Oleh Cikie Wahab
Kami masih
duduk mengelilingi sebongkah tanah berwarna merah yang tadi malam ditemukan
keparat itu dari hamparan ladang. Bongkahan yang padat itu tampak seperti batu,
namun ketika Mayan menggerus benda itu dengan ujung kukunya yang runcing,
butiran halus bertaburan ke atas papan. Mayan melihat diriku dan si keparat
dalam tempo cepat. Ia membuatku seperti ditikam dengan pernyataan yang mengakibatkan
separuh denyut nadiku berdetak cepat.
Mayan
bangkit dari duduknya dan membuka jendela. Seketika itu angin kemarau masuk dan
memberi aroma ilalang kering ke syaraf hidungku. Aku ingin bersin dan
secepatnya mengeluarkan sehelai tisu dari dalam saku celana yang koyak.
Di sudut
ruangan, keparat yang dipukuli Mayan tadi malam tergolek di atas kursi papan.
Wajahnya lebam dengan coretan dari ujung kuku yang runcing itu. Mayan bisa saja
mengambar kepala singa di wajah si keparat. Tetapi ia melihat keparat itu
dengan sediki pertimbangan. Kasihan, jika istri si keparat melihat wajah itu
saat mereka hendak berkencan di malam yang gulita. Ucapan Mayan membuatku
sedikit tersenyum.
Kembali pada
tanah merah itu. Mayan kemudian bicara.
“Aku telah
mengelilingi ratusan ladang dan
berbicara dengan banyak petani. Tetapi aku tidak peduli bagaimana cara mereka menaruh
benih dan menunggu berminggu-minggu hanya untuk melihat hasil yang memuaskan.
Aku meminta apa yang telah mereka ambil dari kantong uangku. Dan membayarnya
dua kali lipat. Tapi si keparat itu sudah membuat aku marah dengan membawa
bongkahan tanah sekedar menunjukkan ia sudah sampai di tempat itu.”
Keparat itu
terbatuk-batuk. Ia tidak bicara tetapi dari sorot matanya aku melihat ia ingin
membela diri. Aku belum berani bicara saat Mayan menaruh satu kakinya ke perut
si keparat. Aku ingin sekali menahan lengan lelaki itu. Tetapi satu pukulan
bukannya menghantam ke wajah melainkan ke sebuah foto telanjang seorang artis
perempuan.
Aku mencoba membuat
Mayan lupa akan kemarahannya. Jika tidak ia bisa saja membuat satu orang mati
seperti minggu lalu saat di sebuah sumur besar di tengah ladang, ia menjatuhkan
seorang lelaki dengan tangannya sendiri ke dalam air yang menggenang.
“Apa yang
kau lakukan dengan anak gadis petani itu?” Mayan membentak dan membuatku
menggigil berada di belakangnya. Lelaki yang ada dalam cengkraman Mayan
seolah-olah tidak merasa bersalah dengan apa yang dikatakan Mayan. Sebab ia
diam saja dan melihat ke langit.
“Aku hanya
menemukan pintu yang rusak. Sebagai pemilik kunci aku berhak memastikan pintu
itu untuk layak kuhuni.”
Mendengar
itu Mayan melepaskan satu pukulannya ke wajah lelaki. Lelaki itu pasti
kesakitan saat ia meringis. Namun ia sedikitpun tidak melawan.
“Mayan. Kami
menghormatimu. Lakukanlah sesuai apa yang kau inginkan.”
“Kubenamkan
dirimu dalam penyesalan terpanjang karena menodai gadis itu.” Mayan membuat
lelaki itu roboh ke tanah yang digenangi air hitam. Lelaki itu tersenyum dan
tak berkutik. Untuk beberapa saat kemudian ladang terasa sangat mencekam dari
hari lainnya. Aku melihat Mayan yang menghela napas dan kelihatan lelah atas
apa yang baru saja terjadi. Seketika ia memandangiku dan matanya tetap saja
membuat aku ikut merasa cemas.
