Terbit di Padang Ekspress, 28 Februari 2016
Tiga
minggu yang lalu, saat keluarga Todi tengah duduk di ruang belakang, dan lampu
bohlam di atas kepala mereka bergoyang diterpa angin yang berhembus kencang.
Mahmud, anak lelaki Todi mencatat beberapa hal dalam buku kecilnya. Saat itu tak ada pembicaraan santai
seperti biasa. Mereka tengah bersiap-siap menghadapi badai. Badai yang lebih
dahsyat daripada bertahun-tahun hidup dalam kemiskinan.
Di
meja makan kayu itu hanya ada mangkuk sup yang tinggal separuh. Mahmud dan Can
sudah menghabiskannya terlebih dahulu sebelum ayah mereka datang. Ayah Todi
tidak bicara apapun selain memandangi wajah kedua anak lelakinya.
Mama
mengambil mangkuk itu dan mencucinya. Ia hanya berkata, kalau mereka tidak
boleh menyisakan makanan. Can lalu bicara kalau seandainya ia menghabiskan
seluruh makanan, bagaimana ayah akan makan. Mendengar itu, ayah Todi menunduk. Tangan kanannya membelai
rambut Can. Mahmud mendengar ayahnya berkata seperti ini.
“Dunia
ini sedikit lebih rumit dari apa yang kalian pikirkan. Jika Ayah tidak kembali,
jangan menangis. Akhir pekan kita akan jalan-jalan. Kau tahu apa tugasmu,
Mahmud?”
“Ya,
Ayah!” Mahmud tentu saja paham mengenai penangkapan ayahnya yang menjadi kurir
barang curian. Polisi tentu akan datang sebentar lagi. Dan Mahmud dengan rinci
menulis di buku kecilnya tentang apa yang Ayah curi.
Rekan kerja ayah tertangkap tangan
tengah membawa belasan telepon genggam yang ada dalam tas besarnya.Tidak ada
yang tahu kalau ayah juga ada di sana dan bersembunyi. Saat itu Can tengah
merengek meminta mainan milik anak tetangga sebelah rumah. Aku sudah
memberitahu Can kalau itu bukan miliknya dan ia tidak bisa memaksa. Tapi Can
tidak mau tahu. Ia juga mengatakan pada Ayah kalau ia ingin mainan dan
baju-baju baru dan memaksa ayah membelikannya. Padahal ayah bekerja serabutan
dan harus membayar biaya sewa rumah yang semakin tinggi. Tapi Can tetap anak
kecil berumur empat tahun yang belum mengerti. Ia terus mendesak Ayah
membelikan apa yang ia minta.
Kami hanya punya sedikit barang
sehingga Mama juga terus-terusan mengomel tentang pelitnya tetangga yang
meminjamkan mesin penggiling daging atau bahkan pengocok telur untuk membuat
makanan kesukaan ayah. Maka mama juga memohon ayah agar memberinya uang untuk membeli barang tersebut beberapa hari
sebelum kejadian itu. Ayah mengangguk saja, seolah-olah semua bisa ia atasi.
Lalu ayah keluar rumah dengan raut wajah sedih.
Mahmud
menoleh, memperhatikan wajah ayahnya. Tidak ada ketakutan yang ayah tampakkan.
Bukan karena ingin menunjukkan bahwa apa yang ia lakukan adalah pekerjaan tidak
baik tetapi ayah tidak ingin membuat khawatir seisi rumah.
Lalu
Mahmud menulis lagi di buku kecilnya sebelum listrik mati.
Hari ini, ayah mengatakan akan
dibawa orang berseragam. Padahal aku tahu ayah belum makan apapun sejak ia
pulang. Ia sempat bercerita mengenai pertunjukan di lapangan sore tadi dan aku
tidak sempat mencatatnya. Jika saja Mama dan Can tidak punya keinginan itu, apa
ayah akan mencuri? Apa ayah akan ditangkap seperti ini?
Mahmud
mengalihkan pandangannya pada mama yang selesai membersihkan tempat cuci
piring. Bau lemon dari sabun pencuci masih melekat di tangan mama. Mama sudah
menangis sejak pagi tadi. Ia sudah memarahi dirinya sendiri agar tidak
menyulitkan ayah lagi. Kemudian ia duduk dan bicara pada yang lainnya.
“Aku
ingat dulu sekali saat aku ingin menonton di bioskop dan Todi belum bekerja.
Aku mencoba menjadi juru parkir di depan bioskop agar mendapat tiket gratis.
Tapi aku malah dianggap orang gila dan Todi memukul orang yang mengatakan aku
seperti itu. Kami dulu sangat serius sekali mendapatkan keinginan apapun. Tapi
aku sadar. Ada saatnya sebuah keinginan tidak harus dipenuhi, itu yang harus
kau dan Can ingat, Mahmud.”
