Untu bisa dipelajari bersama :)
SOLILUI
Oleh Cikie Wahab
Oleh Cikie Wahab
Solilui duduk di
bangku dengan wajah pucat. Riasan di wajahnya tampak pudar dan matanya
mengambang ke arah lampu jalan. Ia menarik napas hingga hidungnya kembang
kempis. Ia segera ambil tisu dari dalam tas kulit berwarna merah dan mulai
membersihkan ujung mata, lipstick hingga melap airmatanya yang tumpah.
(Saya
akan mulai dari paragraf awal ini. Paragraf awal sebuah cerpen sering dikatakan
sebagai “perut cerita”. Di sinilah, pengarang mesti mencurahkan sebagian
energinya untuk membuat pembaca tertarik mengikuti sisa kisah berikutnya.
Pengarang bisa menimbulkan kesan misterius, menyamarkan keseluruhan plot
sehingga pembaca, mau tidak mau, akan tertarik mengikuti kisah sampai usai.
Paragraf
pertama, di atas, terdiri dari tiga kalimat, pada cerita ini terasa berat
sekali. Belum menimbulkan sense yang mengajak pembaca menikmati cerita.
Kalimatnya masih panjang, boros penggunaan kata sambung, dan belum bersinambung
antara kalimat pertama dan berikutnya. Mari kita coba sinambungkan. Perhatikan
perubahannya:
“Solilui risau dengan wajah pucat. Riasan wajahnya memudar, matanya kini mengambang ke lampu jalan. Berat nian setiap helaan napasnya, seolah dadanya dihimpit sesuatu. Selebar tisu dari tas kulit merahnya, menyeka ujung mata dan lipstik, menyamarkan bekas alur air mata di pipinya.”
“Solilui risau dengan wajah pucat. Riasan wajahnya memudar, matanya kini mengambang ke lampu jalan. Berat nian setiap helaan napasnya, seolah dadanya dihimpit sesuatu. Selebar tisu dari tas kulit merahnya, menyeka ujung mata dan lipstik, menyamarkan bekas alur air mata di pipinya.”
Saya
buang kata subyek “bangku” sebab pengarang tak mengesankan soal posisinya. Di
bangku mana si Solilui duduk sambil mengambangkan mata ke lampu jalan? Sehingga
mungkin kalimat pertama pada paragraf pertama itu bisa dituliskan begini:
“Wajah pucat Solilui risau di bangku taman.” Atau “Solilui yang pucat kini
risau di bangku taman.”
Itu
sekadar contoh. Tentunya formulasi kalimatnya akan terasa enak jika keluar
langsung dari hati pengarangnya. Toh, tak mungkin kita tinggalkan logika
kalimat, bukan? ^_^ )
Solilui memandang ke
seberang jalan. Toko pakaian di ujung jalan masih buka.
Solilui enggan beranjak.
Langit terang. Beberapa pasang lelaki dan perempuan tengah sibuk menikmati
malam dan bercengkrama memikirkan kemana mereka setelah menghabiskan jagung
bakar. Tiba-tiba Solilui merasa muak melihat semua itu. Ia memalingkan muka dan
malah menemukan seorang pengamen berdiri di sampingnya. Tanpa permisi
menyanyikan lagu yang terdengar sumbang di telinga.
(“sepasang”
berpadanan dengan “lelaki dan perempuan/perempuan dan lelaki, jantan dan
betina, siang dan malam, dll.”)
Solilui tidak
mengusirnya. Gitar kecil di pelukan pengamen itu menarik minatnya. Ia kembali
mengenang pertemuan dengan perempuan yang membuat separuh hatinya berdebar
seperti yang ia rasakan sekarang.
(di
akhir bagian ini, pengarang boleh melakukan lompatan plot, dengan menggunakan
simbol (boleh) bintang tiga, atau lainnya)
“Katakan apa yang kau
cari tengah malam begini?” Solilui menghentikan petikan senar gitarnya. Ia
hampir membungkuk untuk melihat wajah perempuan yang mengacak-acak tas di
trotoar jalan.
“Teleponku! Teleponku
hilang!!”
“Oh! Ada yang mencuri
teleponmu?!” Solilui ikut berputar mencari di sekitar trotoar.
“Aku harus menelepon
ibuku. Aku akan pulang. Tapi ibuku pasti marah besar. Ia bisa saja memukulku.”
“Memangnya kemana kau
sejak tadi?” Solilui menawarkan ia sebotol minuman dari pedagang di tepi jalan.
Perempuan itu terduduk lemas dan menggaruk kepalanya.
“Ibu memaksaku
menikah dengan pria tua, aku kesal dan enggan pulang.”
“Masih ada perjodohan
seperti itu?”
“Kau tidak tahu
rasanya jadi perempuan itu seperti apa. Ibu-ibu memutar otak mereka agar dapur
tetap mengepul dan suami tidak akan melempar gelas atau piring saat mereka
lapar. Ibuku tidak ingin aku melarat. Dan aku tidak ingin ibuku kecewa.”
