@Jawa Pos. 14 september 2014
Kaktus
di Kepalaku
Cikie
Wahab
Kami
menuruni bebatuan setelah melihat matahari terbenam dan lampu-lampu mulai
dihidupkan penduduk distrik Sembilan.
Aku mendengar suara ibuku dari kejauhan. Ia memanggil kami, aku dan
anjing kecil bernama Tomodi. Yang sejak sore mendaki bukit batu. Bermain-main
sehabis pulang dari pelajaran yang membosankan.
Tomodi
mengibaskan ekornya sambil menggonggong. Kami berkejaran. Ia mendahuluiku dan
berhenti di depan pintu. Ibu berdiri di sana, menenteng keranjang berbentuk
kubus tempat ia biasa menaruh pesanan bunga. Sebelum aku duduk di samping Tomodi,
ibu menyodorkan keranjang itu ke mukaku.
“Selo.
Kau antarkan ini ke rumah Maryam. Ia sudah menunggu ini sejak kemarin.”
Aku
diam. Mengintip isi keranjang, “Kaktus!” seruku. Ibu tak menjawab. Ia menaruh
keranjang ke tanganku lalu ia bergegas masuk mengangkat telepon yang terus
berdering.
Dua
buah kaktus berwarna hijau menyembul dari dua pot kecil. Aku menutup kembali
keranjang itu dan melihat Tomodi yang menggonggong.
“Harusnya
ini tugas ibu, Tom. Tapi ibu sangat sibuk menerima telepon dan memotong
tanaman. Aku tidak mengenal Maryam lebih banyak. Aku cuma tahu ia seorang
perempuan kutubuku di distrik Sembilan ini. Kaktus bodoh ini lebih berharga
daripada undangan pesta.”
Tomodi
diam, menaruh dagunya ke lantai.
Aku
mendengar teriakan ibu satu kali lagi agar bergegas mengantarkan pesanan itu.
Aku berdiri. Tomodi ikut berdiri dan mengikuti langkahku menemui Maryam.
“Kau
bisa lihat sifat mereka dari pintu yang terpasang,” ucapku pada Tomodi. Kalimat
itu kudengar dari salah satu radio. Tapi aku lupa, kuabaikan namanya dan
memperhatikan pintu coklat dengat cat yang tidak lagi melekat, mengelupas
seperti sobekan kertas.
“Oh
Tuhan. Apa mereka, keluarga ini tidak memperhatikan pintu mereka yang pecah dan
terlihat menyeramkan.” Tomodi mendengar perkataanku. Beberapa detik kemudian
terdengar langkah kaki dan kunci yang diputar dari dalam.
Perempuan
itu muncul di hadapanku. Lampu bohlam yang berada di atas kepalaku menyorot
wajahnya yang diam membisu. Tomodi menggonggong lagi. Aku terpana. Baru kali
ini melihat wajahnya dengan sangat dekat dan jelas. Dia penghuni rumah 071
distrik Sembilan. Ayahnya pekerja harian di supermarket. Ibunya kudengar
terbatuk-batuk ketika Tomodi mengibaskan ekornya.
“Hush…!
Aku tidak suka anjingmu.” Perempuan itu mulai bersuara
“Tom.”
Ku usir Tomodi. Anjing itu mendengus dan berputar di halaman. Aku cekikikan.
Kupandangi kembali wajah Maryam dan menyorongkan keranjang itu ke hadapannya.
“Ini
kaktus pesananmu. Kaktus yang lucu.” Ucapku basa basi.
Ia
melihat keranjang yang kupegang lalu dikeluarkannya kaktus itu.
“Cantik
dan lucu. Terima kasih Selo. Katakan pada Ibumu. ”
“Itu
untukmu?” Pertanyaanku barusan mengambang ke udara. Sebab perempuan itu menutup
pintu dan meninggalkan derap langkah. Dari tempat aku berdiri aku masih
mendengar ia berteriak kegirangan pada ibunya.
Aku
melirik Tomodi. Ia menertawakanku. Seekor kunang-kunang mampir di telinganya
dan kemudian berdatangan semakin banyak.
“Kau
lihat, Tom? Perempuan itu aneh. Teman-teman di sekolah tidak ada yang
menyukainya. Ia tidak melihat ketampananku.” Aku tertawa. Tomodi mendengus.
“Sebaiknya kita pulang, Tom. Aku lapar.”
PAGI
itu, setelah menghabiskan semangkuk bubur buatan ibu dan melihat Ayah
mengeluarkan gergaji untuk memotong papan, Tomodi menggonggong. Ia memanggilku
dan mengajakku ke halaman depan. Ibu berdiri di antara rumpun bunga matahari
dan ada perempuan itu di sana, Maryam. Aku mendekati ibu dan bertanya.
Ternyata
ia ingin membeli kaktus yang baru. Kaktus kemarin terjatuh. Kukatakan pada ibu
kalau ia hanya perlu mengganti potnya. Tapi perempuan itu menolak dan berkata
kalau kaktus itu sudah rusak. Ia ingin kaktus baru. Padahal ibu tak punya
kaktus seperti itu lagi, ibu hanya punya kaktus besar seperti Tomodi.
Maryam
menunjukkan wajah paling menyebalkan pagi itu. Ia memelas dan membuat aku terus
memperhatikannya. Harusnya aku sudah pergi ke sekolah tapi karena dirinya, aku
harus ikut memikirkan kaktus.
“Itu
salahmu, Maryam.” Kataku. Ibu langsung melotot dan menyuruhku diam. Maryam
hampir menangis dan ia pulang dengan terburu-buru. Aku mengutuk dalam hati.
Tomodi menggonggong lagi. Kukatakan pada anjing itu, kalau Maryam pasti bolos
hari ini.
