JULI.
2011
Keluar
dari Hotel, Wina menenteng coklat Sachertorte
untuk ia bawa ke Karnter Strasse,
pusat perbelanjaan yang terbentang dari alun-alun Stephenplatz. Ia duduk di salah satu bangku dan mengunyah coklat
itu hingga lumer. Matahari sudah memaksanya untuk keluar daripada berdiam diri
dalam kamar. Ia tak hiraukan tatapan orang-orang berambut pirang.
Sebentar
lagi pukul empat sore, ia ingin sekali menonton paduan suara di gedung opera
Wien, gedung yang membuatnya ingin bersembunyi di salah satu tiang besar sambil
menunggu teman kencannya datang. Ia suka sekali melihat gedung itu sambil
mengkhayalkan seseorang. Mulutnya terus saja mengunyah pelan dan tak menyadari
ada orang yang tengah memperhatikannya dari belakang
“Musim
panas yang indah, Win?” orang itu mengejutkannya
“Billi!!
Kau membuatku kaget. Ah, ini bulan juli. Musim karnaval, bukan? Coklat ini
enak!” Wina menyodorkan coklat itu, tapi Billi menolak. Ia bisa gemuk jika makan yang enak terus-terusan.
“Aku
ingin mengajakmu naik Strassenbahn ke
utara, melewati terusan Donaukanal itu.”
“Ada
apa di sana?”
“Jalan-jalan
saja. Pohon Chestnut tengah berbunga putih, kau pasti suka melihatnya.”
“Ya.
Aku suka. Aku ingin berfoto dan membawa bunga itu untuk Ibu.”
“Besok
pagi sekali kita ke sana.”
“Studimu
bagaimana?”
“Berjalan
lancar.”
“Syukurlah.
Kalau tidak aku bisa dimarahi ibu karena pulang tidak tepat waktu.”
Wina
mengangguk-angguk, diikutinya langkah Billi menuju salah satu toko besar di sana. “Kita cari oleh-oleh
saja,” bisiknya kemudian.
___
Beberapa bulan yang lalu,
Wina masuk dan memandangi
seisi ruangan di lantai dua. Beberapa lukisan mengantung di dinding kanan. Ada
dua jendela besar dan di antara keduanya, sebuah piano berdiri kokoh. Di sisi
kiri ada lukisan dirinya, ia tersenyum-senyum melihat lukisan itu.
“Kau mau dilukis
lagi?” suara itu masuk dari pintu di belakangnya. Pria berkumis tipis dengan
kacamata bening yang disangga oleh hidungnya yang mancung, membuka piano dan
merapikan kertas lagu yang berserakan.
“Bang Husni. Di
sini sepi, pada kemana?” Wina mengikuti pria itu dan berdiri di samping piano.
Angin dari jendela menerbangkan rambutnya yang tergerai.
“Sedang libur.
Sudah dua bulan kau tidak datang. Ada apa?”
“Aku ada urusan
bang. Kuliah sudah selesai dan kini aku sedang mencari pekerjaan sesuai
bidangku.”
“Kau masih harus
belajar lagi. Banyak hal yang mesti kau pelajari.”
“Ya, itu betul. Kemarin saja aku mencoba mendesain miniature
rumah, tapi yang ada malah berantakan.”
“Tidak semua
orang suka dengan konsep kita. Kau harus bisa memahami permintaan pelanggan
yang memakai jasamu.”
Wina
mengangguk-angguk, ia duduk di samping pria itu, mengikuti tuts yang dimainkan.
Pria itu punya aroma yang sangat Wina hapal. Bahkan diantara sekian tutor yang
pernah mengajarinya, hanya pria itu yang membuat Wina mau bercerita apa saja.
“Kau masih ingat
chord Mozart?”
“Sedikit. Aku
ingin sekali bisa ke Wina. Musik ataupun
bangunan di sana selalu menarik untuk dipelajari.”
“Sesekali
belajarlah dari negeri sendiri. Apa kau tertarik dengan pria di sana?”
pertanyaan pria itu membuat Wina setengah mencibir, dicubitnya lengan pria itu
sebentar. Wina terus saja menikmati permainan pria itu dengan bersandar di
bahunya.
“Kau tidak mau
bekerja padaku lagi?” tanya Husni
Wina menoleh dan
tersenyum. “Bukankah aku sudah menawarkan diri, abang saja yang gengsi
menyuruhku membersihkan kolam ikan itu. Bukannya dari dulu hanya aku yang bisa
membersihkannya dengan sangat teliti.”
“Oh ya. Aku
lupa. Haa...ha..”
“Ah. Tidak
pernah serius. Aku kuliah juga karena abang. Kalau abang tidak keberatan, aku
mau bekerja di sini tanpa di bayar.”
Husni menyenggol
lengannya. “Kau pikir aku ini bos yang berhati jahat? Dan aku tidak suka
mengungkit hal yang telah lalu. Carilah pekerjaan di luar sana. Bukan berarti
aku mengusirmu dari sekolah ini.”