Serr…Solilui berdebar mendengarnya. “Itu mengerikan. Dan kau akan menikah dengan alasan seperti itu? Jika laki-laki itu membuatmu bahagia, lantas kenapa?” Tanya Solilui, mencoba memetik senar gitarnya pelan.
“Hidup itu memang
keras. Pria tua itu sudah punya keluarga dan anak. Ia bilang bahwa hubungan
keluarganya sudah hancur. Ibuku mencintaiku dan aku juga mencintai ibu. Hanya
saja…” Perempuan itu menangis. “Aku tidak menyukai pria itu.”
O, Solilui mencoba mengerti. Ia menatap mata perempuan itu. “Selanjutnya bagaimana?”
“Tidak tahu.”
“Boleh kuajukan
sebuah usul?”
“Apa itu?”
“Jangan menikah
dengan pria itu. Bekerja saja jika kau membutuhkan uang.”
Solilui membuat perempuan itu tertawa. Hilang sudah tangis manjanya. “Kau lucu. Siapa namamu?” Tanya perempuan itu.
“Aku? Solilui.”
Solilui mengulurkan tangan. Perempuan itu membalasnya.
“Solilui…Solilui…
tanganmu halus dan kau kelihatan manis. Laki-laki sepertimu begitu cantik.”
Perempuan itu terus mengulang namanya. Solilui malu dan memetik senarnya satu
satu.
“Kita akan bertemu
lagi besok.”
“Teleponmu
bagaimana?”
“Biar sajalah.
Telepon itu akan berdering setiap saat. Aku bosan mendengar suaranya.”
“Perempuan yang
aneh.”
“Lebih aneh lagi
kalau kau terus membuatku duduk berlama-lama di sini. Aku akan pulang. Aku akan
tidur malam ini dan berharap besok kita bertemu lagi. Aku tidak akan menangis.”
“Ya. Jangan
menangis.” Solilui menyentuh bahu perempuan itu. Mereka sama-sama tersenyum,
lalu mereka saling merekam tatapan masing-masing.
***
Tidak ada yang salah
pada semua kelahiran bayi mungil yang lucu. Kedua orang tua sang bayi
sumringah. Ia pantas diberi cinta. Wajah yang pualam dan bersinar bak rembulan.
Amboi… Solilui dilahirkan cantik luar biasa. Ia menjadi permata dalam sekejap
saja.
“Boleh kami
mengendong Solilui? Dia bisa jadi model saat besar nanti.” Permintaan tetangga
yang tak bisa diabaikan. Kedua orang tuanya menerima dan habislah masa kecil
Solilui menjadi bahan perbincangan dan rebutan. Solilui tumbuh seperti
permintaan orang-orang. Ia dididik dalam aturan yang menguntungkan.
Solilui tetap seorang
perempuan. Solilui mencintai pria tampan kala umurnya baru menginjak delapan.
Ia mengejar pria itu hingga kedua orang tuanya marah besar.
“Kau masih kecil!
Perempuan harus bisa menjaga kehormatan!!” Ayah Solilui mungkin tidak mengerti
apa yang diinginkan Solilui. Ia memberi pelajaran yang sama sekali belum
dipahami oleh Solilui. Solilui terus ketakutan dan sakit sekali saat ibu dan
dirinya ditinggalkan orang-orang.
Solilui melihat
kehidupan laki-laki lebih menyenangkan. Ia ingin seperti mereka dan bosan pada
kecantikan yang orang tuanya banggakan. Apalagi sejak ibunya sakit-sakitan dan
tidak ada yang mengepang rambutnya saat malam.
“Biar tahu rasa!”
Solilui bersorak. Suatu malam, ia mulai memotong rambut, merokok, dan memetik
gitar. Solilui lari dari rumah dan berkumpul dengan lelaki-lelaki jalanan.
“Lihat. Kalian tidak akan melihat Solilui yang cantik lagi!!” ia meloncat
kegirangan dan ia kehilangan tenaga saat darah menstruasinya mengalir deras. Ia
kemudian diantar pulang dan kena tampar. Sejak itu ia benci jadi perempuan.
Sejak itu ia benci ayah memeluknya dari belakang secara diam-diam.
***
“Maaf terlambat.
Bagaimana pria tua itu? Apa minggu depan ia jadi melamarmu?”
Solilui bergegas menemui perempuan yang sudah setengah jam menunggu dirinya. Solilui tersenyum. Bertemu dengan seseorang seperti perempuan itu membuatnya senang bukan kepalang. Beginikah rasanya jadi perempuan yang dirindukan? Decaknya dalam hati. Namun ia segera membaca raut wajah perempuan itu dan menemukan kerisauan yang dalam.
Solilui bergegas menemui perempuan yang sudah setengah jam menunggu dirinya. Solilui tersenyum. Bertemu dengan seseorang seperti perempuan itu membuatnya senang bukan kepalang. Beginikah rasanya jadi perempuan yang dirindukan? Decaknya dalam hati. Namun ia segera membaca raut wajah perempuan itu dan menemukan kerisauan yang dalam.
“Aku tidak ingin
membicarakan siapapun. Aku ingin bercerita tentang kita.”
“Kita? Kenapa?’
“Kau punya seseorang?
