Aku
akan naik shinkansen pagi ini menuju bandara internasional Tokyo, menjemput
Naoto yang mendarat dari timur tengah. Ia
bekerja di salah satu perusahaan swasta disana, dan aku sebagai teman
terdekatnya , berkeinginan bertemu meski pembicaraan kami hanya melalui telepon
saja selama dua tahun ini.
Di
ruang kedatangan itu, aku melambai-lambaikan tangan pada Naoto yang memakai
syal merah muda dan sweater berwarna coklat. Ia buru-buru menarik tasnya dan
memelukku tiba-tiba.
“O genki
desuka?”
“Baik,”
aku sedikit takjub dengan kesempatan ini.
“Waseda University libur seminggu ini, jadi aku bisa menjemputmu.”
“Aku
harap gelar mastermu cepat selesai. Kau bisa mengajar di sekolah. Hmm… Dingin
sekali, sudah lama aku tidak pulang.” Setengah tertawa, Naoto menaikkan penutup
kepalanya. Ia tersenyum sumringah saat kuajak naik kereta api menuju shibuya.
Naoto merindukannya, bahkan ia sudah lupa cara menaiki kereta. Ia duduk juga di
sampingku dan menceritakan bagaimana perjuangannya untuk pulang dan menghindari
pertikaian yang terjadi disana, ia ingin bertemu Edo, anak lelaki satu-satunya.
“Aku
ingin ke Odaiba bersama Edo, sudah lama sekali aku tidak kesana.”
“Bersamaku?
Kita bisa lihat barang baru disana. Selalu saja ramai.”
Naoto
tertawa lagi dan memukul lenganku tiba-tiba, ia selalu sama saat empat tahun
lalu aku menemukan dirinya tengah tertawa melihat pertunjukan badut di daerah
shibuya. Kereta bergerak tanpa terasa, dan saat tiba di stasiun shibuya, Naoto
sempat mengabadikan foto kami berdua di depan patung Hachiko, patung perlambang
kesetiaan. Kemudian ia menarik lenganku ke gedung Tokyo Department Store,
memilih sesuatu untuk dibawakan pada anaknya.
“Disana
sedang kacau, aku tak sempat membeli apapun.”
Aku
menunggu saja dan setelah selesai, kami pulang berjalan kaki menuju rumahnya
yang berjarak lima petak dari rumah Bibi Gin yang aku tempati. Salju tampak
turun pelan-pelan dan kami akhirnya sampai di depan rumah.
“Mama!!”
Edo berteriak girang dan memeluk mamanya erat. “Aku rindu,” Edo membawa Naoto
masuk dan menemui otoosan yang bernama Tuan Nagami. Akupun menyudut ke jendela,
membiarkan Naoto melepas rindu pada anak dan ayah angkatnya. Dari jendela itu,
aku mengamati salju yang turun ke badan jalan. Musim dingin datang lebih cepat
dari perkiraan, untung saja aku bisa cuti kuliah seminggu ini dan mengurus toko
kelontong bersama bibi Gin. Dari jendela itu pula, aku menangkap ekspresi wajah
Naoto yang terpantul di kaca jendela, kulitnya kini tampak kuning kecoklatan.
Aku rasa ada yang bergetar di dadaku saat ia menangkap pandanganku terhadapnya.
“Bara,
kemarilah!” Naoto melepas penutup kepala hingga rambutnya yang halus kehitaman
itu bercahaya. Aku terkesiap dan duduk mendekat. “Aku dan Edo akan ke Jakarta
bersama.”
“Apa?!!
Be..narkah?” dengan keterkejutanku, aku tidak bisa menahan gelisah.
Edo
merangkulku dan meraih tanganku dengan manja. “Paman Bara ikut kami saja. Mama
libur panjang.” Anak berumur enam tahun itu tampak yakin dengan apa yang ia
katakan, sementara ayah angkat Naoto tak bisa ikut dan memilih tinggal bersama
saudaranya. Aku jadi bingung sendiri.
“Kupikir
kita bisa menghabiskan waktu bersama disini. Bibi Gin lebih membutuhkanku untuk
menjaga tokonya, sayang sekali.” Rasa kecewaku kupendam dalam-dalam. Seharusnya
liburan ini aku bisa bersama Naoto dan Edo, namun setidaknya Naoto tak akan
kembali ke timur tengah dalam jangka panjang. “Sebaiknya aku pulang.”
Naoto
bangkit dan mengantarku sampai ke pintu
depan.
“Dua
hari esok kau bisa mengantarku ke Odaiba? Mungkin sesudah itu aku baru akan
pergi.” Naoto mengatakannya sambil tersenyum. Aku terkejut dan mengangguk
perlahan dengan senyum yang tak kalah tenang.
