Oleh
Cikie Wahab
Aku mendapatkan telepon dari Mak Diah, sepupu Abak
di Bintan, kepulauan Riau. Ini telepon kedua setelah semalam aku dengan sengaja
tidak mengangkat telepon karena tidak ingin tahu apa yang akan ia katakan.
Akhirnya mau juga aku mengangkat teleponnya dan mendengarkan Mak Diah bersuara.
Suaranya yang masih nyaring setelah dua tahun kami tidak bersua. Pasti Abak
yang memaksanya, agar aku segera pulang akhir bulan dan merepetkan banyak hal
terutama tentang warisan yang Abak janjikan.
Warisan Abak bukan sembarang warisan. Abak berkenan
menjadikan aku penerus seni tradisi Makyong. Aku tidak bisa membantah Mak Diah
melewati telepon. Aku Cuma ingat yang ia katakan kalau Abak sakit dan memintaku
pulang. Mak Diah meyakinkanku kalau tak ada perbincangan tentang warisan yang
menjadi alasan aku meninggalkan Abak beberapa tahun ini.
Aku terdiam. Walau bagaimanapun aku punya Abak.
Laki-laki yang menikahi Amak dan membuat aku bisa bersekolah ke perguruan
tinggi di Pekanbaru. Meski begitu aku bersikeras tidak menggunakan uang
sepeserpun dari Abak. Aku berusaha sebagai anak perempuan yang mandiri dan
tidak cengeng pada apapun juga. Tiba-tiba aku terus memikirkan Abak, memandangi
foto Abak kecil yang tengah mengikuti Datuk memainkan Makyong. Foto Abak sudah
buram, foto empat puluh tahun lalu itu menunjukkan Abak tak pernah berhenti
mencintai Makyong seperti ia mencintaiku. Begitu jelas Mak Diah sambil berurai
airmata.
Aku pun pulang. Menyanggupinya dengan sedikit
bimbang. Dengan menyewa perahu aku membawa makanan kesukaan Abak. Semenjak Amak
meninggal, Abak pasti kesepian. Kakak lelakiku sudah memaksa Abak untuk tinggal
bersamanya. Namun Abak menolak, Abak masih punya rumah panggung yang lebih
membuatnya nyaman. Sepanjang perjalanan, aku tak hentinya memikirkan Abak dan
warisan yang mesti aku tunaikan.
Aku berhenti di bawah tangga
Aroma Laut seakan meresap dalam pori-poriku.
Suara Mak Diah kudengar di antara rintihan batuk
Abak, aku bergegas menaiki tangga rumah dan menemukan Abak terbaring lemah di
atas kasur. Ada Rohaya dan juga Makmur, dua keponakanku yang setia menunggui
Abak. Aku tidak bisa menahan airmata saat Abak membalas pelukanku dengan lemah.
“Kau pulang juga, Cera?”
“Abak. Aku pasti pulang menemui Abak.”
Abak memintaku untuk tidak menangis. Abak tertawa
dan memaksaku menceritakan banyak hal dari kota.
***
Berkali-kali aku memandangi peralatan Makyong di
salah satu bilik Abak. Walaupun Mak Diah berjanji untuk tidak membicarakan
Makyong lagi, namun Abak menjadi sehat manakala aku menanyakan perihal Makyong dan bagaimana
aku bisa mempelajarinya. Memang Abak sakit dibuat-buat.
“Aku akan mempelajari Makyong biar Abak senang.”
“Abak sudah tua. Abak bangga kau bisa
meneruskannya.”
Sebenarnya dalam hati aku masih enggan untuk
mempelajari Makyong. Seni dramatari melayu ini begitu digemari saat masa
kejayaannya. Makyong dibawakan kelompok penari dan pemusik professional yang
menggabungkan berbagai unsur upacara keagamaan, sandiwara, tari, musik dengan
vokal.
Abakku belajar tari dari Datuk. Ia berusaha mempertahankan
Makyong, meski kenyataannya kini ia tak mendapatkan timbal balik yang pantas.
Abak menghabiskan waktu yang sia-sia menurutku.
“Makyong ini sudah diakui dunia, Cera. Kau tak akan
malu mempelajari Makyong.” Abak terbatuk-batuk usai membersihkan peralatan musik
dari dalam bilik. Aku menghela napas, menghembuskannya kuat-kuat. Di kampus,
saban pekan teman-temanku malah asik dengan disco dan dangdutan.
“Mana bisa
aku belajar seorang diri saja, Bak. Apa di kampung ni tak ada yang mau belajar Makyong? Kenapa tak diajarkan di
sekolah-sekolah di kota? Atau pemerintah
adakan sayembara saja?”
“Pemerintah berupaya semampu mereka saja, nak. Tapi
kalau kau mau meneruskannya, tentu lebih elok.
Buat Abak dan Amak bangga.” Aku mendengar suara Abak yang menjelaskan banyak
hal tentang Makyong. Aku duduk di tepi beranda, memandang pantai dari kejauhan.
Menghirup angin laut yang berhembus pelan. Aku merasa sangat hidup dalam
kenangan Abak. Sebaiknya Abak tak usah membela pemerintah. Kita urus saja
periuk nasi yang ada.
Tiba-tiba aku teringat teman-temanku di kampus. Mereka mempunyai kelompok seni teater di
fakultas tempatku menimba ilmu. Ada yang bisa kumintai tolong jika begitu.
