Skip to main content

Mai...


Matahari kembali masuk melewati celah pintu dan Mai berjingkat-jingkat ke atas tempat tidurku yang tersusun dari bilah-bilah bambu. Dengan rambut kepang dua ia tarik selimut lalu memaksaku memperhatikan apa yang ia bawa
“Hari sudah siang, ayah. Apa ayah tidak bekerja?”
Aku menguap panjang, mengingat-ingat mimpi yang keburu menghilang.
“Lihatlah ini, ayah.” Mata Mai penuh harap, bibirnya bergerak pelan. Di tangannya ada secarik kertas dengan tulisan berwarna biru. “Ini tulisan pertamaku. Sesilia yang mengajari. Dan ini oleh-oleh untuk Nenek dan Kakek.”
Aku masih diam memahami tulisan yang ia buat.
“Aku akan membantumu bekerja dan kita akan pulang berdua, Ayah.”
“Pulang?” Mai membuatku terharu, tapi melihat wajahnya yang lugu akupun mengangguk setuju hingga Mai langsung memelukku. Ah, Mai… Bidadari kecilku.
“Kau tahu, Mai? Plastik dan sampah inilah yang menghidupkan kita dan kau harus tahu apa jadinya dunia ini tanpa ada sampah.” Mai tertawa dengan pipi kecoklatan, ia merasa lucu   atas ucapanku barusan dan dengan tangkai kayu itu ia mengais apa saja yang bisa kami jual.
“Ayah, Mai tidak puasa, apa Mai akan masuk surga dan bertemu ibu di sana?”
Aku tertawa sambil menyeka airmata dengan baju yang itu-itu juga. “Tentu.” Hanya itu jawabanku untuk menenangkannya
“Minggu depan kita pulang.”
“Benarkah?”
“Ayah sudah janji.” Mai memeluk dan menciumku, bau sampah kembali menggenang di pelupuk mataku.
***
“Kita harus pulang ayah. Mai kuat!” anakku meringis ketika langkahku berhenti. Aku menimbang-nimbang perkataannya barusan. Rok kembang motif kupu-kupu beterbangan di terpa angin subuh, dan aku kembali terpaku memegang karcis satu-satunya.
“Kita hanya ada uang untuk membeli satu karcis. Jika tak pulang kapanlagi, ayah? Nenek sudah menunggu di sana.” Mata Mai memerah. Demamnya naik semenjak semalam, batuknya timbul sudah sepekan, hanya obat dari puskesmas saja yang aku berikan. Aku meraba kantong celanaku dan hanya uang tiga puluh ribuan yang aku punya. Apa aku tetap membawanya pulang?
Mai mengusap wajahku dengan tangan mungilnya, akupun tersenyum.
“Mai, kita memang akan pulang.” Kugendong gadis kecil itu di dadaku. Sebuah tas ungu bersandar di pundakku. Dan Mai yang lemah bersenandung pelan di dekapanku.
Lebaran kita pulang…meski tak ada uang…
tapi hati senang. Banyak pahala datang.
Aku meneruskan langkahku menuju terminal. Hiruk pikuk supir dan penumpang seperti kunang-kunang yang beterbangan, dan suara Mai semakin sayup hingga beberapa menit kemudian aku yakin ia tertidur lelap.
“Anaknya dipangku, Pak?” seorang petugas di terminal menandai karcis yang aku berikan. Aku mengangguk sambil membetulkan dekapan Mai di dadaku.
“Bis berangkat setengah jam lagi,” suara petugas itu membayang di telingaku dan aku mencari tempat duduk untuk menunggu.
“Mai, apa kau mau sesuatu nak?” Aku mengeluarkan botol air dan penurun panas dari dalam tas. “Minumlah, Mai. Agar panasmu turun.” Kurebahkan kepalanya dari pundakku dan Mai tersenyum dengan semburat merah di pipinya.
“Mai..” Aku tak lagi memandang matanya yang terbuka dan tak kurasakan detak jantungnya. Ada yang menggigil di tubuhku dan membuat botol air jatuh. Kuguncang-guncang tubuh mungil itu tanpa reaksi. Hanya air mata yang terus mengalir dan menenggelamkan aku dalam kesedihan.
“Mai…Mai…!!” Kupeluk erat tubuh mungilnya sambil berlari meminta pertolongan dan tatapan sekitar seperti awan yang mengumpal, meluruhkan tenagaku. Aku sendiri dan selalu sendiri, pertolongan apakah yang akan kucari saat begini?
Lebaran kita pulang…hati senang. Pahala datang…
Nyanyian itu berkeliaran di benakku dan secara tiba-tiba pula supir bis menolakku dengan alasan aku membawa mayat. Aku tak akan merepotkan kalian, aku hanya ingin pulang, batinku dengan tangisan yang tak bisa kubendung.
“Sial, kami tak mau sial!  Sebaiknya kau cari tumpangan lain, atau kuburkan saja ia di kota ini,” supir dan stoker menghardikku sambil menurunkan barangku dari  bagasi bis.
“Tolonglah. Aku akan menguburnya di kampung.  Aku sudah membeli tiketnya Pak. Pemakaman di sini butuh biaya dan aku tak punya uang lagi.”
Supir itu pergi, kupikir ia melunak dengan memberikan aku tumpangan. Namun ia malah mengembalikan uang yang kupakai untuk membeli karcis.
“Ini uangmu. Pergilah, cari tumpangan lain. Kami tak mau sial karena mayat anakmu!”  Aku beringsut ke tepi dan Mai masih tersenyum dengan wajah yang beku. Tubuhnya tak lagi panas dan dingin merasukiku. Aku bangkit tetap mengendong Mai di dadaku. Dan ku langkahkan kaki menjauh dari terminal itu.
“Mai, bertahanlah… Nenek dan Kakekmu sudah menunggu di sana. Maafkan Ayah yang tak bisa menjagamu, Mai.” Tangisku pun sudah percuma, hanya ada harapan untuk lebaran. Meski Mai telah berpulang. Aku tahu ia akan senang jika Mai menjejaki tanah kelahirannya.
Sepasang merpati…turun ke bumi. Memberi mimpi yang indah di pagi ini…
Matahari pun menyinari  tubuh yang tak lagi sunyi,
jiwanya kembali ke hadirat ilahi…
Aku menangis, nyanyian dari seorang tukang becak membuatku mengusap wajah coklat yang kini memutih di pelukku. Nyanyian yang ia khususkan buat putriku, dia juga menangis dan merelakan becaknya mengangkut mayat Mai hingga persimpangan jalan. Dan aku mesti mengendong anakku menuju perkampungan melewati jalan yang terjal.
Aku tak lagi menangis, tubuhku ringan dan tenang. Dan tangan Mai menggapaiku pelan-pelan. “Kita akan selalu bersama, ayah.” Mai tersenyum dengan rambut kuncir kudanya. “Ibuku. Lebaran ini kami.pulang.”  Kertas bertuliskan tinta biru itu hinggap di tangan tukang becak yang kami tumpangi. Sebuah tabrakan telah terjadi dan Mai membawaku pergi.
Lebaran kita pulang…hati senang. Pahala datang…
Matahari pun menyinari  tubuh yang tak lagi sunyi,
jiwanya kembali ke hadirat ilahi…***



