Seorang
tukang tenun muncul di simpang jalan yang menghubungkan dua bangunan besar. Di
pundaknya ada gendongan berisi lembaran kain dan benang. Matanya memerah dan
ada perban di dahinya yang hitam. Tukang tenun itu bernama Abu Haf. Ia tiba di
Pekanbaru setelah berjam-jam menyelundup di tumpukan kain yang dibawa lewat
kapal di pelabuhan Duku.
Sinar
matahari yang garang menyuntik kakinya
yang tidak bersepatu. Sandalnya tipis dan jempolnya kapalan. Beberapa kali ia
menahan langkahnya agar sandal itu tidak putus. Ia merasa tersesat dan tidak
tahu harus mencari alamat yang tertera dalam kertas lusuhnya. Seorang kenalan
lama yang pernah ia temui saat di kepulauan yang barangkali bisa membantu
dirinya.
Dengan
wajah penuh keletihan, ia mencari tempat berteduh dengan bersandar di dinding
bangunan besar. Keringatnya pelan-pelan melintas di pelipisnya hingga ia sadar
ada seorang anak lelaki yang memperhatikan ia sejak tadi. Abu Haf menoleh.
“Bapak
membawa apa?” Tanya anak lelaki itu kepada Abu Haf. Gendongan di pundak Abu Haf
berwarna sangat terang sehingga anak lelaki berumur tiga belas tahun itu
tertarik melihatnya. Anak itu cukup pintar untuk mengetahui apa yang terjadi.
“Kau
tersesat, Pak?” anak itu bertanya lagi dan memperhatikan kaki Abu Haf yang dihinggapi
lalat kecil. Abu Haf tersenyum. Ia melihat bagaimana anak itu menatapnya,
mereka saling memperhatikan hingga Abu Haf bertanya mengenai pertolongan yang
bisa ia dapatkan dari anak lelaki itu.
Anak
itu diam cukup lama. Lalu ia menjawab, “Aku tak bisa melakukan apa-apa. Apa
yang kau butuhkan dariku, Pak? Kau tahu kalau manusia adalah makhluk yang
lemah, lalu kenapa kau minta tolong padaku?”
“Karena
kau yang ada di sini.”
“Yakin?
Bapak yakin? Lihatlah sekeliling, orang-orang tengah bergegas, begitu ramai.”
“Kau
jangan mengolok-olokku anak kecil. Aku sedang tidak ingin marah.” Abu Haf
berjongkok dan menyandarkan punggungnya tetap di dinding. Ia melihat
gendongannya dan merasa sangat lapar sekali. Ia melihat bungkusan kerupuk di
tangan anak kecil itu.
“Bisakah
kau memberiku makanan? Aku lapar.” Abu Haf memelas.
Anak
kecil itu menghela napas dan ikut bersandar di dinding. Mata mereka sama-sama
menghadap ke jalan. Di mana orang-orang tampak acuh meskipun matahari seakan
membakar kulit-kulit mereka.
“Bagaimana
kondisi bapak sebelum ini? Aku masih kelas enam SD, aku juga tidak memiliki
uang selain uang milik juragan. Dan aku ingin bertanya padamu, apa yang ada
dalam bungkusan kain itu?”
Abu
Haf tersenyum-senyum dan merasa senang saat ada yang bertanya tentang apa yang
ia bawa, ia merasa harus menceritakan segalanya, maka ia mulai bercerita.
***
“Aku
seorang tukang tenun kain dari Kelantan. Dan aku membuka kios di kepulauan yang
dekat sekali dengan arus balik perdagangan. Aku belajar tenun sedari kecil,
pada keluarga yang telah mewarisi keberuntungan ini. Aku menenun saat
orang-orang tertidur pulas. Ibuku memang berasal dari Kelantan, sementara
namaku diambil dari nama kakekku yang berasal dari daerah padang pasir. Aku
tidak cepat puas sehingga ketika aku sudah menginjak remaja, aku berani
meminjam modal dan membuka kios kecil-kecilan. Usaha itu berkembang beberapa
tahun setelahnya. Aku sangat bahagia ketika itu.”
