Musim Bidadari Musim
Pelangi (1)
Saya
mengamati langit pagi dari lantai dua. Tak ada yang memeluk saya seperti biasa,
sejak beberapa minggu lalu dan hingga
kini saya berada di luar kota. Saya datang sejak kemarin malam dan saya tahu kalau suasana pagi di Kota Pelita ini
lebih menentramkan daripada yang saya temui di lain penginapan. Mak Jinji,
pemilik penginapan ini saya kenal betul dengan baik. Saya senang menginap jika
suatu saat saya merindukan tempat yang paling hangat.
Mak
Jinji tentu saja bahagia saya datang. Tetapi ia juga akan bertanya sampai saya
menjawab ada apa dengan saya dan bagaimana kondisi kekasih saya. Saya terkekeh.
Mak Jinji pasti tahu dari sorot mata saya. Bahwa tak ada pelangi itu lagi dan
saya tentu saja harus mendatangi kota ini untuk melihat pelangi yang biasanya
akan hadir tiap hari.
Saya
mencopot earphone dari telinga dan
memandang ke ujung halaman yang luas. Di antara kolam-kolam itu ada gundukan
rumput kering. Saya melihat dua orang pekerja wanita tengah memilah dan
memasukkan rumput itu ke dalam beberapa kandang sapi di dalam bangunan
belakang. Mak Jinji punya belasan sapi. Dan dua orang wanita itu barangkali
pekerja baru Mak Jinji sebab sebulan lalu saya belum melihat mereka selain para
laki-laki.
Perhatian
sayapun terpecah. Saya lihat pelangi muncul membentangi langit pagi yang cerah.
Tidak ada hujan. Saya yakin itu. Semalaman saya tidak tidur. Dan tentu saja
saya tidak melihat dan mendengar hujan hingga pagi ini. Saya mendapati pekerja
wanita itu melihat ke arah saya. Ia melambaikan tangan untuk bersikap ramah.
Saya tersenyum dan menunjuk pelangi. Mereka berdua mengangguk. Sayapun mencoba
memotret pelangi pagi itu.
“Saya
harap menemukan bidadari yang turun saat pelangi datang, Mak.” Saya menemui Mak
Jinji yang tengah menghirup teh hijaunya di ruang belakang lantai satu. Mak
Jinji tersenyum. Ia menatap keluar dari pintu yang terbuka lebar. Saya tidak
yakin ia setuju dengan kata-kata saya tadi. Ia memanggil dua orang pekerja
wanita dan mengenalkan mereka pada saya. Saya terkejut dan merasa Mak Jinji
tengah bercanda.
Saya
kikuk dan segera mengomel pada Mak Jinji ketika dua pekerja wanita tadi kembali
mengurus sapi. Saya akui mereka berdua memang cantik seperti bidadari dalam
cerita-cerita dan dalam pikiran manusia.
Mak Jinji pun berkata seperti ini pada saya ; “Tidak ada yang tahu masa
depan, Pian. Aku melihat kesuraman di matamu. Kalau kau menutup-nutupinya kau
akan kehilangan pelangi.” Kemudian ia memberikan sebuah arit pada saya. Maka
saya paham, ia menyuruh saya untuk segera membantu dua wanita tadi. Sialnya
saya sebagai penghuni penginapan malah ikut-ikutan mengurusi kandang.
***
Kota
Pelita di waktu siang juga begitu bergairah, pikir saya. Dua wanita tadi juga
sudah bertukar pakaian. Mereka menginap di salah satu ruangan di lantai satu. Mak
Jinji mengadakan jamuan makan siang dan tentu saja dua wanita tadi yang akan
membantunya. Saya pikir ini jamuan untuk kedatangan saya, tetapi tidak rupanya.
Ini musim pelangi, dan akan ada festival bidadari. Saya tidak yakin dengan
ucapannya. Saya rasa Mak Jinji bergurau dan membuat saya kelimpungan bertanya
kebenarannya. Sebagai orang yang dihormati Mak Jinji tentu tahu perihal
anak-anak perawan di kota ini. Saya membayangkan bidadari yang akan datang dan
saya cengengesan menatap perempuan itu mulai berdatangan.
Maka
saya mengingat kekasih saya dan tempat ini sebagai pelarian. Saya lalu
membayangkan ia datang dan memeluk saya. Sebab entah sudah berapa lama saya
tidak melihat wajahnya. Saya tahu ia sudah menemukan rumah yang lain. Yang
membuat ia menjadi bidadari seutuhnya. Saya malu. Malu pada Mak Jinji yang bisa
membaca pikiran saya. Karena itulah saya akan kembali kesini jika ada masalah.
Saya menunggu pelangi dan menurunkan bidadari yang tidak akan meninggalkan saya
lagi.
