Ketika
perempuan itu kebingungan dan duduk di sebuah bangku panjang, ia menjadi sebuah
kesunyian dan tidak menemukan kehidupan lain di sekitarnya. Ia berusaha
membunyikan napasnya kuat-kuat agar ada yang mendengar dan bertanya padanya, di
mana lelaki itu? Di mana orang yang menyatakan cinta padamu?
Sekali
lagi, perempuan itu memandang ke jalan. Yang tampak baginya adalah orang-orang
bergerak seperti angin yang lambat. Dan ia justru mengeluarkan tangisan secara
perlahan.
Mereka
datang dan pergi, mereka utuh membawa dirinya kembali. Perempuan itu hanyut
dalam perasaannya yang suci. Namun ia membuka mata dan menemukan seseorang
memeluknya. Ia menoleh dan meminta persetujuan atas apa yang terjadi bukanlah
hal yang ia inginkan. Bangku panjang itu jadi terasa sangat kecil dan dingin. Dan
dengan caranya yang terlihat ganjil perempuan itu berusaha tersenyum.
Bagaimana
ia bisa mengatakan tentang kelicikan cinta yang datang dan membuat ia
berpura-pura menikmatinya.
“Malika.
Ada apa ini? Kau kenapa?” Nadia bertanya keheranan.
Perempuan
itu menggerakkan bibirnya tanpa suara.
“Dia
sudah pergi. Dia membawa pikiranku. Dia…” terbata-bata perempuan itu bicara. Nadia
menggenggam tangannya.
“Lika.”
Dengan perasaan iba dituntunnya kembali perempuan itu ke dalam rumah dan
mendengarkan penjelasan Malika.
“Hari
itu ia datang. Aku lupa menutup pintu dan menemukan ia berdiri di hadapanku. Di
sini, ya di sini!” Malika menunjuk lantai dan berdiri di atasnya.
“Siapa?”
tanya Nadia.
“Tamim.”
“Apa
yang ia katakan?”
“Dia
mengunjungiku. Kau tahukan kalau dia suka padaku dan dia membawa sekantong
penuh kartu pos.”
“Oh
Tuhan. Masih ada hubungan dengan kartu sialan itu ternyata.”
“Ia
menemuiku. Aku merasa ia benar-benar mencintaiku. Tapi…” ekspresi Malika
berubah sedih. “Aku tidak menemukan dia lagi setelah semalaman ia menemani aku di sini.”
Nadia berdiri menatap Malika. “Malika, tidak
ada Tamim. Dia tidak pernah kemari. Kau tahu itu. Dan bukankah kau sendiri yang
bilang kalau ia akan menikah.”
“Tidak.
dia tidak boleh menikah. Dia berbohong. Lalu kartu-kartu itu?”
“Aku
sudah menghubunginya. Dia memang mengirimkan beberapa kartu pos itu. Dia memang
sempat menyukaimu. Tapi dia tidak akan segila itu kemari dan melupakan
kekasihnya yang baru.”
“Tapi
bukankah dia menyukaiku? Lalu… kau pikir aku gila?” Malika menangis
terisak-isak.
Nadia
segera memeluk Malika erat-erat. Nadia tahu ada rasa kesepian dan bersalah di
hati sahabatnya. Malika terpesona pada Tamim setelah berminggu-minggu mereka
sudah tidak saling bicara melalui telepon. Dan Malika menyangka Tamim akan
terus menyukainya sebagai seorang kekasih. Barangkali Tamim harus benar-benar
datang agar Malika tidak memendam rasa kecurigaan dan halusinasi perempuan itu
tidak bertambah parah dipenuhi rasa bersalah.***
:)
Lama-lama saya yang berhalusinasi menciptakan tokoh Malika ini :p
ReplyDeleteDuhh :'(((
ReplyDelete"Dia sudah pergi membawa pikiranku" :(
ReplyDeletecoba buat sketsanya si Malika, kak:D
Ini gabungan beberapa tema Kamisan ya Kak Cik X)
ReplyDeletehhmmm .... Malika .... hhmmmm.
ReplyDeletehmmm
ReplyDelete