Ia bicara
setelah mencuci tangannya.
“Aku telah
mengelilingi ratusan ladang dan berbicara dengan banyak petani. . Tetapi aku
tidak peduli bagaimana cara mereka menaruh benih dan menunggu berminggu-minggu
hanya untuk melihat hasil yang memuaskan. Aku meminta apa yang telah mereka
ambil dari kantong uangku. Dan membayarnya dua kali lipat. Tetapi lelaki ini
membuat seorang petani tak mampu membayar karena anak gadisnya hamil. Aku tidak
tahan untuk membuatnya merasakan perih hal tersebut.”
Aku
mengitari ia yang berjongkok. Aku merasa ia tak sepenuhnya bersalah, sehingga
alasan itulah yang membuatku bertahan berada dalam setiap kejadian dengannya.
Ia tak pernah membuatku lari terbirit birit seperti kambing-kambing petani yang
kerap gelisah karena srigala datang.
Maka aku selalu menemani ia untuk sekedar melihat apa yang tengah ia
lakukan.
Awal mula
keikutsertaanku pada Mayan tentu bukan
merupakan cerita yang singkat. Barangkali kalian bosan membayangkan bagaimana
dua sosok bertemu dan berikrar untuk saling berjalan bersamaan. Terdengar
menjijikkan bagi sebagian kaum yang menganggap dua benda saling ketergantungan.
Dan ah. Tentu saja bukan pada bagian itu aku harus menceritakannya.
Mayan
bukannya tak pernah marah padaku. Jika
di bandingkan diriku yang kurus kerempeng, Mayan memiliki tubuh yang berotot
dan rupawan. Aku menandai ketampanannya
saat berada di keramaian. Belasan perempuan yang berada di sana tak berhenti
melihat ia dan berdecak kagum. Tentu saja Mayan melangkah dengan gerakan yang
tidak dibuat-buat. Mayan tahu apa yang tengah ia pentaskan akan membuat
orang-orang bertepuk tangan, tetapi Mayan mengambil tempat seperti seorang
sutradara. Biar saja orang berkata sesuai kemampuan otaknya.
Sekali lagi
Mayan mengeluarkan ejaan yang bergema. Dalam kantong uangnya ia memiliki satu
butir permata berwarna merah delima. Ia tak pernah mengatakan darimana ia
mendapatkan benda itu. Hanya saja seorang petani curiga kalau benda itu adalah
jimat keperkasaan Mayan.
Maka Mayan
memarahiku dua kali. Satu kali saat aku mencoba mengintip ia di dalam
ruangannya pada pukul dua belas malam. Ia tengah meringkuk di atas tempat tidur
dengan beberapa tanaman hias di sampingnya. Mayan memang belum sempat tertidur
dan melihatku di balik pintu. Aku terkena pukulan tangannya dan suara
kemarahannya menggelegar seperti petir. Kali kedua aku dimarahi Mayan adalah
ketika benda merah delima itu bergulir dari kantong duitnya dan jatuh ke
kakiku. Aku meraih benda itu dan mengelus-elusnya. Hal sekecil itu membuat
Mayan memarahiku habis-habisan. Membuatku bungkam dengan gigi patah di geraham.
Aku mulai berhati-hati melakukan apapun setelah dua kejadian itu.
Anehnya,
kesalahan besar yang aku lakukan terkadang diabaikan oleh Mayan. Seperti
misalnya. Aku menumpahkan segelas kopi ke baju Mayan yang sudah rapi di atas
kursi. Seharusnya ia berangkat sepuluh menit lagi, tetapi ia diam dan menarik
napasnya. Dada berotot itu naik turun dan ia menyuruhku kembali membuat kopi
sementara ia mengambil baju lain dari lemari.
Lalu saat
aku lupa menagih janji pembayaran dari para petani. Aku menyebabkan kelalaian
sebab tak tega melihat petani itu membayar melebihi apa yang sudah mereka
gunakan. Aku melihat Mayan menggaruk-garuk perutnya yang rata dan sendawa
dengan begitu keras. Diabaikannya wajahku yang berkeringat karena ketakutan. Ia
masuk ke kamarnya dan tidur cukup lama.