“Sama saja.”
Wina menunduk kecewa
“Nah. Kenapa
saat aku menaruhmu untuk jadi pegawai di sini kau menolak?”
“Sudahlah, Bang.
Aku tidak mau berdebat. Aku belum mahir mengajari musik setingkat SMA.” Wina
diam kemudian dan mendengarkan Husni memainkan tuts piano perlahan.
Ketika lonceng
dalam ruangan itu berdentang sekali, Wina tersentak dari lamunannya, ia berdiri
dan melongok ke luar jendela.
“Kemana penjual
eskrim corong itu, Bang? Sudah lama rasanya tidak mencicipinya.”
“Oh, dia tidak
berjualan lagi. Kau sudah lama tidak kemari. Kalau kau ingin eskrim kita bisa
beli di sana. Di dekat minimarket itu.”
“Sekarang ya?”
“Ya, ayo!” Pria
itu berdiri, menutup piano dan membuka pintu. “Mereka punya coklat yang lezat
di sana. Kau pasti suka, mereka baru buka dua bulan lalu.”
Dari lorong anak
tangga, mereka turun ke lantai bawah. Husni membuka pintu dan Wina menolak
untuk naik motor bersamanya. “Kita jalan saja, bang.” Wina beralasan.
“Ini hampir
siang. Panas. Kau bisa kelelahan nanti.”
“Aku ingin
mengenang jalan ini nantinya. Lagipula toko yang abang sebutkan itu tidak
terlalu jauh.”
“Ya sudah.
Jangan menangis jika nanti kepanasan.”
Wina menahan
tawanya dan membiarkan langkahnya serasi dengan langkah Husni.
***
Ada bunyi mesin
pengaduk, suara pesanan dan lagu Oktavia yang terdengar silih berganti. Wina
terus memandangi wajah yang ada di hadapannya itu. Dua bulan tak bertemu, entah
apa yang Wina rasakan. Pria itu manis tapi juga dingin, hanya Wina yang bisa
membuatnya mengatakan sesuatu bahkan melakukan hal di luar kebiasaannya.
Pria itu punya
lesung pipi di kanan. Wina mengenalnya sejak lama, bahkan Wina lupa bagaimana
awalnya mereka berkenalan.
Pesanan tiba.
Eskrim bolu dan krim coklat. Wina selalu
suka coklat. Husni pun begitu, tak ada yang dapat menghilangkan kebiasaan
mereka. Lelehan coklat di bibir Wina selalu membuat Husni ketawa.
“Kau tahu
bagaimana cord lagu itu bisa bekerja di hatimu?” pertanyaan Husni membuat Wina
kebingungan. “Biarkan saja nadanya kau rekam di ingatanmu.” Lanjut husni
“Tapi, aku lebih
suka kalau abang yang mengajariku.”
“Kau akan bosan
kalau aku terus yang mengajarimu.”
“Biar saja.
Bukankah harus banyak yang aku pelajari?”
“Kau memang
murid yang....”
“Apa? Jangan
katakan aku murid yang nakal.”
“Tidak. Tidak.
Kau selalu istimewa.”
“Benarkah?” Wina
merasa perkataan itu mendebarkan jantungnya. Tapi Husni tak menjawab dan asik
mengunyah bolu di mulutnya. Wina pun mencicipinya. Ia melihat Husni yang
tenang, selalu tenang. Seperti alunan musik yang damai.
“Kapan kau akan menikah?
Ibumu bilang kau akan di jodohkan?”
“Itu cemoohan
untukku? Apa abang sendiri tidak ingin menikah, abang sudah dewasa. Sudah dua
puluh lima. Aku masih dua puluh. Hahaha.”
Husni tak
menjawab. Sikap dinginnya itu yang membuat Wina geram dan mencubitinya sesuka
hati. Wina jadi merasa bersalah dan meminta maaf. “Aku tidak akan membahasnya
lagi.”
“Tidak apa-apa.
Dengarkan saja lagu ini.”
Lagu
yang selalu kau tahu
Ku
dendangkan malu
Agar
tak ada yang buatmu ragu
Kau
dan aku entah jadi satu…
Wina bertepuk
tangan. “Suara yang seksi.”
“Coklat ini?”
Husni balik menggodanya. Wina tertawa dan ia pun berjanji mempelajari banyak irama
dan lagu. Kelak, jika ia bisa mewujudkan cita-citanya, pria itulah orang
pertama yang akan ia beritahu dan pria itulah yang akan terakhir ia simpan di dalam
hati.
“Sudah. Jangan
melamun! Kau tak mau menjadi pengagumku?”
“Ahh. Tidak
mungkin. Hahaha.”
Husni mengacak
rambut Wina. Tawa mereka begitu lepas.