***
Naoto
berseri-seri saat mukanya yang kuning kecoklatan itu melongok keluar pintu.
Salju tidak terlalu tebal dan matahari kelihatan dengan lembut. Edo menepuk
lenganku, hendak naik kepundakku seperti biasa.
“Kita
naik taksi saja ke Odaiba.” Ujarku dengan anggukan persetujuan mereka. Naoto
pun merangkul lenganku tiba-tiba. “Senangnya kalau bisa seperti ini terus. Apa
kau tak berniat mencari kekasih, Bara? Kau sudah berkorban banyak untuk Edo.”
Mendengarnya
bicara seperti itu membuatku diam saja. Rasa sayangku pada Edo tak bisa
kusandarkan dengan rasa kagumku pada Naoto. Aku tersenyum sekilas dan berhenti
di sebuah kedai dorayaki, menawarkan kue itu pada Naoto, tapi ia hanya
menggeleng saja.
“Kau
kelihatan cantik.” Entah apa yang membuatku berani mengucapkan kata itu. Naoto
tersipu malu dan balik memeluk kepala Edo. Edo merasa jemari mamanya panas
seketika.
Kemudian
kami main game sebentar lalu Edo menarikku ke toko buku dan memintaku
membelikan ia buku baru bergambar. Aku benar-benar terharu saat ia memelukku
dan mengatakan kalau aku membuatnya nyaman.
Esoknya
pun Naoto datang bersama Edo ke rumah Bibi Gin, Bibi senang hati dan membuat
mie ramen untuk mereka. Uniknya Edo ingin aku yang menyuapi ia agar hal itu
bisa ia kenang dalam hidupnya.
“Hajimemashou.
Makanlah wanita yang cantik.” Puji Bibi Gin
“Hai,
so shimashou. Ini pasti enak.”
Bibi
Gin bercerita banyak dengan Naoto, namun sayang, esok Naoto dan Edo akan pergi
jauh, kota dimana nenek Naoto berasal, juga tempat dimana ayah biologis Edo
berada. Kota yang tak pernah kujamah, Jakarta.
“Gomen
nasai, pria yang baik hati. Aku berharap bisa secepatnya kembali.”
“Ya,
paman. Besok paman mau mengantar kami?” Edo memelukku erat. Aku tak menggeleng
dan berupaya tersenyum juga. Maka, dua hari ini benar-benar membuatku seperti
terpesona dengan kebersamaan kami yang kupikir bisa kuwujudkan dalam kenyataan
sesungguhnya.
Setelah
berpikir keras malam itu, akupun tak bisa tidur tenang. Rasa kehilangan mulai
membayang dihati. Apakah Edo bakal mengingatnya lagi, apakah perlindunganku
padanya selama tiga tahun ini terkikis begitu saja? Akh… aku takut membayangkan
kenyataan yang tengah menghampiriku.
***
Tuan
Nagami memintaku mengantarkan Naoto hingga ke bandara, setelah sebelumnya ia
kuantarkan ke rumah saudaranya di bagian utara, ia yang tampak menua tak
sanggup berdiri lama dan Edo sedikit terisak-isak melihat Kakeknya dan aku. Aku
menahan gelisah saat jadwal penerbangan sebentar lagi tiba.
“Jangan
lupakan paman.” Aku kembali memeluk anak lelaki itu.
“Kami
pasti kembali, kau baik sekali pada Edo.”
“Paman…”
Perasaan
seperti inilah yang membuatku tak nyaman, aku tak akan mengantar bubur ke
hadapan Edo, atau mendengar dengkurnya yang selalu riang, bergulat hingga siang
dan mengantung boneka di sudut rumah. Tapi Naoto meyakinkanku sekiranya bisa
menggunakan telepon atau internet untuk kami memberi informasi. Tentunya hal
ini lebih menyakitkan bagiku daripada harus berhadapan dengan dosen di Waseda.
Akhirnya
dengan perasaaan sedih, aku kembali naik kereta ke Shibuya, dan mencoba menepis
pikiranku terhadap keduanya. Aku pernah dengar tentang Jakarta, juga tentang
ayah Edo yang kini menetap disana. Jangan-jangan mereka menemui orang itu, dan
membodohiku disini. Ini benar-benar menguasai hariku.
Hingga
esok pagi, aku kembali berdiri depan rumah Edo, menatap lama-lama jalan yang
menurun ke rumah Bibi Gin, menatap halaman depan yang aku dan Edo pakai untuk
berolahraga pagi, juga mengakali sesuatu agar tukang bubur mau memberikan
gratis pada kami berdua. Aku tertawa, kenangan itu begitu indah.
Keesokan
hari aku tak mendapat dering telepon.
