Skip to main content

Kesalahan Angin Selatan


Nalalarum  melihat matahari condong ke barat. Ia kembali merapatkan kakamban1, angin senja itu menyingkap rambut panjangnya yang bergelombang. Angin itu pula yang membisikkan kabar orang-orang. Ketika ia melihat dari kejauhan, sekawanan burung layang mengembang sayap. Lalu hilang di belakang pandangan. Nalalarum  kemudian melihat begitu ramai orang yang lalu lalang, tengah menceritakan banyak hal. Ia tak perhatikan seorang lelaki yang berdiri di belakang papan penutup jalan, melihatnya. Nalalarum bergumam, lalu berbisik pada Lokan, “Mari kita pulang!”.
“Tunggu sebentar. Lokan bayar pisang  rimpi ini dahulu.” Lokan tergopoh-gopoh masuk ke dalam kedai papan dengan tubuhnya yang sedikit kebesaran, meninggalkan Nalalarum berdiri sendiri di luar. Nalalarum baru melihat lelaki yang memandangnya  ketika ia tolehkan wajah, ia diam saja dan melangkah seiring Lokan yang menghentikan  kereta dari ujung jalan.
Nalalarum sigap mempercepat langkah masuk ke bilik kamar. Mata Mak Ram membelalak. Lokan meletakkan rimpi di atas piring. Panganan itu kesukaan ayah Nalalarum. Namun Mak Ram tak menunggu lama untuk menarik tangan Lokan, menanyakan banyak hal. Dan tentunya Nalalarum tak bisa mendengar banyak hal dari balik lawang kamar, kecuali suara gema adzan yang sayup-sayup masuk melewati lubang di jendela. Ia menantikan kabar, manakala Mak Ram menyampaikan pesan tak menyenangkan. Ia menunggu, kalau ayahnya memanggil mereka bertemu untuk memusyawarahkan sesuatu.
Naik turun dadanya mendengar ayah mengeluarkan petuah. Kali ini ia mencoba menenang pikir  dengan menghitung berapa jukung_perahu sampan_ yang tampak dari lukisan di dinding. Ia pelan-pelan menghela napas. Kalau betullah perjodohan ini membuat ia pusing, ia ingin sekali dimakan burung yang hidup di atas pohon ulin. Ya, ia ingat betul bahwasanya cerita garuda bukan hanya terkenal sebagai lambang Negara, ia di selatan juga dilegendakan sebagai pemakan bayi manusia. Nalalarum menahan giginya agar tidak tertawa, pikirannya entah kemana. Ayahnya lagi-lagi melontar tanya.
“Bagaimana, Nalalarum?”
Ah, Ayah. Perlukah ulun bilang tidak. Nalalarum hening. Ia menyesal tidak memiliki kekasih yang dicintanya, ia juga menyesal tak berkunjung ke Kuin, ke pasar terapung Barito. Kalaulah ia mendapat lelaki luar daerah yang menjamah wilayah, tentu ia bisa menolak perjodohan itu. Ini bukan Siti Nurbaya! Dan tidak mungkin ia juga membantah sang ayah.
Nalalarum kembali masuk ke bilik bersama Mak Ram yang mencoba menenangkannya.
“Mak harap kau turuti saja permintaan ayahmu. Tak mungkin dia salah pilih.”
“Tapi Mak kan tahu, Nala belum siap…”
“Jangan begitu. Besok temani Mak ke pasar, ada orang hendak berjumpa dengan kita.”
“Siapa?”
“Kawan lama. Tidurlah, Nala. Besok pagi-pagi sekali kau harus dandan yang rapi.”
Nalalarum diam melihat Mak Ram mengusap kepalanya pelan. Saudari ayahnya itu sungguh tidak bisa di tebak. Ia memiliki setiap misteri dalam tatapan dan prilakunya. Tapi Mak Ram sangat sayang padanya. Sejak ibu tiada, Mak Ram lah yang membantunya hingga tumbuh dewasa. Ia melongok ke sisi jendela, tiba-tiba ia terkenang lelaki yang menatapnya lama-lama senja tadi. Lelaki yang ia bayangkan dengan berseri. Besok, ulun akan temukan lelaki itu!
***
Nalalarum, perempuan banjar itu masih dua puluh lima umurnya. Tidak kelihatan terlalu tua untuk seorang gadis yang sangat matang. Nalalarum jelas sangat cantik, seperti manekin yang biasa di pajang dalam etalase toko. Namun siapa sangka, anak itu belum ada juga yang melamarnya. Baru ketika sang ayah mengundang beberapa rekan sekampung dan tehtua untuk menyampaikan hajatnya. Beberapa orang tua tampak berminat menjodohkan anak mereka dengan Nalalarum.
