Kata
ibuku, aku dilahirkan untuk menjadi perempuan yang menyenangkan hati siapa saja, terutama para pria. Perempuan
yang menjadi pusat perhatian dan menghapus segala kerunyaman di kepala mereka.
Tapi sejujurnya perkataan ibu membuatku mulas setiap kali berhadapan dengan
para pria. Apalagi bagi mereka yang memiliki masalah ketidakstabilan emosi dan mereka
yang jarang mandi pagi.
Menurut
ibu pula, aku digambarkan sebagai hidangan penutup yang mengakhiri kenikmatan
citarasa, memiliki keunggulan serta harga yang membuat kantong mereka menganga.
Tapi hal itu juga tidak kusetujui. Sebab aku ingin menjadi hidangan utama dan
melekat selama-lamanya di lidah para pria.
Aku
masih saja memikirkan perkataan ibu, saat menaruh botol madu ke atas meja. Di
meja itu pula, kuletakkan bunga lili dalam botol kaca dan beberapa tangkai
kembang kertas berwarna kuning, merah dan ungu. Dalam nampan berwarna perak,
kuletakkan dua potong kue Red Velvet dan segelas air yang dicampur madu.
Mengenai potongan kue berwarna merah itu, aku kembali mengingat percakapan
dengan ibu.
“Makanan
ini mahal.” Ibu mengeluarkan hidangan itu dari lemari dan berpesan padaku,
“Jangan sekali-sekali kau menangisi makanan ini.”
“Kenapa
memangnya, Bu?” tanyaku dengan sangat polos. Aku sangat ingin mencicipinya waktu itu.
“Pokoknya
jangan! Kasihan. Kan sudah ibu bilang ini mahal. Makanan ini hanya untuk orang
yang spesial.”
“Tapi
Bu. Di buku…”
“Jangan
membantah. Kau pergilah ke kamar. Aku akan keluar.”
Ibu
kulihat memotong beberapa bagian kecil kue itu dan membawanya dalam piring. Ibu
juga tidak menjawab pertanyaanku saat ia terus menuju pintu. Aku mengintip dan
melihat ia pergi ke badan jalan lalu ke arah petani bunga yang biasa singgah
dengan mobilnya. Mereka bicara cukup lama lalu setelah itu kulihat ibu
memberikan kue kepadanya. Sial! Batinku. Itukah orang spesial bagi ibu? Aku
mendesah. Menatap kue sisa potongan di meja
Kembali
pada apa yang aku lakukan sejak tadi. Aku menarik satu kursi dan duduk. Kuambil
sendok kecil dan kucicipi Red Velvet buatanku sendiri. Aku menghabiskan banyak
uang untuk melakukan banyak percobaan mengikuti resep yang ibu berikan. Ibu
meyakinkanku agar aku bisa berbuat apa saja, termasuk membuat hidangan seperti
ini.
Saat
suara sepatu terdengar di depan pintu, aku terkesiap. Lamunanku terhenti dan
menoleh ke arah pintu.
“Han?
Kau kembali? Duduklah.” Aku girang melihatnya. Aku menunjuk ke kursi satunya
lagi dan meletakkan gelas berisi madu ke hadapannya. Han mendekat dan duduk. Ia
melihat apa yang ada di meja. Ia menarik napas.
“Kau
membuatnya sendiri?” Tanya Han.
“Ya.
Ibu yang mengajariku. Kau mau? Makanlah.”
“Untukku?”
“Tentu
saja. Katakan padaku kau darimana?”
Han
bersandar dan meneguk minuman yang kuberikan. Aku terus memperhatikan wajahnya.
Warna kulitnya yang menghitam dan bulu matanya yang jatuh. Ia begitu tenang dan
piawai mengendalikan suasana. Tapi kali ini, aku melihatnya sangat tidak
bersemangat. Biasanya ketika ia melihatku, ia akan tertawa dan girang luar
biasa sama seperti pengunjung yang datang ke penginapan kami. Ternyata
perkataan ibu tidak sepenuhnya benar. Aku tidak mampu menentramkan hati lelaki ini.
Aku
bertanya pada Han dan kuresapi setiap desah napasnya. Ia pun mulai bicara.
“Saat
aku di pantai. Mengenal Antari dan melihat cahaya matahari lewat jendela yang
terbuka. Aku seperti dipenuhi cahaya. Silau dan begitu hangat. Perempuan itu
sama seperti biasanya, ketakutan untuk kutinggalkan. Meskipun ia tahu aku
bukanlah miliknya.”
“Kau
menyesal meninggalkannya?”
“Tidak.”
“Lalu?”
“Akh..
aku lapar. Boleh kuminta kue ini lagi?” Han mengalihkan pembicaraan. Aku tentu
saja menambah potongan Red Velvet ke piring dan masih duduk di sana sambil
mengikat bunga kembang kertas yang masih tergeletak di atas meja.
Han
yang manis. Ia lelaki yang baik. Salah satu hal yang membuat ia kerap singgah
di penginapan ini adalah pekerjaan dan juga kesabaranku mendengarkan setiap
ceritanya yang selalu punya kekuatan. Aku suka mendengarkan perjalanan siapa
saja yang ingin bercerita. Bukankah memang tugasku seperti itu, kata Ibu suatu
kali.
