Semalam seorang wanita datang pada pukul
lima pagi ke apartment Maurin. Maurin tak mengenalnya, namun wanita itu
mengatakan akan menikah dengan lelaki yang menjadi teman kencan Maurin. Mereka bertengkar, wanita itu menyebut Maurin
sebagai perempuan murahan. Tak terima, Maurin memukul wanita itu hingga
berdarah
Maurin benar-benar tak peduli. Ia tetap
mencintai lelaki yang menjanjikan sesuatu untuknya. Tapi wanita itu terus
membalas pukulan Maurin. Maurin pingsan
dan tiba-tiba menemukan pagi yang seperti itu. Kuning.
Ia menangis di sudut kamar. Dan pada
pukul delapan pagi, seorang laki-laki mengetuk pintu dan menemukan ia dalam ketakutan
“Aku tidak kemana-mana. Aku tidak
kemana-mana Maurin! Aku memang merayakan Ulang tahunku bersama rekan kerjaku.
Tidak akan kulupakan janji itu. Aku akan menjagamu.”
“Apa hari ini tidak kiamat?”
“Oh, kau bicara apa? Maurin. Apa yang
kau pikirkan? Kemarilah. Kau hanya butuh istirahat. Kau tidak akan
kutinggalkan. Kita menikah bulan depan.
Tapi kau harus mengurus semuanya hingga selesai. Kenapa Kau pukul wanita itu
hingga pingsan?”
“Wanita itu…?”
“Kau harus ikut aku.”
“Kemana? Aku tidak ingin di kurung!”
Petugas apartmen memandang iba. Mereka
sudah membawa wanita yang bertengkar dengan Maurin ke rumah sakit, wanita itu
pingsan cukup lama, sementara Maurin makin menangis. Lelaki itu menawarkan bantuan dan Maurin bergegas naik ke punggungnya. Mereka menuruni
tangga dan Maurin tak melepaskan tangannya. Maurin melihat cahaya lilin di mana-mana. Ia menutup
mata dan membayangkan hari esok akan lebih baik dari tamparan wanita itu.
Petugas apartment mengumpulkan botol
minuman ke dalam plastik. Ia memandangi Maurin dan berharap perempuan itu akan
kembali sembuh setelah menenggak minuman keras di kamar apartmen. Hari ini Maurin
harus mencari penginapan yang lain. Hari yang kuning hanya ada dalam pikiran
Maurin. (*
cerpen ini termaktub dalam buku Serumpun Kata yang di terbitkan dalam acara Pertemuan Sastrawan Nusantara ke 17 di Pekanbaru
Comments
Post a Comment