Steppenwolf
: Herman Hesse
Sebotol murgindi
Segelas cherry brandy
Nyaris kosong dalam sebuah ruangan sepi
Ia berdiri dengan kaki pincang
Dan gaduh malam yang membuatnya
Enggan pulang
Mencium bau araucaria
Di sekitar pangkal lengan
Ia menyebut dirinya liar
Separuh isinya kenangan
Seluruh dirinya ilalang gersang
Dalam hamparan ratus petualangan
Seperti mitologi yang digambarkan masa silam
Ketika ada yang menariknya kembali
Dari sebuah rumah tanpa pagar besi
Dan sebuah perasaan yang tidak ia kenali
Ia terus mencoba melepaskan diri
Berlari kian kemari
Merutuki kasih
Dan lelaki itu hidup dari sepi ke sepi
Tak peduli pada harapan
Tak lelah pada tantangan orang
Sesungguhnya ia telah kehilangan
Atas apa yang telah ditunjuki kehidupan
Gempita yang ditelan kesesatan
Musim Berkepanjangan
Semusim lagi, aku mencoba bertandang
ke arah sinar yang benderang
Di mana kaki-kaki tenggelam dalam keriangan
Mengisap bayang yang kelam
dan perlahan menembus ruang
Aku menciumi dedaunan yang dibungkus
hujan dalam pot tanaman
ia lebih bersih dan kokoh menjulang
menebar usia ranum yang telah berpendar
maka aku memeluk seseorang yang bercahaya
dan darinya kuperoleh tanda
ialah jiwa yang membebaskan segala rasa
maka aku pulang membawa cerita
tentang musim yang tak sudah sudah.
Penyamun di Malam Purnama
Bukanlah sebuah puisi jika aku kerap
menceritakannya padamu kekasih
tapi seorang penyamun akan mencurinya
bila kelak ada yang datang dari balik kain sarung
malam itu purnama putih
dan ibu mulai bernyanyi
menimpali suara jangkrik di tepi kali
semacam rindu paling kubenci
pada lelaki yang datang dengan gemerincing
maka bangkitlah segala yang asing
tanda-tanda ibu mulai mengayuh pelukan
aku tak berupaya merekam segala kejadian
sebuah pertikaian
sebuah angan-angan
aroma dada dan punggung yang dibentangkan
tapi aku bisa apa
sebagai orang bungkam
patut diam layaknya batang
maka puisi ini simpanlah dalam hati
bila kelak kau menanyakannya lagi
temui aku saat purnama datang kembali
Pelabuhan Merah
Sebuah bedil dalam kotak kecil terombang ambing
seperti penanda yang mengembara
atas perintah sang nahkoda
teriakan menjaga marwah
dari luka-luka tanpa nama
kelak jalan itu kita tempuh dari
kerangka pilu yang ditaruh jauh
Maka terbayanglah sepasang janji yang bercinta
Berantakan dan menangisi tanah pelabuhan
Membenam tubuh-tubuh tanpa dosa
Gemuruh yang ditikam ke dalam dada
Di tepi batas raga dan nyawa
Kita menyerap debu, abu yang dicipta
Pada pelabuhan yang merah
Yang menebar bau surga
Pada Sebuah Kapal
Di kejauhan angin datang mendekap dingin
Memanggil-manggil, menepi ke dalam cahaya yang
menguning
Saat matahari menyala di biru laut
Gelombang melesat ke lambung perut
Condong haluan ke tepian
Ke pulau yang dipenuhi pelantar
Jangkar diturunkan
Lelah dipulihkan
Tapi hempasan tak pernah padam
Seperti karang yang menjala angan
Menembus buih-buih laut
Yang dicekam kecemasan
Mengental
Mengecup segala hal
Kisah-kisah pada sebuah kapal
Jalan Baru
Sampai ke pantai
Di hamparan yang landai
Ada kebisingan yang tak pernah selesai
Saat orang-orang saling mengukur
Tegak kesunyian yang tak pernah terurai
Meninggalkan sisa
Pada pelabuhan yang jauh
Menjelma karang batu
Tapi tak menyelesaikan sebuah pintu
Sebagai jalan nasib baru
Berharap membenam kesialan
Menempuh layar yang dikembang
Menimbangnya sebagai sebuah masa depan
Yang tak juga jadi kenyataan
Karena haluan serupa tekateki yang dalam
Tak akan melepaskan tapi saling menikam
Dalam kerinduan arus laut
Yang tak patut disebut
Janji Sebuah Bandar
Seorang anak bersampan mendayung ke seberang
pada bandar yang tenang
Akan ia apakan sebuah ajakan tentang negeri angan-angan
yang dijanjikan padanya, dan tentu orang tuanya
tak punya bekal penghidupan dalam pelayaran
Lupa ia akan dingin hujan malam
Lapar perjalanan tanpa kawan
dan ketakutan memisahkan mimpi dari kenyataan
Garang menghanyutkan
Pada kampung yang dipinang janji
Sorak sorai yang tak terdengar lagi
Lalu pergi
Mati
Comments
Post a Comment