Dan
salah satu cerita Han yang pernah kudengar adalah tentang Antari. Perempuan
pantai yang pernah menjadi kekasihnya. Han menyebutkan dirinya tidak bisa
tinggal di pantai lebih lama. Mereka berdua punya kehidupan yang sangat
berbeda.
“Kalau
kau terus-terusan membuat kue seperti ini. Aku akan sering menginap di sini dan
mencicipinya.”
“Haha.
Kau tidak bisa kemana-mana kalau begitu. Kata ibuku, kue ini hanya untuk orang
spesial.”
“Aku
spesial?” Han memberikan pertanyaan yang membuatku tersipu. Itu benar sekali,
namun sayang. Han tidak bisa dimiliki. Ia seperti burung yang bebas terbang di
angkasa. Cukuplah Red Velvet ini yang mengingatkan ia kepadaku.
“Darimana
bunga itu?” Tanya Han.
“Bunga
ini dibeli Ibu dari petani bunga yang biasanya mampir ke penginapan.”
“Bunga
yang bagus. Kau tidak ingin menanamnya sendiri?”
“Tentu
saja aku ingin. Tapi aku butuh seseorang untuk menemaniku berkebun bunga.”
Han
mendelik dan tertawa. Aku ikut-ikutan tertawa dan ia terus saja bertanya
tentang segala sesuatu. Bahkan ketika sebutir telur yang lupa kutaruh di
keranjang dilihat oleh Han dan ia kembali bertanya. Ia menanti jawabanku dengan
tatapan menggoda.
“Aku
baru saja ingin membuat masker telur dengan madu. Tapi melihat kau datang aku
jadi lupa. Penginapan ini akan sepi jika aku tidak bisa membuat tamu gembira
bukan? Aku harus membuat dua orang pegawaiku kelihatan cantik dengan masker
itu. Ibu akan marah jika tahu aku tidak melakukannya. Aku juga tidak ingin
menghabiskan kue ini sendirian. Aku tidak boleh menangisinya sebab ia kue yang
mahal.”
Han
tertawa sangat keras.
“Kau
gadis yang lucu yang patuh pada ibumu. Aku lupa masalahku jika berada di
dekatmu. Benar sekali, kau harus menurut dan mengerjakan semuanya. Kalau tidak
kau bisa kehilangan banyak pelanggan.” Han mengakhiri tawanya dan bertanya, “Ada
mobil di parkiran membawa kotak besar, siapa itu?”
Aku
diam dan mencoba mengingat siapa yang menginap.
“Oh
itu Tuan Fa. Ia menginap sejak kemarin dan mencoba teh ginseng buatan ibuku.
Sejujurnya separuh Red Velvet ini akan kuhidangkan untuknya, Han.”
“Hm,
begitu. Ibumu paham sekali melayani orang-orang seperti itu. Apa kau harus
menemaninya juga?” pertanyaan Han membuatku kesal.
“Tuan
Fa datang bersama istrinya. Jangan berpikiran yang tidak-tidak. Ia membawa alat
pemanas air dan istrinya juga memberi ibuku beberapa bahan makanan. Kau tahu di
penginapan ini ibuku sangat ramah. Orang-orang suka meninggalkan hadiah
untuknya. Aku tidak suka kau menganggapku serendah itu.”
Han
menyentuh tanganku. Lalu ia berkata, “Kau sangat cantik. Aku takut ibumu
memanfaatkan kecantikanmu untuk berbuat lebih kepada para tamu di sini.”
“Ibuku
tidak seperti itu, Han. Aku memang bertugas agar membuat kalian nyaman, tapi
bukan menemani kalian di ranjang. Seperti Red Velvet ini. Ia kue yang cantik
dan sangat enak. Tidak sembarang orang yang akan mencicipinya kecuali ia dibawa
kepada orang yang sembarangan pula. Mengertilah.” Tiba-tiba saja aku merasa
sangat sedih di hadapan Han.
“Kau
menangis? Maafkan aku.” Han meremas jemariku.
“Kau
perempuan yang baik. Sangat baik hingga membuat semua orang termasuk aku, suka
datang bercerita kepadamu. Entah berapa banyak kisah yang aku ceritakan padamu.
Tapi aku tidak pernah menanyakan kisahmu sendiri. Maafkan aku, aku terlalu
egois ingin dilayani sebagai tamu. Tolong jangan menangis.” Han menyentuh
pipiku. Air mataku hampir jatuh.
“Oh
tidak. Aku tidak boleh menangis.” Aku gelagapan menyeka mata dan pipiku. Tapi
Han menahan tanganku dan menyuapkan satu sendok Red Velvet ke mulutku. Aku
terdiam. Rasanya segala kesedihanku hilang. Dan suara ibu memanggil-manggil
dari pintu depan.
“Pergilah.
Aku akan tetap di sini menunggumu datang.” Ucap Han dengan sangat tenang.
Kuperhatikan kue tadi dan kubisikkan pada Han. “Jika kau membuatku menangis,
Kau tidak bisa menccicipi kue ini lagi.”
Han
tertawa dan aku segera berlalu darinya.***
Pekanbaru.14
Februari 2015
Tema Kamisan 3 #3. Juga terbit di Padang Ekspres 8 Maret 2015
Comments
Post a Comment