Apalagi bulan depan akan ada festival seni di kota. Terbersit pula ingin
membawa mereka kemari, mempelajari Makyong bersama-sama.
Ketika kukatakan itu pada Abak. Seketika Abak luar
biasa sehat. Ia meminta Mak Diah mempersiapkan segalanya. Teman-temanku akan
mendapatkan liburan berharga mereka di Bintan. Tempat eksotik yang memiliki
kenangan. Rohaya dan Makmur ikutan girang karena orang-orang kota akan datang.
Sementara aku merasa takut, kalau-kalau temanku tidak menyukai undanganku dan
Makyong. Tapi demi Abak kuambil resiko ini.
Teman-teman kuundang dengan gratis. Mereka hanya
perlu menyediakan ongkos untuk menaiki perahu ke Bintan. Lengkaplah
petualanganku dengan warisan Abak dan Datuk. Hingga dua hari kemudian temanku
sudah tiba di pintu rumah.
Aminah, kupercayai sebagai ketua dalam kelompok
dramatari makyong. Ia punya lenggok yang gemulai. Ada Lila dan Maryam, Ada juga
Maimun dan Atan yang mempelajari rebab dan gendang. Tidak ada kudengar keluh
kesah dari mereka berlima. Mereka dengan lapang hati mempelajari Makyong.
Makyong memang sudah lama tidak dimainkan. Kali
pertama kami mencoba tampil di depan Abak, Mak Diah dan kakak laki-lakiku. Aku
berperan sebagai inang pengasuh dan Aminah sebagai awang. Abak memberikan tepuk
tangannya. Dan jelas membuat aku sedikit berbunga.
Aku merasa perasaanku membuncah ketika
melakonkannya. Terbayang olehku masa di mana Datuk dan Abak berupaya
memakmurkan Makyong hingga ke pelosok daerah, tampil di pentas ibukota hingga kini Makyong diperebutkan oleh Negara
Tetangga. Aku benar-benar menikmati setiap gerakan. Tubuhku larut bersama
ayunan.
“Jika kau terus mengembangkan Makyong, bukan hanya
Abak yang senang. Kau telah mewarisi seni tradisi leluhur kita. Makyong adalah
seni tradisi melayu. Kau akan…”
“Abak.” Kupotong ucapan Abak
Aku melihat teman-teman teaterku sudah kelelahan.
Maimun dan Atan terlelap di samping gendang. Aminah berganti pakaian sementara
Lila dan Maryam menyusun kembali peralatan.
“Abak bahagia?” tanyaku, melepas topeng Makyong ke
atas dipan.
“Kau tanya pula Abak seperti itu? Abak bahagialah.
Kau sudah dewasa. Kau pantas memainkan Makyong.”
“Kalau suatu saat kami tampil. Apa Makyong akan
diterima seperti Abak yang bahagia?”
“Berpuluh tahun seni ini lumpuh. Datuk membawa Abak
mementaskan Makyong. Bertahun-tahun juga Abak mencintai Makyong. Abak sudah
tua. Orang-orang juga sudah tak memperdulikan Makyong lagi.
“Abak…” Kupeluk Abak. Usaha Abak terlalu keras untuk
sebuah kecintaan pada seni ini. Abak tidak pernah lelah. Kebahagiaan Abak
membuatku yakin, Makyong akan sukses ditangan kami berlima, setidaknya demi
membuat senyum Abak sumringah.
***
Saat panggung dibuka, aku melihat tatapan
orang-orang yang menanti pertunjukan. Aku gelagapan dan merasa tidak sepenuhnya
menguasai panggung. Musik sudah dimainkan tetapi aku masih berdiri di belakang pintu. Isyarat temanku
tak kudengar. Aku semakin keringat dingin. Entah apa yang terjadi ketika aku
memasuki panggung atas tarikan tangan Lila, aku tidak melihat tangga di sana.
Dan segala hal memalukan pun terjadi. Aku terjatuh. Dan di tanganku ada
gemerincing yang jatuh. Nyaring hingga membuat semua penonton terdiam. Aku
ketakutan. Takut sebab sudah mempermalukan keadaan. Aku menangis dan membuat
segalanya berantakan. Segera aku berlari ke belakang panggung diiringi teriakan
orang-orang melempariku dengan sepatu.
“Cera. Cera…bangun.
Abak sudah siuman.”
Aku membuka mata. Melihat Mak Diah yang menangis.
Ah, aku lupa. Setiba di Bintan. Aku bahkan belum sempat menanyakan Makyong
sebab Abak kesakitan dan akupun tidak menghubungi siapapun untuk mempelajari
Makyong. Aku bermimpi. Ya tadi itu
mimpi. Jika kenyataan tentu aku akan sangat malu sekali, dan tentu saja membuat
Abak akan bersedih. Kini Abak sudah
sadar dan memanggil namaku. Aku menangis hingga tertidur. Aku malu sekali. Aku
merasa pusing dan melihat peralatan MakYong Abak seakan menari dan berbunyi
nyaring. Besok aku tidak janji akan tampil seperti dalam mimpi.(*)
Pekanbaru
ternayata cuma mimpi ya kak hehehehe... selamat ya kak cerpennya terbit lagi. jee akan sering2 berkunjung kemari.
ReplyDeleteOke ...Kakak juga berkunjung ke rumah je :*
ReplyDelete