Menjadi kurir
di pos perbatasan adalah pekerjaan yang tidak gampang. Debu, tanah retak
dan pagar kawat sejauh mata memandang,
membentang luas membelah utara dan selatan. Tidak ada hunian di sana selain dua
pos besar dan tank yang berjejeran lengkap dengan senjata dan terik matahari
menyengat seperti biasa.
Seorang lelaki muda berdiri dengan mantel tipis
berwarna coklat, debu melekat di antara dagu dan lehernya. Di pundak kanannya
tersandang tas lusuh. Lelaki itu memandang dari kejauhan, mengingat hari-hari
sebelumnya saat ia memberitahu perihal pekerjaan barunya sebagai kurir ke
bagian perbatasan. Ibunya tentu saja marah besar, menangis dengan sekuat
airmatanya yang tumpah, agar ia mengurungkan niatnya atas pekerjaan itu.
“Kau bisa mati muda, Hamid. Kau bisa cari pekerjaan
lain,” Ibunya seperti gila dan berteriak di depan kedua adiknya yang juga
menangis menahan lapar. Lelaki itu diam, hanya merogoh saku jaketnya dan dari
celah saku yang dilapis tambal kain itu, ia mengambil beberapa keping uang. Diberikannya benda itu pada sang ibu.
“Ini bukan gaji pertamaku, tapi ini uang mukanya,
percayalah. Belilah roti untuk mereka, Ibu.” Lelaki itu pindah ke ruang depan dan diam memandangi jalan dari jendela. Sesaat
setelah ibunya kembali dari toko di seberang jalan, kedua adiknya diam. Lelaki
itu pun menyeka sudut matanya yang berkaca-kaca.
Letusan senapan kembali terdengar beberapa kali.
Debu mulai menyebar. Lelaki itu juga
tahu kalau konflik di daerah perbatasan tidak
akan pernah selesai. Dan ia menahan napas sebentar untuk mencerna apa yang akan
dilakukannya kali ini adalah benar. Sebagai kurir ia mempunyai tugas mulia
mengantarkan obat ke utara. Obat apa? Ia sendiri pun kurang tahu. Sebab ia
tidak punya hak lebih untuk mengetahui apa yang ditugaskan padanya.
***
Ia kembali menaikkan sandaran tas di pundaknya. Ia
meludah dari tempat ia berdiri dan melihat beberapa orang berseragam datang. Prajurit
itu membawa penduduk sipil, perempuan tua dan dua orang anak kecil. Lelaki muda
itu tiba-tiba iba.
Lalu terdengar tangis mereka, dalam bahasa yang paling
rendah sebagai sebuah permintaan, teriakan memohon di selingi sumpah serapah juga
kumandang takbir. Lelaki muda itu melihat dari tempat ia berdiri keadaan langit
di kota diselimuti kabut asap. Bunyi letusan besar dan derap langkah yang
berasal dari arah berbeda. Tambah kecut
dadanya, tambah pilu kedua matanya memandang kehidupan. Ia pikir kehidupan hanya soal hidup dan mati.
Membunuh atau dibunuh. Ia seperti melihat senyum kedua adiknya tadi pagi,
meminta ia agar pulang lebih awal.
Gemuruh itu, ia menengadah ke langit. Pesawat melintas
seperti memberi perintah, seakan-akan hendak menghantam tubuh kurusnya yang
masih juga berdiri tak jauh dari sebuah tank dan tabung besar. Ia
terengah-engah, ingin menangis rasanya dan meminta semua berhenti. Waktu akan
melukai mereka. Mereka akan mendapat kesengsaraan yang paling pahit.
“Ayahmu juga mati di medan perang, nak. Masalah tidak
akan pernah selesai. Jika orang-orang bersenjata itu tetap ada, mereka akan
terus merampas kebebasan kita.” Ibunya menangis. Ia mendengar tangisan ibunya
seperti dalam lorong yang panjang. Bukan hanya ibu tapi juga kedua adiknya dan
penduduk kota. “Lalu kita tidak berbuat apa-apa? Berdoa saja tidak cukup, Bu!”
Saat tersadar kembali, lelaki muda itu meletakkan tas
sandangnya ke tanah. Ia menemukan sepucuk senjata laras panjang tergeletak di
samping tabung gas kosong. Ia jadi ingat kembali percakapan malam itu.
“Bu, apakah kita bisa selamat dan pindah ke tempat
yang aman?” tanyanya suatu saat, ketika bunyi letusan dekat sekali terdengar di
telinga.
“Pejuang tidak
lari dari perang, nak.” Ibunya tersedu-sedu tengah memeluk foto ayahnya dan
kenangan itu buyar ketika sebuah teriakan terdengar. Ia memandang dengan
gemetar pada peluru yang masih terisi penuh dalam senapan itu. Ia memandanginya
dengan penuh harap dan ketakutan juga kebimbangan. Seandainya saja ia bisa
berbuat sebagai seorang prajurit perang, bukan hanya sebagai kurir bawahan.
Lelaki itu tersentak. Ia merasakan ada benda yang
menempel di punggungnya. Padahal ia belum bergerak ke tengah lapangan, ke arah
pos besar para pembawa senjata. Ia berbalik dan mendapati dua orang berpakaian
seragam menodongkan senjatanya tepat di depan muka.
“Kau mata-mata?” tanya seorang di antara mereka
berdua.
Lelaki muda menggeleng
“Kau mata-mata!!”
“Tidak, pak.”
“Katakan kau mata-mata atau peluru ini menghanguskan
kepalamu!”
Lelaki itu menyeka tangisannya. Senapan yang jatuh
masih berada di bawah kakinya. Jika ia mati hari itu, tentu ibunya akan kesusahan
dan ia tidak ingin hal tersebut terjadi. Ia menengadah. Matahari panas luar
biasa. Ia menyapu keringat di lehernya sebentar. Ia diam dan melihat satu dari
prajurit itu membongkar tas yang ia taruh di dekat tabung. Ia pun nekat meraih senapan itu kembali dan
menekan pelatuk dengan segera.
Letusan empat kali terdengar. Letusan senapan laras
panjang yang dipegang anak lelaki itu. Ia segera meraih tas coklatnya dan
berlari sekuat tenaga kembali ke rumah. Tidak ada lagi percakapan antara lelaki
muda itu dengan dua orang bersenjata.
***
Dan di sana, tepat pukul dua belas tengah hari.
Pekerjaan kurir itu belum juga dimulai dan lelaki muda sudah kembali ke
selatan. Di tanah lapang dekat tabung gas kosong, dua mayat pria bersenjata
roboh tanpa perlawanan berarti. Serine berbunyi kencang. Penduduk kota harus
mempersiapkan jawaban untuk menyambut kedatangan berpuluh-puluh pasukan. Perbatasan
itu, selalu menyimpan ketegangan.(*)
Comments
Post a Comment