Anak
lelaki itu mendengarkan sambil memeluk lututnya. Matanya melihat senyum tipis
di wajah Abu Haf yang dibayangi sinar matahari dari pantulan kanopi pertokoan.
Abu Haf kembali melanjutkan cerita.
“Tidak
semua bisa melakukan seperti yang aku lakukan. Tangan ini keajaiban. Aku
memakai benang emas dan perak yang berkualitas tinggi sehingga seorang perempuan
pemilik gudang benang jatuh hati kepadaku.”
“Siapa
namanya?”
“Fatimah.”
“Hubungan
kami baik-baik saja pada awalnya karena sebatas perdagangan, namun lama
kelamaan aku terhanyut dan harus menikahinya karena sebuah kesalahan.”
“Aku
tidak mengerti, Pak.”
Abu
Haf terkikik. “Kau masih kecil. Lain kali saja aku ceritakan bagian itu.
Sekarang aku butuh bantuanmu. Siapa namamu?”
“Malik.
Aku hanya pedagang kerupuk. Dan kita senasib!”
Abu
Haf menggeleng cepat dan mengelus dagunya. Ada ketidaksenangan dalam ucapannya
bahwa ia tidak sama dengan anak lelaki itu. “Aku pedagang tenun. Kain-kain itu
mahal, Malik. Dan itu beda dengan kerupukmu.” Jari jemari Abu Haf menepuk-nepuk
dadanya dari balik baju lusuh.
“Kalau
kau punya kain, kau bisa jual benda itu dan tidak butuh bantuanku. Benar kan?”
Malik memandanginya.
Abu
Haf terdiam. Rasa sadarnya muncul seketika. Ia menunjukkan raut wajah penuh
iba. “Kau belum mendengarkan lanjutan kisahku. Aku mengalami masa-masa sulit
ketika menikah dengan Fatimah. Aku lupa banyak hal dan kiosku terbakar dalam
sekejap saja. Aku kehilangan mesin, benang dan kain-kain. Hanya ini yang dapat
kuselamatkan.”
“Innalillahi.
Kasihan sekali engkau, Bapak.” Malik berdiri dan menunjuk ke seberang jalan.
“Di sana ada mesjid. Tadi pagi ada yang mengadakan acara dan banyak makanan.
Bapak bisa minta jika lapar. Aku tidak bisa memberikan kerupuk ini, karena ini
bukan hakku.”
“Benarkah?
Ada makanan?”
“Tadi
iya. Sekarang aku tidak yakin. Acaranya selesai satu setengah jam yang lalu.
Bapak bisa sholat di sana.”
“Tapi
kakiku sakit. Lihatlah, sandalku tak bisa lagi dipakai. Aku ingin mencari
pertolongan.”
“Pertolongan
siapa?”
“Siapa
saja. Aku ingin menemui sahabatku dan meminjam uang padanya.”
“Apa
bapak yakin ia akan meminjamkan?”
Abu
Haf mendongak. Melihat Malik yang masih berdiri di bawah sinar matahari.
“Tidak
akan ada yang menolongmu, Bapak. Tidak ada.”
Abu
Haf mengabaikan perkataan Malik. Anak itu berlari-lari kecil ke seberang jalan
dan menghilang saat Abu Haf berusaha mengejarnya.
***
Abu
Haf sudah menjual semua kainnya pada seorang pedagang. Ia mendapat uang dua
juta rupiah. Uang yang masih kurang untuk memulai usahanya yang baru.
Kaki-kakinya masih dihinggapi lalat. Bekas luka itu menghitam dan Abu Haf
berniat membeli sepatu untuk kakinya. Ia tertawa saat mengingat perkataan
Malik. Baginya ia bisa melakukan apa saja. Ia bisa bekerja pada orang lain
untuk sementara waktu dan mengumpulkan uang kembali untuk membeli alat penenun
baru. Maka ia kembali menelusuri alamat yang tertera dalam kertas lusuhnya.
