Mungkin saja saya lupa, kapan saya menemukan rumah yang di dalamnya ada kamu. Ada sejumput rasa bahagia dan gelisah ketika harum lavender memenuhi kepala dan senyummu ada di sana. Saat itu Pagi dan matahari belum muncul. Saya pikir kamulah yang menyinari sekeliling ruangan yang hampa. Kamu malu pada saya saat kita berjabat tangan dan memeluk kenangan dari belasan bulan.
Saya pikir, saya harus meninggalkan rumah itu. agar tidak terperangkap. Dan menemukan kebiasaan bersama kamu. Saya tidak ingin menyerahkan puzle itu begitu saja sejak matahari telah berganti rupa. Saya menginginkan sepotong tawa dan tatapan yang indah saat malam tiba.
Kamu tidak mengerti karena sebuah pintu rusak telah membuat angin kencang masuk dan membuatmu kedinginan. Saya peduli. sangat peduli. Saya hanya tidak ingin melihat kamu meleleh menjadi matahari yang menyinari dan memeluk perasaan kita.
Kedengarannya lucu, saya ingin pergi meski saya tidak benar-benar pergi. Adakah perasaan itu telah membuat saya jadi begini? saya tidak ingin kamu menjawabnya. Saya akan mengambil kereta jurusan ekonomi saja. Karena saya ingin melihat di sepanjang peron orang-orang berpelukan dan saya melambaikan tangan seolah saya bahagia.
Kereta itu akan berangkat, saya belum berkemas. Jika kamu mau, kamu bisa mengantar saya ke stasiun. Meninggalkan rumah yang mempertemukan kita. Ah, kereta itu membuat kita terpisah jauh dengan diiringi suara sesenggukan entah darimana. Peluk saya, kita akan bertemu atau tidak. Berdoa saja.
Comments
Post a Comment