Mulai
pekan ini, perempuan cantik itu pindah ke kontrakan lain di kawasan Kemuning. Ia
baru saja menaruh kardus berisi pakaian, kipas angin kecil dan buku-buku
tulisan. Perempuan itu terbatuk-batuk saat seseorang mengetuk pintu rumahnya.
“Mas
Roji. Aku pikir siapa.” Perempuan itu membuka pintu. Lelaki itu masuk dan
mengamati seisi rumah kontrakan.
“Kau
yakin mau tinggal di sini? Apa sebaiknya kau tidak cari kontrakan lain?”
“Kenapa
mas? Aku merasa tempat ini baik-baik saja.”
“Tapi
daerah ini sepi.”
“Aku
lebih suka sepi. Di kontrakan lama terlalu hiruk suasananya, Mas. Aku tidak
suka.”
“Apa
ini untuk menghindariku juga?” lelaki itu duduk di atas tikar kecil. Memandangi
wajah perempuan yang kerap hadir dalam ingatannya.
“Mas
Roji. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak mau Nadia marah. Semuanya
akan gaduh dan aku menjadi penyebab ketidaknyamanan di kantor kita.”
“Jadi
kau merasa sebagai penyebab keributan? Hentikan pikiran konyolmu. Nadia juga
sudah dewasa, bukan? Kau tidak perlu berkorban perasaan demi dirinya
terus-terusan, Malika.”
Perempuan
itu diam saja. Memandangi wajah lelaki di hadapannya. Ia berdebar tapi kemudian
di alihkannya pandangan ke halaman luar. Lelaki itu barangkali mengatakan hal
yang benar. Bukankah lelaki itu menyukai dirinya, bukan Nadia sahabatnya. Namun
ia tidak bisa mengabaikan begitu saja perasaan kecewa dari sahabatnya.
“Mungkin
kita bisa bersikap biasa saja di depan Nadia. Mas mengerti maksudku?”
“Terserah
saja. Aku tetap tidak mengerti. Sekarang ayo kita pergi.”
“Kemana,
Mas?”
“Ke
pasar.”
“Tumben
mas mau ke pasar. Mas tidak ada kencan minggu ya?” perempuan itu meledeknya. Lelaki
itu tertawa.
“Kau
tahu apa yang sudah kau lakukan padaku?”
“Apa
itu mas?”
“Setiap
hari. Saat aku bangun pagi, kau sudah muncul dalam pikiranku. Saat tiba di
kantor dan melihat kegaduhan kecil yang kau lakukan bersama Nadia dan Koli, aku
semakin tidak bisa menepisnya. Apa kau merasa kau sudah membuat hatiku hiruk
pikuk selama ini?”
“Mas…”
“Jangan
seperti itu. Wajahmu membuat aku tak pernah marah.”
“Baiklah.
Aku tidak akan membuat kegaduhan lagi.”
Lelaki
itu mendesah. Tangannya merangkul kepala perempuan itu. Setelah mengunci pintu,
keduanya pergi dan nyanyian terdengar pelan sekali.***
tiga kata ya...
ReplyDeleteMASIH SELALU KEREN
Baca tulisan-tulisannya mbak Cikie ini selalu berasa balik ke masa lalu.... X)) mungkin karena saya ngerasa (entah kenapa) bahasanya seperti novel-novel jadul.. klasik, antik, susah dicari, selalu menarik, eksklusif, mahal.... X))
tiga kata ya...
ReplyDeleteMASIH SELALU KEREN
Baca tulisan-tulisannya mbak Cikie ini selalu berasa balik ke masa lalu.... X)) mungkin karena saya ngerasa (entah kenapa) bahasanya seperti novel-novel jadul.. klasik, antik, susah dicari, selalu menarik, eksklusif, mahal.... X))
adeeeh. ompip nih. aku jadi kebelet nih. :)
ReplyDelete