Kematian
Ketika lonceng berdentang
dan meninggalkan kebisingan
Kami datang membawa seikat
bunga kamboja berwarna merah
Kami lihat senja yang serupa mentega
Dijilati oleh angsa-angsa menukik
di antara kepala dan kamboja yang kami bawa
Ada cerita apa tentang matahari
yang lupa menyinari dua bola matamu?
Sedang kau tertunduk
tanpa melihat yang kami tampung
Aroma tanah basah
Pipi yang memerah
Kau pun menunggu lonceng berikutnya, barangkali
Dan malam sudah berlalu begitu kau menutup pintu
Kau hanya perlu menunggu
Cerita selanjutnya yang akan datang
setelah
lonceng berikutnya berdentang
Bagaimana Menyebutmu Sebagai Rindu
Tahun lalu, kita terbangkan pesawat kertas
yang kita lipat
dalam irama langit.
Lalu menunggu
jatuh agar kau lekas memungutnya.
Adakah yang lebih ringan dari harapan, kataku.
Kau rasakan
angin lebih kencang.
Saat malam datang dan kertas-kertas itu berserakan.
Menggulung
suaramu yang diam-diam
meresahkan esok yang tetap saja begitu.
Kau tidak perlu ragu. Karena sejak semula
kita hanya melipat
cerita. Kita hanya berkeluh kesah.
Dan rindu bukan
muasal kita bertemu.
Saat aku mencium api yang membakar pesawat kita.
Dengan tenangnya mata kita menyala.
Kini semua
seperti tiada
karena rindu
telah menua.
Pada
Jalan yang Melingkar
Masih kutemui sebuah sudut
di antara lingkar jalan yang mengelilingi kebun kita
Seperti kembang sepatu yang kelopaknya jatuh
Mereka jalin dengan rupa indah
Kala mata masih menikmati
Dan napas yang menciumi
Makin lama jarak kita makin berputar
Di antara akar dan tunas yang menghujam
Di daun yang berguguran
Masih pada jalan melingkar
kita hanya terus berputar
Kepada
Tuan Mark
Hari di mana kutulis sajak ini adalah kesalahan terbesar
yang kubanggakan sejak
kepulanganmu.
Sajak yang dihakimi ribuan kunangkunang
di malam kita bersua dalam satu waktu
Kau katakan aku sama seperti bohlam
yang sinarnya hampir padam
meski panasnya tetap membakar
kebekuanmu di kota orang.
Aku tak ingat, kau menyelam
dan menemukan karang yang tajam
Hingga aku menyebutmu pahlawan gagal berjuang
Benarlah kita dijauhkan dendam
Aku tak ingat akan ada perpisahan
Aku tak mau ingat kita dibedakan
Maka di hari yang kau janjikan,
kutulis sajak ini dengan tenang
Untuk kita kenang saat kau sudah
menemukan rumah yang jalannya
terbentang
Sehelai Kartu Pos Bergambar
Salju
Sepasang mata menangkap gelisahku
Di antara tumpukan wol dan beludru
Kita tidak tahan dingin, sayang
Pakailah sesuatu,
Aku memilih warna biru
dari doa-doaku yang didengar ibu
Akan ada souvenir bernama cerita
Sekembali kita dari sana
Adakah rindu yang bisa kita bawa, Bu
Gemuruh dadaku melihat salju
Dari lampu-lampu jalan dan kursi kayu
Di gerai-gerai yang tawarkan minuman
dengan tengkuk kemerahan
Ibu memelukku agar kami bertahan
Dari kota yang digambar angan-angan
Di
Ruang Tunggu
Seorang lelaki menatap dari balik kaca putih
Ada airmata yang menuruni celah
pipi
Milik seorang gadis
Mereka menanyakan kabar akan hujan yang kerap datang
Malu-malu untuk mengecup bibir beku sambil terus menunggu
Kapan ruang ini jadi tempat yang hangat
Sementara angin terus saja menerbangkan kabar yang silih berganti
Dan hujan yang membasahi
Mereka hanya akan melepas lelah saat bersua
Dan melanjutkan cerita bila bertatap muka di ruang tunggu selanjutnya
Kunjungan
Di jembatan, salju turun seperti gerimis
Musim dingin yang tipis
Orang-orang berjalan kaki, matanya menangis
Dan burung-burung diam dalam cermin langit
Matahari yang bersembunyi
Air yang hening, membeku dari waktu ke waktu
Di jembatan, papan nama terpasang
Kyoto, setahun silam
Cikie Wahab, penyuka sastra.
Tinggal di Pekanbaru
Puisi ini terbit di RiauPos. April 2013
Comments
Post a Comment