***
Menjelang subuh,
Wina bergegas merapikan baju dan memasukkannya dalam tas ransel. Seorang teman
mengajaknya ke Karawang. Teman sesama kuliahnya dulu juga tengah mulai merintis
bidang yang sama. Desain interior. Dan Wina surprise
jika ia mendapatkan pengetahuan dari hal tersebut.
“Ini kesempatan
baik, Bu, aku ingin mencari pengalaman. Ibu doakan saja ya.” Di subuh itu, Wina
hanya sempat menyuap nasi goreng tanpa telur. Ia memeluk Ibunya. “Kalau nanti
kakak kemari, Ibu tidak akan kesepian selama beberapa hari.”
“Kakakmu sudah
menikah. Tidak bisa sembarangan meninggalkan rumah. Kau juga jangan lupa
berdoa. Kalian perempuan harus bisa jaga diri. Ibu khawatir sekali.”
Wina mencium
pipi ibu, ibunya diam dan mengantar Wina hingga ke pintu depan. Anaknya sudah
dewasa dan banyak hal yang mesti berubah. “Jangan lupa hubungi ibu selalu.”
“Tentu, Bu.”
Wina masuk ke dalam taksi . “Ayo jalan, pak.”
lambaian Wina berhenti, ketika taksi yang ia tumpangi berkelok dan wajah ibunya tak tampak lagi. Jarak rumah ke stasiun tidak terlalu jauh, hanya memakan waktu sepuluh menit. Dan selama itu Wina sempat mengirim pesan singkat pada seseorang. Sesekali pandangannya nanar keluar jendela. Melihat seorang anak peminta-minta atau pedagang yang tengah pulang membawa dagangannya.
lambaian Wina berhenti, ketika taksi yang ia tumpangi berkelok dan wajah ibunya tak tampak lagi. Jarak rumah ke stasiun tidak terlalu jauh, hanya memakan waktu sepuluh menit. Dan selama itu Wina sempat mengirim pesan singkat pada seseorang. Sesekali pandangannya nanar keluar jendela. Melihat seorang anak peminta-minta atau pedagang yang tengah pulang membawa dagangannya.
Di stasiun,
orang-orang sudah berjubel menunggu antrian. Setelah membayar taksi, Wina segera
masuk kereta dan mengambil tempat duduk
yang bersebelahan dengan seorang pria berjaket. Wina tak sempat melihat
wajahnya, wajahnya tertutup topi cokelat. Mungkin pria itu tengah tertidur, pikir
Wina. Ia geser duduknya sedikit lagi.
Ia kembali menelepon
temannya itu dan mengatakan ia sudah naik kereta dan akan segera tiba di sana.
Saat matahari
sudah benar-benar masuk lewat kaca jendela, Wina merasakan gerah dan mengubah posisi
duduknya. Gerakan itulah yang membuat pria di sampingnya menoleh pelan.
“Apa kau bisa
duduk diam?!” Wina dibuat kaget karenanya. Dengan alasan tak ingin membuat
masalah dengan pria di dalam kereta, Wina minta maaf dan langsung diam.
Napasnya hampir tertahan. Ia mencoba tenang dan mengingat-ingat irama piano
yang dimainkan pria berkumis tipis. Jika saja mereka berdua bisa berterus
terang pada perasaan masing-masing, tentu tak akan ada yang sia-sia. Tapi, Wina
menerimanya dengan lapang dada, cita-cita membuatnya cukup tenang untuk
meninggalkan pria itu.
“Kereta
berhenti. Penumpang siap-siap berdiri. Peluit itu berbunyi panjang dan Wina
lupa pada pegangan tangannya, ia terpeleset dan tersenggol oleh desakan
orang-orang yang ingin masuk. Wina pun
terjatuh tepat di depan pria tadi, pria berjaket itu.
“Kau lagi! Apa
kau hanya membuat masalah?!” laki-laki itu benar-benar marah.
“Maaf. Maaf
saya...” Wina bangkit. Menunduk minta maaf dan tak berani melihatnya lagi. Ia
kabur keluar dengan setengah berlari. Tas ranselnya terombang ambing di pundaknya. Wina hanya ingin pergi dari tempat
itu segera.
BEBERAPA jam
kemudian, perempuan itu di ajak makan siang oleh temannya yang juga arsitek itu.
Mereka saling bercerita dan mempelajari apa yang harus mereka kuasai.
“Aku tak bisa
lama disini. Aku harus membantu ibu dan menemui pengajarku di sekolah musik.”
“Setidaknya
dalam empat hari ini, kau bisa belajar dari sebuah kerjasama. Kalau kau mau tinggal lebih lama, aku pasti
senang. Kau tidak mau kehilangan pria itu, ya?”
“Menurutmu? Tapi
aku tidak ingin berharap banyak.”
“Tidak apa-apa.
Makanlah apa yang kau suka. Aku yang traktir.”
“Terima kasih,
Rin.”
***
Comments
Post a Comment