Tiga
hari kemudian juga nihil.
Aku
rindu mie ramen, rindu memeluk wangi anak lelaki itu. Emailku sudah tak
terhitung lagi. Tak ada balasan. Hening. Dengan ragu-ragu aku berangkat ke
rumah saudara Naoto di utara, meminta nomor telepon di Jakarta. Tapi Tuan
Nagami tak memberiku nomor telepon, hanya alamat saja. Dan aku bingung bagaimana
mencari kabarnya.
Sudah
sepuluh hari, tetap sepi. Aku sudah tak tahan dengan kesepian ini. Kuliahku
sudah berjalan seperti biasa, namun aku ragu karena pikiranku ini terasa buntu.
Aku menemui Riska, kenalanku di Universitas Waseda, seorang wanita cantik yang
suka dengan fotografi dan dunia tulisan. Ia berasal dari Jakarta dan tentu tahu
bagaimana keadaan disana. Ia kaget ketika kutemui di ruangannya, sungguh tak
percaya karena dulu ia pernah menolak cintaku, dulu sekali.
Tapi
itu tak membantu, aku tetap tak bisa menghubungi Naoto dan Edo. Rumah Naoto
kini sudah disegel karena katanya akan dilelang oleh kontraktor. Banyak hal
yang mereka sembunyikan dariku, dari orang lain sepertiku. Aku lesu saat mataku
menangkap siluet rumah itu dari atas tanjakan, semuanya tampak remang.
Penantianku ini terasa sia-sia. Tiga tahun yang kulalui bersama Edo membuatku
benar-benar berada dalam pusaran perasaan iba. Kini ia dan ibunya meninggalkanku,
meninggalkan diriku yang bukan siapa-siapa.
Bulan
berikutnya, Riska datang tiba-tiba dan mengajakku pulang bersamanya ke Jakarta,
seperti mendapatkan napas yang baru, aku kembali bersemangat dan memohon cuti
dari kuliahku. Rasa penasaranku akan sirna
dan aku benar-benar mengharapkan mereka berdua kembali. Riska melarangku
memakai tabungan untuk biaya transportasi ke Jakarta, ia sendiri yang akan
membayarnya. Semua karena doa, ucapnya singkat.
“Kau
begitu mencintai mereka?” Tanya Riska
“Mungkin.”
“Jika
ia kembali pada suaminya disana bagaimana?”
“Setidaknya
aku bisa tahu keadaan yang sebenarnya.”
Riska
mengeluarkan buku catatan dari dalam tasnya dan terus saja mencatat apa yang
aku katakan, apa yang aku rasakan.
***
Aku
terus saja mencatat. Bara benar-benar ada di sampingku memintaku membawanya ke
Jakarta, dimana ada Naoto dan Edo disana. Aku kalut, tiba-tiba saja aku cemburu
padda Naoto dan Edo, pada perhatian dan ketulusan Bara yang mereka dapatkan.
Aku masih berada dalam kereta api menuju Ibukota dan sejujurnya
lembaran-lembaran kertas ini membuatku gila.
Aku
memang hendak pulang ke Jakarta dan Bara memintaku agar mempertemukan mereka.
Kertas-kertas yang ada di pangkuanku terasa menertawakan aku. Aku berusaha
merubah semuanya dan menuliskan namaku di akhir cerita. Tapi Bara hanya ingin
bertemu Naoto dan Edo, hingga buku catatan itu kubanting ke dalam tas.
Entah
mengapa aku jadi tak berdaya, sepanjang perjalanan yang rasanya bisa kuubah,
cinta Bara pada mereka tak bisa sirna. Baru kali ini aku menulis seuatu yang
bertentangan dengan nuraniku, menulis seuatu yang tak pernah jadi nyata. Bara
menguasai pikiranku pelan-pelan dan Aku
panik, membuka catatan itu kembali dan pena yang ada di tanganku kupaksa agar
ia bergerak dan menuliskan Bara tak akan pernah menemukan Naoto dan Edo. Jakarta
begitu panas baginya dan di pangkuaku ia pun menyerah.
Lamat-lamat
aku benar-benar kehilangan jati diriku, kemampuan yang diagungkan orang lain
dalam menulis sebuah kisah. Nyatanya aku mengalami hal ini juga, diriku
kehilangan alur cerita, kehilangan Bara yang hadir sejak beberapa minggu. Aku
tergugu menyaksikan kertas dalam catatan
jatuh menyudahi petualanganku, meski aku menyadari, namaku tak pernah
tertulis di cerita itu.***
By:
cikie wahab
Masih berlatar Jepang. Dan cerpen ini yang membuat saya dekat dengan seseorang :)
Comments
Post a Comment