Wanita
itu melihat dirinya yang telah berjalan beberapa kilometer dari tempat yang
penuh kabut asap. Kini ia berada dalam ruangan yang menyala. Cermin di
depannya juga bercahaya di terpa lampu,
memunculkan pantulan yang ia lihat dengan kesal. Ia kemudian menyeka wajahnya
yang lusuh dan kuyu. Kedua matanya memerah dan kantong matanya menghitam,
hidungnya berat menghirup udara.
“Sudah
kubilang kau tak usah kemari.” Ia mendengar perkataan Lusiana tentang
kenekatannya ikut dalam rombongan media dan masuk ke lokasi pembakaran.
Asap tampak seperti kabut yang
membungkus penglihatan. Seperti gumpalan yang menyesak di dada dan darahnya.
“Jadi
relawan demi Tio? Bodoh sekali.” Lusiana lagi-lagi berkata seperti itu. Menaruh
beberapa masker ke dalam kotak dan menyodorkan satu ke hadapan Tiara, nama wanita
itu. “Apa cintamu sebegitu gilakah, Tia?”
Tiara
menoleh dan diam sejenak. Ia lalu menyunggingkan senyumnya. “Aku suka kota
ini.” Peluknya pada Lusiana.
***
Tiara
menghela napas dan berupaya membersihkan hidungnya dari debu dan asap yang
menempel. Semua terasa menyumbat pernapasannya. Baru saja ia mendapat bantuan
oksigen. Ia berangkat dari Jakarta menuju Pekanbaru naik bis yang mengangkut
awak media. Ia lalu bertemu Lusiana, sahabat karibnya yang menetap di kota itu
dan membawanya ke sebuah tempat.
“Apa
kau tidak senang aku kemari? Aku kan ingin menemuimu juga,” Ucap Tiara saat itu
setelah merasa debar dadanya menjadi tenang. Tiara kembali memikirkan
pesan-pesan singkat Tio beberapa hari sebelum ia putuskan datang ke Pekanbaru.
Bahwa kekasih jarak jauhnya itu tengah berjibaku dengan asap yang begitu pekat.
“Tidak
sekarang. Kau bisa datang jika tidak ada bencana seperti ini. Kalau kau sakit
bagaimana?” Lusiana melotot.
Tiara
tak mengubrisnya, ia asik mengamati gambar-gambar yang dikirimkan Tio.
“Lihat
ini.” Tiara menyodorkan salah satu gambar pada Lusiana.
“Ya
asapnya begitu tebal sampai pucak gedung itupun tidak tampak. Kau tahu kalau
sebagian mereka sudah terkena ISPA. Aku tidak tahu bagaimana bentuk pernapasan
kami lima tahun yang akan datang.”
“Ayo
pindah ke Jakarta. Ikut aku.”
“Kehidupanku
di sini. Kau yang harusnya pergi dari tempat ini.”
“Tapi
aku ingin singgah ke tempat ini.”
“Tidak
usah.” Pesan Lusiana umpama seorang ibu yang melarang anak kecilnya keluyuran. “Asap
Tiara. Lihat kondisimu itu. Jika orang tuamu tahu mereka akan membunuhku.”
“Kau
pikir ibuku seperti itu.” Tiara terkekeh. Tiara kembali mengamati beberapa
gambar dan ia berkata, “Meskipun aku hanya melihat kota ini sebelumnya hanya
dari layar handphone yang dikirimi Tio, aku merasa sangat begitu dekat sekali.
Seperti aku pernah hidup di kota ini.”
“Cinta
buta.” Sindir Lusiana lagi.
***
Aku sakit. Datanglah jika kau ingin
melihatku. Tulis Tio dalam sebuah pesan singkat. Pesan itu
masuk tepat saat Tiara tengah merampungkan tulisannya untuk surat kabar. Tiara
jadi tidak konsentrasi. Berikutnya ia menekan tanda delete dan mengurut
keningnya. Di hubunginya Tio saat itu juga dan mendengar suara Tio yang
terbatuk-batuk.
“Berobatlah.
Kau bukan anak kecil yang harus di tuntun. Aku tidak suka kau kekanakan seperti
itu. Apa masker itu tidak berfungsi banyak?”
“Aku
sudah berobat. Tubuhku lemah saat ini. Kau tidak usah khawatir dan tidak usah
merasa terbebani karena keluh kesahku terhadap apa yang terjadi di kotaku.”
“Lalu
apa yang dilakukan pemerintah di sana?”
“Kau
tidak usah percaya janji manis mereka, Tia. Aku juga sudah bilang pada ayahku
agar tidak menjual apapun lagi pada mereka yang menghanguskan kampung kami. Memberanguskan
semua tanaman tanpa memikirkan buruknya akibat yang ditimbulkan. Dan aku ingin
sekali bertemu denganmu. Datanglah jika berkenan. Bawa bunga-bunga yang pernah
kau katakan itu.”
“Tio.
Lalu aku ke sana bagaimana? Penerbangan lumpuh bukan? Kau ingin membunuhku
juga?”
“Haha.
Kau takut ya? Kau takut asap dan kau tidak peduli padaku? Ya sudahlah, Tia. Kau
urus saja dirimu sendiri. Jika ada kesempatan dan hidup yang panjang kita akan
bertemu lagi.”
