Seseorang
menyetel radio dari kamar sebelah. Suara yang perlahan samar tiba-tiba membuat
bulu kudukku merinding. Ada tangisan yang kudengar selain suara radio tadi. Aku
menyibak jendela dan melihat kumpulan orang-orang di sudut gang yang
bersebelahan dengan kamar kontrakan. Aku bergegas keluar dan melihat mereka
dari tempatku berdiri.
Ketika
seseorang yang ada di sana berbalik arah, aku segera menahan lengannya dan
bertanya ada apa. Ia menunjukkan sikap yang sedih dan kulihat matanya tampak
berkaca-kaca.
“Mereka
baru saja kehilangan anggota keluarga.”
“Innalillahi.”
Aku memandang seorang ibu yang tangisnya paling kencang di antara mereka. Tapi
kenapa mereka juga belum pindah dari tepi jalan ini. Bukankah lebih baik mereka
mengurus anggota keluarganya hingga pemakaman dengan segera.
Aku
masih berdiri di sana hingga seorang lainnya menyentuh tanganku dengan dingin.
“Kakak.
Kau sedih melihat mereka?” seorang anak menarik ujung bajuku. Aku tersentak
dari lamunan dan melihat ia dengan muka yang berseri.
“Oh,
Kau siapa? Mereka kasihan sekali. Ibu itu pasti sangat sedih.”
“Ya.
mereka kasihan sekali. Ibu itu pasti sedih. Tapi kak, bisakah kau menolongku?”
Aku
menoleh dan membungkuk. Kulihat wajah anak perempuan di hadapanku. Ia putih
sekali dan tampak terus tersenyum. Aku mengangguk dan menyentuh jarinya.
“Tolonglah
mereka. Tolong ibu itu. Kematian anaknya pasti membuat mereka lupa.”
Aku
terheran-heran. Benar saja. Mereka masih di sana dan membiarkan anggota
keluarganya dalam pelukan si ibu. Aku mengangguk dan tersenyum. Kulangkahkan
kaki menuju tempat itu dan hendak membantu mereka.
Baru
saja aku menyibak kumpulan mereka, aku terkejut melihat tubuh anggota keluarga
mereka. Anak perempuan itu kulihat tersenyum dalam pelukan ibunya. Segera aku
mengejar anak tadi yang menyapaku. Tak kutemukan siapa-siapa, meski senyumnya terus kuingat. Tetapi aku
kembali mendengar suara isak tangis mereka. Tangis yang lebih kencang dari
sebelumnya. Ah, bulu kudukku semakin merinding dibuatnya.
Comments
Post a Comment