“Aku
membayangkan gaun panjang dengan lilitan bunga di kepala. Ada senyum merekah
dan tatapan mesra. Tidak hanya itu. Setelah perjanjian di hadapan Tuhan, aku
dan seseorang itu akan saling belajar bagaimana tetap membuat kami tersenyum
meski tak bisa dipungkiri akan banyak rintangan yang dihadapi.”
Seseorang
menertawai ucapanku. “Kau terlalu klise,” ujarnya. Temanku itu sok tahu. Apa ia
tidak melihat bagaimana Ibu dan Ayahku bertahan selama bertahun-tahun dengan
pernikahan mereka. Aku belajar pada mereka.
“Kau harusnya
memikirkan pernikahan juga!” ajakku padanya.
“Ah, kenapa dipikirkan. Jalani saja.”
“Huh. Dengan
cara menolak beberapa orang yang mendekatimu?”
“Kalau tidak
suka bagaimana? Aku tidak mau tidur dan menyentuh dirinya. Menjijikkan.”
Kami
tertawa.
“Apa Ibumu tak
pernah menangis? Maksudku Ibumu kelihatan bahagia dan tentu hatinya. Tapi Ibuku
bilang pernikahan itu seperti bermain catur. Harus pakai strategi. Jika tidak
kau akan di makan senjatamu sendiri.”
Aku menggaruk kepala. Setahuku ibu pernah
menangis. Terlebih jika Ayah mulai berkata dengan nada tinggi. Meski tidak
memukul, Ayah pernah menggores hati ibu. Lalu kenapa ibuku bisa bertahan
setelah tiga puluh tahun pernikahan mereka? Ibu bilang. Ibu membiasakan diri
pada Ayah. Dalam mata Ibu hanya ada Ayah. Dalam hati Ibu Tuhan menyuruhnya
berbuat seperti itu.
“Well. “ temanku
berkata lagi. “Jika kau memutuskan bersama orang itu dan mendapati kekurangan
dirinya yang lain setelah kau menikah, akankah kau tinggalkan dia?”
“Hm… Kami bisa
mencari solusinya berdua. Kau tahu kalau aku suka mendiskusikan apapun.”
“Itu berbeda,
Cantik. Jika kau terlalu membahas permasalahan itu, suamimu akan bosan dan
menghirup udara luar tanpa dirimu. Itu bahaya.”
“Benar. Ibuku
pernah berkata seperti itu. Jika kelak aku menikah, aku harus jadi perempuan
yang meneduhkan mata suamiku. Menjadi pelukan paling hangat dan tidak cerewet.”
“Haha? Benar.
Perempuan jika terlalu cerewet akan jadi membosankan. Sangat membosankan.”
Aku mengangguk.
Setuju perkataan temanku ini. Dan ia
bertanya lagi, “Lalu sekian tahun kau merencanakan ini, kenapa kau belum
menikah?”
Aku menghela
napas berat. Jodoh tidak bisa ditebak. Menjalin hubungan dan sempat
membicarakan pernikahan belum membuatku menikah dengan seorang pria manapun. Beberapa hubungan yang kandas, perkenalan
singkat, perjodohan tak memikat serta melihat beberapa perceraian dari teman
sebaya. Kupikir itu tidak mempengaruhi pikiranku untuk menikah. Aku tersenyum .
“Kau jangan
melamun. Kalau mau nikah sana di KUA. Orangnya aja belum ada udah ngomongin
nikah.” Sentil temanku itu. Aku mencibir dan mencubitnya.
“Nikah yuk.
Barengan gitu.”
“Ah. Emoh. Aku
mau kado sendiri.”
Aku tertawa.
Percakapan ini membuatku lebih bersemangat, bertekad sambil berharap. “Will u be my hero?”
***
Ajib. Pertama kali ikut Kamisan langsung diserbu tema paling kepikiran (Ya kali). Terima kasih buat teman-teman yang "merangsang" nulis lagi. Semoga ini mencerahkan. Heuheu
Aku suka banget narasinya :3
ReplyDeleteWaktu disindir kak ar, aku harus belajar sama kak cik ini masalah percakapan yang 'agak' terputus. ._.)a
ReplyDelete:) waduh. Kita sama sama belajar adji. Plis jangan putus .____.
ReplyDelete