Tiara
mendesah saat telepon ditutup dengan tiba-tiba. Rasa sesak di dadanya
bertambah. Sebenarnya, seperti yang Tiara ketahui. Beberapa tahun sebelum ia
mengenal Tio lewat jejaring sosial. Ia melihat sendiri bagaimana orang-orang
yang memiliki uang dan kekuasaan mengambil wilayah dan membakar lahan-lahan
itu. Lahan yang mereka beli dengan iming-iming janji dan telah merenggut nyawa
orang yang dicintainya, sang ayah. Namun kejadian itu tidak pernah ia ceritakan
kepada Tio. Ia pendam segalanya agar Tio tidak tahu bahwa salah satu dalang
pembakaran itu adalah ayahnya yang juga menjadi korban.
“Kau
ngantuk? Tidur saja dulu.” Lusiana menyalakan kipas angin. Memutar gerakan yang
dapat menghalau asap.
“Aku
merasa bersalah, Lusi. Dan aku harus bertemu Tio sekarang.”
Pandangan
Tiara mondar-mandir antara layar telepon genggamnya dengan gorden jendela.
Masih di kamar dengan pencahayaan yang cukup baik itu. Tiara ingat ayahnya
pamit dan mengatakan mereka akan untung besar. Lalu ayahnya berangkat ke
Sumatera lalu mengirimi ia dan ibunya gambar-gambar petak lahan yang sudah
bersih dan yang tengah dibakar. Lalu dua hari setelah itu ayahnya tidak memberi
kabar apapun selain kedatangan berita kematiannya.
Bunyi
telepon Tiara berdering. Kabar buruk tiba, pikir Lusiana. Dan benar saja,
setelah menbaca pesan Tio, Tiara bangkit dan mencuci mukanya sekali lagi.
“Aku
harus naik apa ke posko? Tio sudah di sana. Ia sudah membaik, Lusi.” Terdengar
grasak grusuk Tiara mengeringkan wajahnya, memakai jaket dan gelung rambutnya.
“Kau
bisa tersesat nanti,” sela Lusiana.
“Kau
harus ikut.” Pinta Tiara. Minggu depan ada jatah libur yang cukup untuk Tiara
menghabiskan waktunya mengamati lokasi pembakaran dan bertemu Tio.
“Kau
yakin? Sebaiknya tunggu cuaca membaik. kau ini kan baru sampai. Istirahat
sajalah dulu.”
Tiara
tak menjawab. Ia menatap seius wajah Lusiana. Dengan berat hati Lusiana
mengantar wanita itu ke posko yang ia sebutkan. Di sana sekumpulan orang tengah
memeriksakan pernapasan mereka. Semua memakai masker dan sebagian anak-anak masih tetap saja berlarian tanpa
menggunakan alat itu, sehingga teriakan orang tua mereka terdengar begitu
nyaring memanggil. Celingukan Tiara disambut lambaian oleh seorang lelaki di sudut
kursi. Sebuah meja dan sebungkus plastik hitam menjadi pemandangan yang terasa
ganjil oleh Tiara.
Dari
tempat ia berdiri, Tiara melihat lelaki itu berumur kurang lebih lima puluh
tahun. Dan Tiara tidak mengenal siapa dirinya. Bahkan ketika lelaki tua itu
membuka maskernya dan berkata, “Kau Tiara?”
Jantung
Tiara berdegup kencang. Jangan..jangan… pikiran buruknya muncul. Ia jadi
menyesal tidak membawa Lusiana masuk ke dalam ruangan. Tiara mematung sebelum
akhirnya lelaki itu berkata lagi. “Kemarilah. Aku ayah Tio.”
Mendengar
itu, Tiara menjadi lega. Kecemasan mengenai jati diri Tio sirna sudah. Tidak
mungkin Tio yang ia kenal adalah lelaki tua itu. Dalam hati Tiara ingin sekali
menertawakan dirinya. Ia melangkah mendekati lelaki tua itu dan memberi salam.
“Kau
sudah datang tepat waktu. Tio sudah di sini.”
Tiara
langsung menoleh mencari sosok lelaki yang mirip seperti foto dalam layar
telepon genggamnya. “Mana dia, Pak?” Tiara bertanya.
“Apa
kau tidak lihat ia di sini?” Tanya lelaki itu.
Tiara
terkejut dan mulai merasa takut. Ia menggeleng dan bertanya lagi di mana Tio.
Lelaki itu terkekeh dan menunjuk asap dalam kantong plastik hitam di atas meja.
Tiara bangkit dan ingin pergi. Tapi seseorang menahan langkahnya tanpa ia tahu
dan ia pingsan di tempat itu.
***
Saat
sadar, Tiara sudah di rumah sakit dengan selang oksigen yang menempel di
hidungnya. Tidak ada siapa-siapa di sampingnya kecuali suara Lusiana yang
terdengar bicara dengan seseorang di dekat pintu. Tiara memanggilnya dengan
pelan. Lusiana tergopoh-gopoh dan mendekat.
“Aku
kenapa?”
“Kau
pingsan. Kau mungkin terlalu lelah. Menghirup asap di lokasi bekas pembakaran
itu.”
“Lalu
bapak itu? Tio?”
“Bapak
itu sudah pulang dan Tio sudah jadi tersangka pembakaran lahan itu. Oh
untunglah kau selamat dan belum sempat bertemu Tio.”
“Tersangka?!”
Tiara
mendekap erat tangannya di dada. Lagi-lagi ia ditipu cintanya sendiri. Orang
yang ia cintai telah membuat kerusakan dan pergi. Tiara tak dapat mempercayai
siapa-siapa lagi. Ia melihat asap masuk ke dalam setiap pori-pori dan ia ingin
segera pergi dari tempat itu dan tidak ingin datang kembali.***
Comments
Post a Comment