Kemudian
jamuan itupun berlangsung beberapa jam. Perkataan Mak Jinji tentang festival
bidadari ada benarnya juga. Beberapa perempuan berselendang duduk mengitari
jamuan. Saya berterima kasih pada Tuhan karena masih melihat musim seperti ini.
Saya potret mereka dan beberapa orang penginapan yang datang dari kota lain.
Saya
ingat perkataan kekasih saya beberapa waktu lalu. Katanya seperti ini; “Saya
sudah mengenal kamu, kamu baik dan selalu sayang pada saya. Saya tidak
menemukan tempat pelukan yang hangat selain bersamamu. Apa kamu tahu saya
menjalaninya dengan luka di dada. Saya akan pergi sebentar. Dan saya akan
kembali setelah saya menyelesaikan pekerjaan saya dengan laki-laki itu.”
Lalu
ia pergi. Lalu ia tak pernah menghubungi saya lagi
Saya
tahu menunggunya adalah pekerjaan bodoh. Saya laki-laki dan tidak pantas
diperlakukan semena-mena oleh perempuan. Tetapi saya tidak bisa membalasnya dan
tidak mau menghardiknya. Entah sebab cinta atau sudah tidak peduli lagi, saya
benar-benar tidak tahu. Saya merasa
tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengembalikannya. Biarlah ia melangkah sejauh
ia suka. Saya yakin saya tidak akan kenapa-kenapa.
Akhirnya
para perempuan di jamuan itu pulang termasuk laki-laki tua dan muda. Beberapa
orang yang menginap juga sudah kembali ke lantai atas. Saya dekati Mak Jinji
dan mengatakan hal sebenarnya.
Mak
Jinji tersenyum dan berkata “Semua perempuan berselendang tadi masih perawan.
Kau tidak suka satu orang saja? Ini jamuan rutin setiap bulan. Mereka punya hak
atas sapi-sapi ini.”
Saya
mendelik dan tersungging. Saya menggeleng. Bukan itu maksud saya. Mak Jinji
terkekeh dan meninggalkan saya sendirian dengan pikiran melayang. Saya menjadi
benar-benar kosong. Jelas semua perempuan itu cantik. Ah, bagaimana bisa, ada
perempuan cantik yang bisa hadir bersama di acara jamuan Mak Jinji. Sepanjang
melewati jalan masuk kota Pelita saya tak menemukan batang hidung mereka, aroma
parfum ataupun kembang-kembang yang menandakan perempuan cantik tinggal di kota
ini. Saya berusaha mengabaikan mereka dan bergegas menemui dua wanita pekerja
tadi.
Kedua
wanita itu menjelaskan bahwa mereka memang baru bekerja pada Mak Jinji. Mereka
berasal dari kampung sebelah dan juga baru menyadari ada pelangi yang tiap hari
muncul di langit barat. Mereka bicara pada saya dengan malu-malu. Saya pikir
pelangi yang hadir adalah proses alam akibat pembiasan cahaya. Saya tidak paham
soal alam begini. Dan saya tidak terlalu peduli sebab orang-orang juga
tampaknya tidak memusingkan hal ini.
Saya
kembali ke kamar dan mendapati telepon dari kekasih saya. Saya dibuat terkejut
dan bertanya-tanya. Apa lagi yang hendak dikatakannya pada saya. Bidadari itu
tidak ada bagi saya, meski Mak Jinji bicara ini adalah musimnya mereka kemari.
Saya
mengangkat teleponnya dan mendengarkan ia berkata
“Saya
tahu kamu dimana. Saya mencarimu ke rumah dan mereka bilang kamu pergi. Kenapa?
Apa ada masalah? Saya tidak suka kamu begitu dekat dengan Mak Jinji. Saya tidak
pernah suka. Saya ingin bertemu kamu dan membicarakan tentang kita. Saya
tersesat dan saya pikir saya harus mematuhi apa yang kamu katakan sejak dulu.
Bisakah kita bertemu.”
Saya
diam saja dan berdehem. Saya merasa suara kekasih saya seperti bunyi lenguhan
sapi Mak Jinji. Saya tertawa dan saya dapati ia mulai berteriak di telepon. Peduli
apa saya? Saya harus segera mengambil keputusan. Sebab musim ini tak mungkin
datang berkali-kali. Saya biarkan telepon itu dan menaruhnya di atas tempat
tidur. Sayapun turun ke lantai satu dan membawa kamera saya. Benar kata Mak
Jinji. Saya kehilangan pelangi, tetapi saya bisa mencarinya lagi di musim
bidadari seperti ini.
Saya
menyapa dua wanita pekerja yang tengah duduk di tepi kolam dan menanyakan apa
ada yang berminat menemani saya makan malam.(*)
Note
1.
Judul
puisi Hasan Aspahani
Terbit di Riau Pos. 9 Maret 2014
Comments
Post a Comment