Begitulah
aku mengenal Mayan dengan berbagai kemungkinan yang terjadi di antara kami.
Sama seperti hari ini Mayan masih berdiri di samping keparat berkepala lancip
itu. Muka keduanya sama-sama tenang, hanya aku yang tidak tahu harus berbuat
apa selain melihat dan mendengarkan semuanya.
Aku melihat
lambaian dari jendela yang terbuka. Lambaian seseorang yang membutuhkan
pertolongan. Tanpa berkata pada Mayan aku bergegas keluar pintu dan mencari
orang tersebut. Orang yang kumaksud berdiri dengan jarak pandang yang dekat. Ia
kelihatan sangat membutuhkan pertolongan tetapi aku tidak tahu kalau ia tengah
berhadapan dengan seekor babi hutan yang menyelinap ke ladang-ladang. Aku
semakin menggigil.
Namun
untungnya Mayan datang dan menikam babi hutan itu dengan satu kali tusukan ke
bagian punggung. Seketika babi hutan itu rubuh ke tanah dan Mayan melempar
pisau ke arahku untuk segera dicuci. Aku gelagapan. Seseorang itu berterima
kasih padaku dan menyelipkan dua lembar uang ke dalam saku celanaku yang koyak.
Aku menggeleng.
Mayan
tersenyum sinis dan pergi dengan segera. Aku terburu-buru masuk ke dalam rumah
dan mengamati si keparat dengan rasa jumawa karena diberi uang oleh seseorang
tadi. Keparat itu berkata seperti ini.
“Ketahuilah
anak muda. Ada hal yang tidak kau sadari dalam dirimu. Kau tampak lugu dan
beringas dalam waktu berbeda. Jika seandainya saja ibumu datang saat kau
menjadi lelaki paling bangsat yang pernah kukenal, maka ibumu akan membuat
tangisan serupa darah. Tapi bilamana ia melihatmu seperti ini, mengigil dan
tampak tak berdaya dengan sekeliling. Ibumu berupaya tidak akan membiarkan kau
sendirian dalam ketidakwarasanmu.” Setelah keparat itu berkata ia
terbatuk-batuk. Aku tak melihat kemana Mayan setelah ia menikam babi hutan
tadi. Aku sesungguhnya takut melihat darah dan jijik pada pukulan atau
teriakan. Seharusnya Mayan tidak membiarkan keparat ini diam di dalam rumah dan
aku tidak menemukan ketenangan dalam menyempurnakan doa.
Terdengar
pintu diketuk seseorang. Aku bangkit dan melihat keluar. Seorang petani dengan
wajah ketakutan menyodorkan bungkusan uang ke tanganku.
“Terimalah
ini, Mayan. Kami hanya punya sedikit. Tetapi biarkanlah lelaki itu kami bawa
pulang. Kasihani dia. Istrinya terus menanyakan dirinya.”
Aku
terkesiap dan menepikan tubuhku agar petani tadi dapat masuk ke dalam rumah dan
menemui keparat itu di dalam.
“Lain kali
aku akan bekerja lebih baik, Mayan. Simpanlah tanah merah itu sebagai
kenang-kenangan. Jika kau ingin memukulku seperti tadi, lakukan jika kau tengah
berada dalam kegilaan penuh. Nikmati tidur siangmu.” Keparat itu menepuk
pundakku. Seketika nyeri muncul di antara tulang yang bergesekan. Aku
mengangkat bahu dan melihat ke arah mereka pergi. Aku tidak menemukan Mayan
siang ini. Kemana ia pergi sebaiknya tidak ada yang memberitahu sebab kadang ia
muncul jika dalam keadaan darurat aku membutuhkan pertolongannya. ***
Pekanbaru.
31 agustus 2014
Comments
Post a Comment