***
Aku
melihat Maryam pulang dengan terburu-buru. Ia datang terlambat dan kena hukuman
menulis catatan. Aku melihatnya keluar kelas dan tidak mengubris panggilanku.
Aku membuntutinya dan tiba di sebuah tempat. Ia menemui seseorang. Seorang
lelaki tua di antara blok rumah dan supermarket di mana ayahnya bekerja. Lelaki
tua itu tersenyum ketika Maryam datang. Aku mengintip mereka dari pagar.
Kudengar percakapan mereka
“Maafkan
aku, Kek. Aku tidak bisa memberikan kaktus itu. Mereka jatuh dan tidak
berbentuk lagi.” Maryam menunduk. Lelaki tua itu membalas dengan senyuman.
“Tidak
apa, Nak. Kenapa tidak kau bawa? Kaktus itu masih hidup. Kau tidak mencampakkan
mereka, kan?”
Maryam
mendongak kemudian menggeleng. Aku terkikik. Wajahnya lugu sekali. Akupun
pulang dan terus memikirkan kaktus itu. Tomodi menungguku di pintu. Ia menaruh
dagu ke lantai dan meloncat-loncat setelah aku memberinya potongan tulang. Ibu
menerima telepon lagi dan Ayah tengah keluar mengisi bensin. Kuperhatikan
kaktus besar di halaman.
“Apa
yang kau lihat, Selo. Makanlah. Setelah itu bantu Ibu menjemput kaktus untuk
Maryam.”
Aku
terlonjak kaget. Ibu berhasil menemukan kaktus baru untuk Maryam. “Benarkah,
Bu? Baiklah aku akan menjemputnya.” Ah, ibuku hebat sekali. Ia punya banyak
sahabat yang bisa menolong. Aku menjadi tidak lapar. Kupanggil Tomodi agar ikut
bersepeda dan mengambil kaktus baru.
“Bu.
Aku akan ke distrik delapan. Mengambil kaktus.”
“Hei.
Kau tidak makan dulu?”
“Nanti
saja. Aku bersalah telah membuat Maryam kecewa.”
Ibu
heran. Tomodi ikut mendengus. Aku terkikik. Sepanjang jalan Tomodi diam dalam
keranjang sepeda. Ia pasti mengerti kenapa aku begitu bersemangat. Aku
membayangkan wajah Maryam tidak lagi menyebalkan setelah melihat kaktus baru
nantinya.
Aku
berhenti di depan rumah Maryam. Barangkali ia sudah pulang. Tapi aku tak
mendengar suaranya. Hanya kudengar suara ibunya yang terbatuk-batuk. Pintu
terbuka sedikit. Aku menunggu lima menit tapi tak ada jawaban. Aku memberanikan
diri masuk ketika Ibunya batuk lebih keras.
“Apa
kau baik-baik saja, Bi?” tanyaku menyodorkan segelas air putih padanya. Ibu
Maryam meneguk air itu hingga tandas. ia menghela napas dan bersandar di
punggung kursi.
“Aku
baik-baik saja. Kau Selo? Teman Maryam?”
“Ya.
Kau tahu namaku?”
“Maryam
sering menceritakan dirimu. Ia bilang kau jago basket. Dan Maryam ingin main
basket.” Ibu Maryam terbatuk lagi. Aku tersenyum.
Perempuan
aneh itu diam-diam memperhatikan aku. Aku menyarankan Ibu Maryam berobat ke
rumah sakit. Ibu Maryam mengangguk terima kasih. Ibunya hanya alergi. Ia sudah
berobat dua hari yang lalu. Akupun pamit untuk pulang. Namun saat melewati
pintu keluar aku melihat kaktus yang kemarin. Kaktus itu masih tersimpan dalam
sebuah wadah kecil. Bentuknya tak lagi bulat tetapi penyot dengan duri yang
patah dan terlihat menyeramkan. Aku bertambah sedih melihatnya. Semakin lama
aku semakin memikirkan kaktus itu.
Tomodi
menggonggong dari luar. Aku bergegas keluar rumah dan mendapati Maryam di
hadapanku. Ia heran dan waspada. Dan meneliti apa yang aku bawa.
“Hei
kau berani sekali masuk ke rumahku.”
“Aku…itu.
Aku menyapa ibumu.” Seketika aku menjadi gugup.
“Itu
apa?”
“Oh
ini kaktus dari ibuku. Katanya…”
“Tidak
perlu!” potong Maryam.
“Ta..tapi.
kau ingin memberikan kaktus pada lelaki tua itu, kan.”
“Hah?
Tahu darimana kau? Kau membuntutiku? Selo. Aku tidak suka caramu.”
“Kau
juga suka membuntuti aku. Ibumu yang cerita.”
“Oh
Tuhan. Kau ini…”
“Kau
jadi mengambil kaktus ini atau tidak?”
“Berhentilah
bicara. Aku pusing.” Maryam masuk ke dalam rumahnya dan membanting pintu.
Tomodi mendongak dari halaman. Aku mendesah dan kecewa. Seharusnya aku tidak
bersikap kasar seperti tadi.
Malam
itu aku bermimpi kaktus tumbuh dalam kepalaku hingga duri-durinya menyakiti
kulit dan berdarah. Aku menjerit dan memanggil-manggil ibu. Ibu membangunkan
aku dan berkata Maryam sendiri sudah menjemput kaktusnya ketika aku tertidur.
Ibu bertanya kenapa aku bertengkar dengan Maryam. Aku tak bisa menjawab. Aku
hanya ingin bertemu Maryam dan bertanya kenapa ia memberi kaktus untuk lelaki
tua itu dan kenapa ia menanam ingatan kaktus di kepalaku. Hanya itu. ***
Pekanbaru.
Mei 2014
Comments
Post a Comment