Oleh
Cikie Wahab
Madi
tahu cara terbaik bangun dari tidurnya yang penuh mimpi buruk adalah dengan
tidak mengingat mimpi tersebut. Tapi semakin ia mencoba, ingatan tentang mimpi
itu semakin jelas. Mimpi yang sama berkali-kali membuatnya berpikir untuk tidak
tidur terlalu lama. Maka ia menyalakan lampu, menonton televisi dan menyalakan
suaranya dengan keras, membaca buku komik dan membuatnya tertawa hingga ia lupa akan
ketakutannya. Tapi setelah itu, ia jadi was-was saat matanya mulai mengantuk.
Mimpi itu akan datang kembali dan membuat ia merasa sangat sesak dan ketakutan.
Ibunya
belum tahu tentang hal ini. Si ibu pikir, Madi sudah tidur setelah mendengarkan
ocehan mengenai besarnya biaya pemakaian listrik di rumah mereka. Madi mendapat
teguran keras sebab kerap berlama-lama menyalakan radio ataupun kipas angin di
kamarnya. Madi tentu saja membantah dan mengatakan udara benar-benar tidak
bersahabat beberapa minggu ini.
“Kalau
begitu bantu Ibu membayar tagihan bulan ini.” Sahut si ibu, mengibas meja makan
yang sudah kosong. Adik perempuannya merungut kesal ketika ibu melotot dan
melarang ia menonton tv. Madi melihat adik kesayangannya itu menggerutu.
Dibukanya dompet dan melihat selembar uang lima puluh ribu terlipat rapi.
“Kemarin
aku mendapat uang ini dari karcis yang kujual. Tapi aku akan mendapatkan
tambahan uang beberapa hari lagi. Sabarlah ibu, pakai saja ini dulu. Dan jangan melarangku menonton, Bu.”
Ibunya
menerima uang itu dengan senyuman yang tertahan. Lalu ibu berkata lagi dengan
sedikit lembut. “Madi. Harusnya kau bekerja lebih giat. Datanglah ke rumah Pak
Lurah, barangkali ia menawarimu pekerjaan.”
Anak
itu diam saja dan melihat bagaimana adiknya masih menggerutu menuju kamar.
“Hei! Jangan membantah ibu. Kerjakan saja peermu.”
Godanya pada si adik. Adik perempuannya melotot, mengejeknya dan buru-buru
menutup pintu kamar.
“Adikmu
itu punya tagihan buku di sekolahnya. Ibu belum dapat uang. Belum ada yang
memesan jahitan pada ibu. Kakakmu malah ngotot ingin bercerai dan pindah kemari. Itu akan menambah beban
ibu. Harusnya ia meminta hak tinggal pada suaminya.”
“Ibu…”
ujar Madi menghentikan perkataan itu. “Sudahlah. Aku pusing mendengarnya.” Ia
bangkit dan melangkah ke jendela. Pikirannya masih mengingat ucapan Samsul
beberapa hari lalu mengenai sang ibu.
“Hari
itu aku melihat ibumu bersama pria tua di pasar. Di tangan ibumu ada kantong
belanja dan mereka tampak sangat mesra. Hujan deras dan mereka juga berpelukan.
Beruntung sekali ya aku bisa melihat mereka berciuman.”
Sebuah
tinju mendarat di rahang Samsul, sahabatnya itu sudah mengatakan hal yang
membuat ia kesal.
Sejak
mendengar berita itulah, ia kerap mimpi buruk dan tidak tenang. Ia juga tidak
bisa menceritakan itu pada saudaranya atau menanyakan hal tersebut pada ibunya
langsung. Mimpi buruk yang ia alami tetap tidak lebih buruk daripada harus benar-benar
kehilangan ibu lalu mendengar tangis adik dan kakak perempuannya.
Dalam
mimpi buruknya, Ibu terlihat sangat menyeramkan. Lelaki tua seperti yang
dikatakan Samsul membuat semuanya berantakan. Ibu yang menakutkan, mencekik
lehernya, menyebabkan adiknya menangis sepanjang malam dan kakak perempuannya
berteriak gila di jalanan.
Madi
menunggu ibunya masuk ke dalam kamar dan ia bergegas menyalakan tv. Namun satu
jam kemudian ia terkejut dan mengecilkan suara tv. Saat suara pintu mobil
ditutup, ia matikan benda itu dan bersembunyi di belakang sofa. Ibunya kemudian
muncul di pintu dan bergegas keluar. Dari cahaya lampu teras, Madi bisa melihat
ibunya dan lelaki itu berpelukan.
Maka
bergetarlah kedua lututnya. Amarahnya berganti menjadi sebuah ketakutan. Ia
berkali-kali mengumpat dalam hati.
“Bagaimana
mereka tidak tahu?” Tanya suara lelaki itu. Madi tentu saja tidak bisa melihat
jelas wajahnya.
“Mereka
sudah tidur,” jawab ibu.
“Kau
perempuan hebat.”
“Terima
kasih.”
Madi
bergidik. Mereka berdua berubah menjadi sepasang makhluk kelaparan. Cekikikan
dan tawa mereka membuat ia hampir-hampir pingsan. Ibunya kelihatan sangat
bahagia, tapi ia hanya bisa bersedih hati. Ibunya, Ia tahu ibunya adalah perempuan
dengan luka yang dibiarkan begitu lama. Meskipun tidak ada yang perlu
dikhawatirkan selepas kematian suaminya lima tahun lalu. Tapi Madi sadar,
hal-hal terberat dalam hidup ibunya adalah kehilangan pasangan jiwa. Lalu
kehilangan tulang punggung keluarga. Ia bukannya tidak ingin membantu
meringankan beban tersebut. Tetapi ia pasti tidak akan memiliki banyak waktu
untuk melamun panjang dan memiliki kebebasan pergi ke mana saja.
