Aku menemukan sehelai kartu pos
terselip di bawah pintu ketika senja tiba dan aku pulang dengan tergesa-gesa. Aku
melihat sekeliling dan tak mendapati seseorang yang bisa kutanyai. Kontrakan
terasa sunyi dan aku bisa mendengar dengus napasku sendiri. Kuamati kartu itu
setelah lampu kuhidupkan dan melihat jelas apa yang tertulis di sana.
Seorang Penyair, Malika
Menikamku dengan kata-kata
Meninggalkan jejak luka
Pencinta
senja
Aku berkerut kening. Alamat yang
dituju jelas untukku. Tapi apakah maksudnya dan bagaimana ia -kalau aku ingin
menyebutnya satu orang saja- menyebut diriku sebagai penyair yang melukainya. Seketika
aku terperanjat. Teleponku berdering.
“Malika! Kau sudah di rumah?”
Suara Nadia, sahabat dan rekan
kerjaku di RUNSHOP membuatku lega mendengarnya. “Kau rupanya. Kupikir siapa. Kenapa kau merahasiakan nomor panggilan?”
“Itu tidak penting. Aku hanya ingin
bilang kalau ada kartu pos untukmu.”
“Kartu pos lagi?”
“Iya. Kartu ini cantik sekali,
Malika.”
Aku mendesah, gelisah dan mendadak
takut. Aku meminta Nadia menyebutkan apa isi tulisan di kartu pos itu. Bagaimana
ia bisa ada di sana dan kenapa ketika senja kartu pos itu ada.
“Tidak ada isinya. Kartu ini diantar
Pak satpam. Kata Beliau seseorang yang menitipkan itu. Dirimu sudah pulang
ternyata. Makanya aku meneleponmu saja. Kartu ini cuma ada tulisan Malika,
Perempuan rindu dan Pencinta senja.”
“Oh sialan!” umpatku. “Tolong kau
simpan saja kartu itu. Besok aku akan ke kantor pos dan menanyakannya.”
Telepon kututup. Ini sudah dua hari
aku menerima kartu pos dari pecinta senja. Aku terdiam cukup lama di kursi
ruang tamu sambil membuka buku catatan harianku. Mencoba mengingat dan menerka,
apakah aku pernah membuat sebuah puisi untuk melukai seseorang. Aku berdebar. Ingatanku
langsung menuju Tamim. Dia lelaki itu. Ah, tapi tak mungkin. Aku hanya bertemu
ia tiga kali dalam sebuah acara perhelatan puisi di Batam.
Dalam waktu sesingkat itu, ia bilang
menyukaiku dan mengucapkan pernyataan cinta di hadapan semua orang yang hadir. Jelas
saja aku tidak menerimanya. Aku belum mengenal dirinya secara utuh dan itu
membuat ia ditertawakan orang-orang dan ia pergi dari hadapanku seketika itu
juga. Aku menahan napas. Benarkah itu dia? Pecinta senja? Ya barangkali ia dendam padaku. Atau barangkali
ia hendak memberi pelajaran padaku. Aku menarik satu tanganku yang tetap
gemetar. Mendekap keduanya di dada.
Besok aku tak perlu ke kantor pos
untuk menanyakan perihal kartu pos ini. Aku hanya perlu menghubungi rumah sakit
dan kantor polisi. Sebab kini, di hadapanku. Tamim menenteng belasan kartu pos
sambil tertawa dan membuatku terpekik tiba-tiba
Sekian.
Wogh! Sereeeeem amat. Tamimnya hantu ya? Tetiba muncul gitu?
ReplyDelete*ijin dirikan tenda*
ReplyDeleteCikie nggak mau ngembangin cerpen ini? Aku suka iihh narasi di awal-awal :3
ReplyDeleteIya pengen banget ar. Ntar jadi bersambung aja. hehe
ReplyDelete