“Hei kau tak perlu
berteriak seperti itu. Tenanglah.”
Malika terdiam. Dadanya
naik turun sehabis menjerit sekuat tenaga. Di hadapannya Tamim menarik satu kursi kayu dan
duduk di sana
“Kau pikir aku setan? Aku
memanggilmu sejak tadi.”
“Ka…kau…?” Malika
gugup. Sangat gugup. “Kenapa kau ada di sini?”
Lelaki
itu. Malika ingat betul bagaimana wajah Tamim yang merah padam setelah mendapat
penolakan darinya ketika berada di Batam.
“Aku
bukan anak kecil, Lika. Aku bisa kemana saja aku mau.”
“Kau
yang mengirimi aku kartu itu? Kenapa?”
“Tentu
saja untuk kejutan.”
“Kejutan?”
“Apa
kau senang?”
“Tidak.
Aku tidak suka caramu.”
“Tapi
aku bahagia. Menghubungimu membuatku menjadi tenang.”
“Dengan
cara begini? Kau harusnya belajar, Tam. Bagaimana kau bisa menarik hati seseorang.”
Malika mendengus kesal. Ia bisa menguasai degup jantungnya kembali. Lelaki itu
tersenyum. Membuka kotak rokok dan memantik api. Tak lama asap tipis melayang-layang
di hadapannya.
“Memandangmu
ribuan kali, mendengar suaramu saat ini dan melihat bagaimana kau membaca kartu
itu telah membuatku bahagia. Seperti endorfin. Ah, kata-kata itu kucari di
kamus. Dan belakangan aku berusaha menulis syair untukmu.
“Apa?
Morfin?”
“Endorfin.”
“Kau
sakit?”
“Aku
sehat. Aku hanya sakit jika kau tak ada. Terakhir berjabat tangan denganmu saat
di Batam membuat separuh rasa sakit itu muncul. Aku mencari tahu tentangmu dan
akhirnya membawaku kemari. Aku betul-betul serius.”
“Maafkan
aku,” ucap Malika setelah laki-laki itu diam.
“Untuk
apa?”
“Membuatmu
seperti ini. Kau pasti tersiksa.”
Laki-laki
itu kemudian duduk di samping Malika. Menyentuh telapak tangannya. Malika terkejut
tapi tak bereaksi apa-apa. Ia diam saja.
“Jangan
serius seperti ini Tamim. Perasaanmu terlalu cepat. Aku takut.”
“Takut?
Ini bukan seperti yang kau pikirkan. Kau takut aku bermain-main, begitu? Ayolah.
Aku tahu siapa kau. Aku tahu perasaanmu lewat syair-syair itu. Harusnya kau
mengenalku beberapa tahun sebelum aku mengatakan cinta. Begitu kan? Rasa nyaman
itu sudah ada saat kita bertemu. Kau membantuku menulis nama dalam sebuah
formulir. Kau juga yang menyentuh pundakku saat di Batam aku gugup maju ke
hadapan orang-orang. Kau adalah sumber kebahagiaanku. Kau paham?”
“Jadi
aku endorfin itu?”
“Tepat
sekali.”
“Harusnya
setelah ini kau mengajar ilmu pengetahuan alam di sekolah.”
Tamim
berkerut kening. Heran.
“Ah.
Sudahlah. Kau pikirkan saja sendiri. Terserah dirimu aku mau dianggap Endorfin
atau apalah yang mau kau sebut. Satu hal yang perlu kau lakukan pertama kali
adalah membelikan aku makanan untuk malam ini. Aku lapar. Kartumu itu membuatku
mual.”
“Serius?
Kita jadian?”
Malika
tak mendengarkan perkataan Tamim. Malika masuk ke dalam kamar dan tersenyum-senyum
mengingat perkataan Tamim. Endorfin. Jadilah endorfinku.
Sekian.
jadilah endorfinku :3
ReplyDeletejadilah endorfinku :3
jadilah endorfinku :3
#mantraJomblo -.-)9
Maafkan aku klo bacanya jadi merasa horor dan bukannya romantis .__.
ReplyDelete