Selesai
berkata seperti itu, mama menangis lagi dan menahan lengan ayah untuk tetap di
sampingnya. Can melihat mama menangis sehingga ia ikut menangis dan Mahmud
berdiri dari bangku, melihat ke pintu depan. Sebuah mobil sudah ada di sana dan
mereka yang berseragam itu datang menjemput ayah. Angin kencang dan hujan turun
bersamaan. Sementara mama hampir terjerembab dan bibirnya mengenai pintu
sehingga Mahmud tidak peduli lagi dengan buku kecil itu. Rasa-rasanya semua
sudah berakhir. Ia lempar kaca mobil itu dan memeluk mama erat-erat.
***
Maka
sejak saat itu, dengan berbekal buku kecil di sakunya. Mahmud berjalan ke
setiap tempat dan bertanya banyak hal. Bagaimana kesalahan ayahnya bisa
berkurang dan berkurang. Bagaimana ayahnya bisa pulang segera dan kembali
bekerja. Tetapi orang-orang tidak banyak membantunya. Hanya dengan sekantong
beras lalu ia disuruh pulang, atau dengan uang lima ribu rupiah untuk membeli makanan
penganjal perutnya.
Kadang
saat orang benar-benar berbaik hati, mereka memberi sekantong berisi bahan
masakan buat mama Mahmud. Dan sekotak susu yang masih utuh di berikan cuma-cuma
oleh pemilik toko di ujung jalan.
Mereka
bertiga. Mama, Mahmud dan Can masih tetap hidup meskipun ayah belum juga
kembali. Hingga Mahmud merasa bosan dan
ingin kembali ke sekolah. Ia merasa hari-hari yang ia lalui begitu panjang dan
membosankan. Tapi ia tahu tak punya uang membeli perlengkapan sekolahnya. Ia
meminta mama mengantarkannya ke tempat ayahnya berada.
Awalnya
mama menolak dengan alasan itu bukan tempat yang baik bagi anak kecil. Tetapi
karena rasa cinta yang besar dan kepatuhan, mama membawa Mahmud dan Can ke
tempat di mana ayah di beri ganjaran perbuatan tidak baiknya itu.
Mahmud
menunjukkan muka berseri saat bertemu ayah Todi. Ia melihat seorang pahlawan
dalam diri ayahnya. Lalu dengan penuh semangat, Mahmud menyodorkan buku
kecilnya ke hadapan si ayah.
“Berapa
lama lagi ayah di sini?” Tanya Mahmud.
“Tenang
saja. Sebentar lagi ayah keluar, Nak.”
“Sebentar
lagi itu berapa lama? Aku bosan mencoret kalender.” Mahmud membuat ayahnya
gelisah. Mama hampir memukul Mahmud jika ia tidak diingatkan ayah agar berlaku
sopan.
“Begini.
Jika kau bisa belajar dengan rajin. Kau bisa mendoakan ayah segera bebas.”
“Tapi
aku tidak punya baju ke sekolah, Ayah. Mama melarang kami menjadi
peminta-minta. Mama mengerjakan banyak tugas untuk mendapatkan uang membeli
nasi dan sup.”
“Kalau
begitu bantu mamamu bekerja.”
“Ayah
jahat!”
Mahmud
menjadi mudah bersedih dan marah. Ia sempat berlari menjauh dari ayahnya. Tapi
kemudian ia masuk kembali ke ruang itu dan memeluk ayahnya dengan erat.
“Kami
merindukan ayah.”
***
Kini
saat Mahmud ingat kejadian bertahun-tahun lalu itu. Mahmud menjadi merah padam
mukanya menahan malu. Ia sudah mencoba melupakan saat malam mereka harus makan
sup tanpa ayam ataupun kentang. Saat mereka harus melihat ayah mereka dibawa
petugas berseragam atau saat mama harus menangis dan robek di bibirnya.
Mahmud
melihat ke arah jalan. Kini ayah sudah giat bekerja di sebuah perusahaan. Ayah
mereka kini mampu membelikan apapun yang Can dan mama inginkan. Tapi Mahmud
semakin was-was dengan pekerjaan ayahnya yang baru. Pekerjaan yang tidak pernah
membuat mereka berempat berkumpul di meja makan lagi, pekerjaan yang menyita
pelukan ayahnya dan membuat mama mereka lupa mengenai banyak keinginan.
“Suatu
saat kalian akan mengerti dunia ini akan semakin rumit saja.”
Lalu
Mahmud membuka buku kecilnya yang tampak lecet. Ia sudah menamatkan kisah itu
berkali-kali dan setiap ia selesai membacanya, Mahmud bersedih. Ia ingin makan
sup tanpa ayam ataupun kentang dan ia ingin sekali memeluk ayah dan mama secara
bersamaan, bersama Can di ruang belakang yang sederhana dan nyaman.***
Januari.
2016
Comments
Post a Comment