Maksudku pacar atau…” Perempuan itu menunggu jawaban Solilui. Solilui
menggeleng pelan. Dan ia cepat melanjutkan bicaranya “Mungkin terlalu cepat
untuk aku mengatakan aku menyukaimu, Solilui. Kau baik. Kau juga menarik.
Rokokmu, nyanyianmu dan tawamu. Aku…”
Solilui terdiam. Ia menahan napas dan segera tertawa. Ia membuat perempuan itu kecewa.
“Aku memang suka
padamu. Tapi sebaiknya kau turuti saja ibumu itu. Aku tidak bisa mempertahankan
seorang perempuan cantik sepertimu. Kau salah. Pergilah dan aku akan datang
saat kau tunangan. Ibuku pernah berpesan agar perempuan jangan mengharapkan
kebahagiaan dari orang yang baru dikenal.”
Perempuan itu
menganga tak percaya. Tangisnya pecah dan ia berlari meninggalkan harapan yang
terlalu membumbung tinggi. Solilui menghentikan petikan gitarnya. Minggu depan
ia berjanji akan tampil lebih cantik lagi agar perempuan itu tahu ia bukan
sekedar Solilui yang baik hati. Solilui bergegas pulang dan memikirkan baju apa
yang akan ia kenakan.
***
SOLILUI benci jadi
perempuan. Karena baginya perempuan selalu terbelakang dan disisihkan.
Perempuan akan jadi pajangan dan itulah yang ia lihat dalam kehidupan ibunya
sejak beberapa tahun silam. Masa-masa remajanya habis begitu saja dengan
tuntutan yang merepotkan. Ia juga menyelesaikan sekolahnya dengan paksaan sang
ayah dan ia juga gerah saat melihat perempuan menangis dimana-mana.
Solilui kasihan pada
ibu dan perempuan itu. Kenyataannya malam ini, Solilui menemukan pria tua itu
dalam ruangan penuh doa. Berdebar hatinya dan menyesal telah menolak
membatalkan perjodohan. Ia tidak tahan berlama-lama di sana. Ia keluar,
menyusuri jalan lengang dan duduk di bangku dengan isak tertahan.
Solilui tidak rela
melihat perempuan cantik itu menikah dengan pria tua, Solilui juga tidak rela
pria tua itu meninggalkan istrinya demi perempuan yang lebih muda. Sungguh
rumit dalam pikirannya. Ia bersin berkali-kali dan mengambil tisu untuk
menghapus riasan di wajahnya. Ia melihat toko pakaian di ujung jalan masih
buka. Solilui segera memberi pecahan seribu untuk pengamen yang sejak tadi
menunggu.
(ada
baiknya setelah akhir kalimat “...riasan di wajahnya.” dan awal kalimat ”Ia
melihat toko...” pengarang melakukan lompatan lagi.)
Ia melangkah ke arah
toko pakaian. Membeli jaket, jeans dan rokok. Ia pergi ke kamar ganti dan
menemukan Solilui sebagai laki-laki yang tampan di pantulan cermin besar. Ia
bergegas membayar dan hendak mendatangi perjodohan itu lagi. Kali ini saja ia
ingin membantah ayahnya agar menemui ibu yang sakit-sakitan di rumah dan tidak
menikahi perempuan yang akan jadi pacar barunya.***
Pekanbaru . 15
Desember 2012
Gagasan
kisah 8048 karakter ini mungkin orisinil, tapi terbaca agak rumit, karena
barangkali pengarang menggabungkan sekitar empat gagasan di dalamnya: isu
transgender, isu pelecehan seksual, isu pemaksaan pernikahan, dan isu wanita
karir. Kemudian agak dirumitkan dengan hadirnya dua bagian dalam cerita yang
seolah berhubungan: soal “si lelaki tua” yang hendak menikahi gadis yang
ditemui solilui, apakah si lelaki tua itu adalah orang yang sama dengan ayah
solilui?
Pengarang
juga sudah berusaha menyamarkan kondisi karakter utamanya, dengan merentangkan
sedemikian jauh pada paragraf pertama dan terakhir. Tapi upaya ini kurang
serius dilakukan, karena kondisi karakter ini sudah langsung terbongkar pada
paragraf ke-22. Juga terekam pada niat karakter utama ke “toko pakaian yang
hampir tutup”. Di paragraf akhir diceritakan, ternyata dia ke sana hanya untuk
membeli pakaian lelaki. Ini juga agak menyimpang dari logika cerita: untuk apa
dia menunggui sebuah toko pakaian hanya untuk membeli pakaian lelaki. Toko
pakaian di “kota” tentu tak sebuah saja, bukan? ^_^
Tapi, selebihnya, gagasan cerita ini jadi sangat menarik, karena pengarang berusaha menggabungkan beberapa gagasan yang populer dalam satu tubuh kisah. Menarik sekali.
Salam.
Tapi, selebihnya, gagasan cerita ini jadi sangat menarik, karena pengarang berusaha menggabungkan beberapa gagasan yang populer dalam satu tubuh kisah. Menarik sekali.
Salam.
Comments
Post a Comment