Ini sebuah cerpen yang dibuat berdasarkan tema yang diberi oleh Olyrinson. 2011

Comments

  1. Tulisan yang menurut saya centimentil, Kak Cikie. Bagus. :))

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kamisan #1 Session 3: ~Memeluk Hujan yang Buruk ~

Ketika ia melihat ke jendela, lamunannya berhenti tapi tetap saja ia tidak mendengar ketukan pintu berkali-kali karena suara hujan yang deras. Tapi saat teleponnya berdering, ia sadar dan bergegas menuju pintu. Membukanya dan menemukan Paul dengan ekspresi sedikit kesal. “Kenapa lama sekali? Aku kedinginan.” Paul masuk dan mengibas jaketnya. Ia menaruh benda itu di gantungan baju. Perempuan itu tidak menjawab dan hanya memandangi hujan yang jatuh lewat pintu. “Kau kenapa? Sakit?” Tanya laki-laki itu lagi. Perempuan itu menggeleng. Hujan selalu memberikan pengharapan padanya. Ia mencoba mengingat kembali hujan yang paling buruk yang pernah ia alami. Lelaki itu duduk setelah mengganti baju dan menaruh kopi panas ke atas meja. Perempuan itu masih melamun dan duduk melihat  jendela, tempias air hujan menimbulkan bayang-bayang di kaca. “Sudah sore begini. Kau mau makan apa?” Tanya Paul. Perempuan itu menggeleng. Lalu berkata lagi Paul, “Katakan sesuatu. Kenapa kau diam saj...

11 BARANG PROMOSI YANG TEPAT MEMBANGUN BRAND

            “Gue lagi merintis usaha makanan kering,” “Oh ya? Bagus donk.” “Tapi gue butuh bantuan lo buat promosi. Gue bingung.” “Bikin strategi dulu aja.” “Gimana caranya?” Nah gimana? Gue  langsung ingat sesuatu.  Demi seorang sahabat yang lagi memulai usaha dan membangun Brand alias Merek, yakni simbol, tanda, desain atau gabungan di antaranya yang dipakai sebagai identitas suatu perorangan, gue mikir promosi yang tepat dan efektif itu seperti apa buat sahabat gue ini. Setiap manusia yang tengah merintis usaha dan membangun brand produknya pasti akan berhadapan dengan yang namanya pasar. Pasar dalam arti konsumen ini tentunya memiliki perbedaan baik dari jenis kelamin, umur, status sosial, hingga perbedaan tingkat kebutuhan masing-masing. Buat sahabat gue atau juga kalian yang telah menciptakan suatu produk entah itu makanan atau benda lainnya dan ingin mendulan...

Kamisan #13 IKAN KOI~ Hadiah Keberuntungan

Anak itu menurunkan tangannya sehingga menyentuh dasar aquarium. Tetapi ia tidak menemukan ikan kesayangannya di sela-sela rerumputan air. Ia angkat tangannya dan dengan mata memerah ia melihat ibunya masuk meletakkan bungkusan. “Ikanmu tidak akan kembali, Yud. Dia sudah mati dan papamu yang membuangnya.” “Tapi kenapa tidak bilang padaku dulu, Bu? Aku ingin melihat ikan itu.” “Sudahlah, Yud. Kau bukan anak TK lagi. Lihat keluar sana, di kolam ada ikan baru yang dibeli papamu.” Dengan berat hati. Anak lelaki itu melangkah, menyusuri lantai menuju ruang belakang. Di sudut halaman, sebuah kolam batu bercat hitam. Kolam yang baru sebulan lalu di isi air tanpa ada ikan di dalamnya. Entah kenapa papa anak itu enggan mengisinya, barangkali sebab anak itu terlalu sibuk dengan ikan di aquarium. Anak itu duduk berjongkok di depan kolam. “Papa jahat! Padahal aku lebih suka ikan itu dari apapun.” Ucapnya setengah berbisik dan memeluk lututnya kemudian menelungkupkan kepala di anta...