Skip to main content

Posts

Cerpen Sebuah Catatan

Aku akan naik shinkansen pagi ini menuju bandara internasional Tokyo, menjemput Naoto yang mendarat dari timur tengah. Ia  bekerja di salah satu perusahaan swasta disana, dan aku sebagai teman terdekatnya , berkeinginan bertemu meski pembicaraan kami hanya melalui telepon saja selama dua tahun ini. Di ruang kedatangan itu, aku melambai-lambaikan tangan pada Naoto yang memakai syal merah muda dan sweater berwarna coklat. Ia buru-buru menarik tasnya dan memelukku tiba-tiba. “O genki desuka?” “Baik,” aku sedikit takjub dengan kesempatan ini.  “Waseda University libur seminggu ini, jadi aku bisa menjemputmu.” “Aku harap gelar mastermu cepat selesai. Kau bisa mengajar di sekolah. Hmm… Dingin sekali, sudah lama aku tidak pulang.” Setengah tertawa, Naoto menaikkan penutup kepalanya. Ia tersenyum sumringah saat kuajak naik kereta api menuju shibuya. Naoto merindukannya, bahkan ia sudah lupa cara menaiki kereta. Ia duduk juga di sampingku dan menceritakan bagaimana perj...

Rumah, Kita

    Mungkin saja saya lupa, kapan saya menemukan rumah yang di dalamnya ada kamu. Ada sejumput rasa bahagia dan gelisah ketika harum lavender memenuhi kepala dan senyummu ada di sana. Saat itu Pagi dan matahari belum muncul. Saya pikir kamulah yang menyinari sekeliling ruangan yang hampa. Kamu malu pada saya saat kita berjabat tangan dan memeluk kenangan  dari belasan bulan.      Saya pikir, saya harus meninggalkan rumah itu. agar tidak terperangkap. Dan menemukan kebiasaan bersama kamu. Saya tidak ingin menyerahkan puzle itu begitu saja sejak matahari telah berganti rupa. Saya menginginkan sepotong tawa dan tatapan yang indah saat malam tiba.     Kamu tidak mengerti karena sebuah pintu rusak telah membuat angin kencang masuk dan membuatmu kedinginan. Saya peduli. sangat peduli. Saya hanya tidak ingin melihat kamu meleleh menjadi matahari yang menyinari dan memeluk perasaan kita.     Kedengarannya lucu, saya ingin pergi meski...

Ulasan dari Ilham Q Moehidin

Untu bisa dipelajari bersama :) SOLILUI Oleh Cikie Wahab Solilui duduk di bangku dengan wajah pucat. Riasan di wajahnya tampak pudar dan matanya mengambang ke arah lampu jalan. Ia menarik napas hingga hidungnya kembang kempis. Ia segera ambil tisu dari dalam tas kulit berwarna merah dan mulai membersihkan ujung mata, lipstick hingga melap airmatanya yang tumpah. (Saya akan mulai dari paragraf awal ini. Paragraf awal sebuah cerpen sering dikatakan sebagai “perut cerita”. Di sinilah, pengarang mesti mencurahkan sebagian energinya untuk membuat pembaca tertarik mengikuti sisa kisah berikutnya. Pengarang bisa menimbulkan kesan misterius, menyamarkan keseluruhan plot sehingga pembaca, mau tidak mau, akan tertarik mengikuti kisah sampai usai. Paragraf pertama, di atas, terdiri dari tiga kalimat, pada cerita ini terasa berat sekali. Belum menimbulkan sense yang mengajak pembaca menikmati cerita. Kalimatnya masih panjang, boros penggunaan kata sambung, dan belum bersinambu...