Ia
tersentak. Keringatnya membasahi baju. Pada pandangannya saat membuka mata,
televisi sudah mati dan ibu berdiri di dekatnya.
“Apa
yang kau lakukan di sini? Tidurlah di kamar, Madi! Aku tidak mau kau bergadang
tiap hari dan bangun kesiangan. Anak macam apa kau ini!”
Madi
duduk dan melihat jarum jam menunjukkan pukul empat pagi. Kepalanya berdengung
dan ia mendengarkan ocehan ibunya lagi. “Kenapa kau berteriak-teriak dalam
tidurmu dan menyebut-nyebut nama binatang?” Tanya sang ibu. Madi diam dan masuk
ke kamarnya.
Di
dalam kamar, ia tidak ingin tidur dan hanya mendengarkan suara musik dari radio
dan berpikir tentang mimpi yang baru saja ia alami. Ia butuh bantuan seseorang.
Ia butuh obat atau jawaban atas kegelisahannya.
***
Seseorang
duduk menunggu pasien selanjutnya, hingga saat gagang pintu bergerak dan anak
muda itu masuk. Orang itu berdehem dan tersenyum. Di persilahkannya anak muda
itu duduk terlebih dahulu. Kacamata orang itu membiaskan bayang-bayang dan ia
berkata, “Apa kau lihat tulisan di pintu masuk?”
“Ya,
Dokter. Aku melihat dan membacanya. Aku sudah tahu akan mendatangi seorang
Dokter.”
“Kau
tahu dirimu kenapa?”
“Aku
mengalami mimpi buruk berkali-kali dan itu menyiksaku.”
“Tapi
aku melihatmu baik-baik saja. Seperti apa siksaan itu? Ceritakanlah padaku.”
Dokter memulai pertanyaannya.
Madi
terdiam. Ia kemudian menceritakan semua yang ada dalam mimpi-mimpinya. “Dari
sekian mimpi yang membuatku tidak nyaman adalah menyaksikan celotehan ibu
tentang segala hal. Ibu tidak lagi menyiapkan kami sarapan pagi dan tidak mau
tahu kami ada di mana. Jikapun ada di dekatnya itu sangat membahayakan.”
“Bukankah
itu semua hanya mimpi? Apa kau tidak berdoa sebelum tidur dan menyadari
kesalahanmu?”
Madi
mengutuk dalam hati. Dokter macam apa yang menyalahkan pasien secara
terang-terangan seperti itu. Tetapi karena ia tidak ingin mengecewakan dirinya
sendiri, ia mencoba menahan emosi.
“Tentu
saja ibu mengajari kami doa-doa terbaik.” Madi menjawab enteng.
“Jika
kau bangun pagi dan melihat mimpimu sama sekali tidak muncul dalam kenyataan.
Bagaimana ia bisa mempengaruhimu?”
“Karena
aku terus mengingatnya, Dok.”
“Mengingat
hal yang pasti tidak akan terjadi. Bukankah sia-sia? Apa kau ingin kuberi obat
pelupa?”
“Tapi…”
“Pulanglah.
Ajak ibu dan adikmu jalan-jalan. Kau tidak perlu membayar apapun atas nasihatku
ini. Kalau bukan karena kau tampak menyedihkan seperti ini, aku pasti meminta
bayaran tiga kali lipat.”
“Tapi.”
“Kau
membuat mimpi itu hampir jadi kenyataan. Bekerjalah. Lakukan sesuatu. Lihat,
lenganmu yang besar. Aku yakin mimpi burukmu segera lenyap jika kau bekerja
keras dan tidur dengan teratur.”
Madi
tidak berkomentar lagi. Ucapan dokter itu seperti menertawakan kebodohannya. Ia
pulang membawa air mineral pemberian dokter. Sepanjang jalan ia mencoba
menenangkan pikirannya. Dan dengan sangat sesal ia berkata dalam hati. “Aku harus menemui Samsul.”
Madi memutar motornya, ia merasa sangat antusias menemui sumber yang
menyebabkan ia berpikiran tak karuan beberapa waktu belakangan.
Saat
ia tiba di teras depan dan melihat sepasang sepatu perempuan yang mirip
seseorang. Madi tertegun lalu duduk sebentar di kursi dan menghela napas berat.
Dalam rumah Samsul ada seorang perempuan. Perempuan yang masih saja cantik di
usianya yang lewat empat puluh tahun. Samsul memang berumur hampir tiga puluh
tahun dan lebih tua sepuluh tahun dari Madi. Tetapi mereka sangat akrab dan
kerap bermain bersama. Madi tak jadi masuk dan hanya memandangi mereka dari
pintu yang terbuka.
Ia
masih menahan amarahnya. Tapi perempuan itu tampak sangat bahagia. Mimpi-mimpi
buruk itu adalah kenyataan yang muncul dari pikirannya sebagai penanda, sebagai
aba-aba. Ia mencoba menepis apa yang dilihatnya, dihidupkannya mesin motor dan
tak mengubris panggilan dua orang yang begitu dekat di hidupnya.
Jika
kehilangan pasangan jiwa adalah hal yang berat bagi ibu, kenapa harus Samsul
yang menggantikan tempat itu. Mimpi buruk sudah jadi kenyataan, dan Madi ingat
botol mineral dan karcis jalan-jalan ke tempat wisata tertinggal di rumah
Samsul. Semua sudah tak berguna. Ia akan
menghadapi hidup dengan mimpi-mimpi buruk selanjutnya.
Terbit di Padang Ekspres. 5 juli 2015
Comments
Post a Comment