Ia
menyewa tukang ojek yang akan membantunya mencari alamat. Dua jam mencari, ia
belum juga mendapatkan hasil. Abu Haf malah mendapat kekesalan dari si tukang
ojek dan ia ditinggal begitu saja di daerah yang sepi. Abu Haf marah dan
mengumpat. Sepatu barunya terkena cipratan lumpur dan ia berusaha
membersihkannya.
Saat
ia terlihat begitu menyedihkan, ia tak sengaja bertemu dengan seseorang yang ia
cari. Sahabatnya itu kebetulan sekali lewat di sana dengan mobil dan Abu Haf
beruntung di bawa ke rumah sahabatnya itu.
“Apa
yang terjadi?” Tanya sahabatnya.
“Aku
bangkrut. Istriku meminta cerai. Bisakah aku meminta bantuanmu?”
Sahabatnya
berpikir sejenak. “Jika kau pikir aku bisa membantumu, itu salah. Kau sudah
salah menemui orang.”
“Salah?
Kenapa? Apa yang terjadi padamu. Bukankah kau juga sukses dan kaya?”
“Tapi
aku tidak mendapat tugas untuk membantumu.” jawab sahabatnya datar. Tentu saja
penolakan ini membuat sekujur tubuh Abu Haf gemetar. Teringat ia akan kain-kain
yang hangus terbakar, tangisan anak dan istrinya, sumpah serapah dari pembeli
yang menuduhnya berbuat curang, lalu tentang kakinya yang sakit, tentang anak
kecil bernama Malik dan tentang sahabatnya yang enggan sekali membantunya
sedikit saja.
“Aku
akan membuat kain-kain terbaik. Songket dan segalanya. AKu bisa. Aku bisa. Kau
harus membantuku, teman.” Melas Abu Haf.
“Aku
buru-buru. Jika nanti kau berniat pergi, ada sedikit uang untuk menyewa tukang
ojek.” Jawab sahabatnya.
“Asu.”
Abu Haf mengumpat. Tanpa pamit dan dengan perasaan terhina ia pergi dari rumah
itu dan menuju tempat di mana ia harus menemukan Malik pertama kali.
“Tak
akan ada yang menolongmu, Bapak. Juallah kain itu. Bapak jangan sombong. Bapak
salah meminta. Jika bapak punya uang kenapa butuh bantuanku?” kata-kata Malik
terngiang dalam kepalanya. Ia tahu anak itu pasti berada di halaman mesjid. Ia ingin
menumpahkan kekesalannya saat itu juga. Ia terus mencari, hingga sadar sepatu
barunya tertinggal di rumah sahabatnya tadi. Ia malah memakai sandal bututnya
kembali dan uang yang ia pegang dalam saku bajunya raib. Entah dicuri oleh
siapa.
“Bapak
mencariku?” Malik muncul dengan tersenyum. Makin geramlah hati Abu Haf dan ia
mengangkat tangannya ingin menempeleng. Seketika itu tangannya terasa kaku. Ia
tertunduk lemas dan Abu Haf menangis sejadi-jadinya.
“Kau
siapa, Nak?”
“Aku
Malik. Penjual kerupuk keliling. Jika bapak butuh sesuatu. Sholat saja dulu.
Nanti kita cerita lagi. Jika bapak perlu sesuatu, mintalah pada Allah terlebih
dahulu.” Malik berkata dan kembali bercengkrama dengan teman sebayanya.
Terbayang oleh Abu Haf kain tenun yang ia jual
dan tangannya yang terasa gatal. Abu Haf memandangi anak itu lagi sebelum ia
berwudhu dan masuk ke dalam mesjid. Dan rasa-rasanya sudah berpuluh tahun ia
tidak pernah meminta kepada yang maha kuasa dan menuhankan kain tenunnya.
PEKANBARU.
Juni 2015
Terbit di Jawa Pos. 19 Juli 2015
Kritik dan sarannya ditunggu.
wah, keren. aku juga belajar dari cerpenmu ini, mbak. :)
ReplyDeleteTerima kasih dek. Semangat ya
DeleteBaguus, Mbak Cikie (y)
ReplyDeletePengin, ih, bisa nulis cerpen koran :)