Sajak Kenangan

    Kematian Ketika lonceng berdentang dan meninggalkan kebisingan Kami datang membawa seikat bunga kamboja berwarna merah Kami lihat senja yang serupa mentega Dijilati oleh angsa-angsa menukik di antara kepala dan kamboja yang kami bawa Ada cerita apa tentang matahari yang lupa menyinari dua bola matamu? Sedang kau tertunduk tanpa melihat yang kami tampung Aroma tanah basah Pipi yang memerah Kau pun menunggu lonceng berikutnya, barangkali Dan malam sudah berlalu begitu kau menutup pintu Kau hanya perlu menunggu Cerita selanjutnya yang akan datang  setelah lonceng berikutnya berdentang Bagaimana Menyebutmu Sebagai Rindu Tahun lalu, kita terbangkan pesawat kertas  yang kita lipat dalam irama langit.  Lalu menunggu jatuh agar kau lekas memungutnya. Adakah yang lebih ringan dari harapan, kataku.  Kau rasakan angin lebih kencang. Saat malam datang dan kertas-kertas itu berserakan.  Menggulung suaram...

Kebodohan Kita

   Suatu hari saya menemukan diri saya sudah tidak lagi sama seperti kemarin. Saya pilek dan tidak tahu harus makan apa. Seseorang sudah membuat saya begini. Saya melihat matahari dengan silau yang membuat mata saya sakit. Saya bersin berkali-kali.    Kemudian saya  harus berjalan seorang diri. Ruangan yang luas tampak sepi dan saya tidak menemukan Dia di sana. Oh ya. Bukankah Dia sudah pergi. Saya lupa bahwa dia sudah pergi sejak dua tahun lalu. Saya menemukan kenyataan itu dengan mata yang memerah.   Saya makan sendiri di dapur dan tidak ada yang menyuapi saya seperti kemarin.  Saya menemukan keheningan dalam setiap pagi saya dan saya berusaha untuk melihat keluar dan memandangi matahari yang tetap saja bersinar.   Saya mencoba menelepon seseorang, saya mencoba untuk tetap baik-baik saja.   Teman saya itu tertawa dan mengatakan saya bodoh. Bodoh memang jika terlalu mencintai seseorang. Saya katakan kepadanya bahwa saya mencintai apa yan...

SOLILUI

Oleh Cikie Wahab Solilui duduk di bangku dengan wajah pucat. Riasan di wajahnya tampak pudar dan matanya mengambang ke arah lampu jalan. Ia menarik napas hingga hidungnya kembang kempis.  Ia segera ambil tisu dari dalam tas kulit berwarna merah dan mulai membersihkan ujung mata, lipstick hingga melap airmatanya yang tumpah. Solilui memandang ke seberang jalan. Toko pakaian di ujung jalan masih buka. Solilui enggan beranjak. Langit terang. Beberapa pasang lelaki dan perempuan tengah sibuk menikmati malam dan bercengkrama memikirkan kemana mereka setelah menghabiskan jagung bakar. Tiba-tiba Solilui merasa muak melihat semua itu. Ia memalingkan muka dan malah menemukan seorang pengamen berdiri di sampingnya. Tanpa permisi menyanyikan lagu yang terdengar sumbang di telinga.  Solilui tidak mengusirnya. Gitar kecil di pelukan pengamen itu menarik minatnya. Ia kembali mengenang pertemuan dengan perempuan yang membuat separuh hatinya berdebar seperti yang ia rasakan seka...

Hari Terakhir, Rud

    Aku melihatmu, Rud. Dengan tengadah menatap langit di luar rumah. Mata memejam sesekali dan tangan yang mengepal erat ke tanah. Angin juga yang membuat mata lentikmu berkedip-kedip menahan perih. Tak kau hiraukan pekik istrimu, Rud. Kau tidak sedang gilakah? Istrimu mencak-mencak di teras rumah, mengatakan beberapa nama di kebun binatang. Aku bergidik, rumah ini seperti gunung merapi yang tengah berapi-api, meluap dan menyerempet nama-nama yang mengalir dari kekecewaan.      Kau mendongak, lalu bangkit dan masuk ke dalam rumah. Aku mengikutimu lagi, ingin memastikan kau tidak berniat bunuh diri. Maka suaramu keluar parau dari tenggorokan yang kering. Kau bilang menyesal telah mengecewakan  istrimu, kau juga tidak bisa menepis hal yang sudah kadung terjadi. Oh Tuhan… pekik istrimu. Tapi kau meringkuk di atas kasur. Pasir menempel di celana dan debu yang melekat di muka.     Istrimu masuk, kembali dengan airmata. Tenaganya habis setelah be...