Ulun2 tak hendak memilih, Lokan. Ulun bukan anak sultan. Ulun takut, lelaki itu tak bisa jadi imam yang benar.”
Dingsanak3. Baik perkataanmu itu. Namun pikirkan lagi. Baik kau dijodohkan. Jangan sepertiku. Sudah kepala tiga belum laku juga. Urang baik tentu dapat baik pula.” Lokan, sepupunya itu mencoba menyemangati. Mereka berdua memang kerap bersama, hingga tiada waktu untuk hal-hal yang sebetulnya cukup penting bagi mereka. Mereka saban hari berkutat di balai desa hanya untuk maayam dinding palupuh, ilmu anyam yang mereka dapatkan dari tehtua di sana. Tapi kini, ia harus menuruti perintah sang ayah.
Berkali-kali ia menggambarkan wajah seseorang kemarin hari. Wajah seorang lelaki tampan yang membuatnya berseri. Ia lebih ingin dijodohkan dengan lelaki itu yang mampu membuatnya bergetar di kala pertemuan pertama  mereka. Apa lelaki itu pantas baginya? Nalalarum mulai berbangga, tapi ia pun tak berani mencoba. Ia adalah Nalalarum, putri tunggal  yang tidak banyak pinta.
Kini di tepian Barito, jukung-jukung tidak terlalu ramai seperti hari besar. Orang-orang kini lebih beralih dagang ke bilah-bilah papan yang berdiri di jalan darat.   Dua orang wisatawan hanya memotret sebentar, sebelum akhirnya mereka tertawa dan berjalan beriringan menuju kereta kuda di ujung jalan.
Mak Ram menarik tangan Nalalarum saat gadis itu takjub dengan ransel orang-orang berambut pirang, mereka tersenyum saat memandang. Kalaulah ia tak ingat Mak Ram tukang marah, Nalalarum akan meminta orang itu untuk memotret dirinya. Nalalarum mengikuti Mak Ram menuju anjungan. Ia menemukan lelaki itu! Tak percaya ia dengan apa yang dilihatnya. Nalalarum meremas tangannya. Angin berhembus kencang, membawanya dalam kebimbangan.
Ikam4?!”
Mak Ram mengambil langkah ke sebuah kedai lontong, ia sengaja tinggalkan Nalalarum bersama lelaki itu di anjungan.
Ikam!  yang mengintipku tempo hari?”
“Kau mengingatku?”
“Tentu. Aku tidak lupa. Siapa Ikam? Akan kukadukan pada Mak Ram.”
“Tidak baik menghakimi orang seperti itu. Nanti kau juga akan tahu.”
“Lalu kenapa kita bertemu?”
“Mungkin sudah waktunya begitu.”
“Ah, urang jahatkah? Ikam jangan membuatku semakin gelisah.”
“Kenapa?”
“Ayahku sudah membuatku pusing memikirkan pernikahan.”
“Perempuan memang harus menikah.”
Ikam tidak tahu rasanya dijodohkan itu seperti apa? Banyak orang yang tidak bahagia karenanya.”
“Tahu darimana?”
“Dari kabar yang kudengar,” Nalalarum yakin sekali dengan bisik-bisik angin yang berhembus dari selatan, dari laut yang bergelombang.
“Oh, begitu. Bukankah itu berarti kau perempuan baik. Orang yang datang melamarmu pasti orang baik.”
“Bagaimana kalau ia jahat? Bagaimana kalau ia orang yang tidak Ikam sukai? Ikam akan menerimanya juga?”    
“Kalau tidak dicoba, bagaimana aku bisa mengatakannya. Kau tidak seharusnya begitu, orang tuamu sudah berbuat yang terbaik. Jika kau tahu lelaki itu, mungkin kau akan menyukainya.”
“Tidak.” Nalalarum menatap lelaki itu lama. Kemudian ia tertawa mendapatkan sebuah cara. “Ikam bisa membantuku? Jadilah alasan untuk menolak lelaki itu. Aku tidak ingin batatai5 dengan lelaki itu.”
“Apa?!” merah muka lelaki itu, “Ayahmu akan kecewa.”
“Tolonglah. Apa Ikam tidak berpikir, mungkin saja lelaki itu tidak menyetujuinya, namun kedua orang tua kami memaksa. Dan sepertinya aku menyukai lelaki lain.”
Tiba-tiba redup mata lelaki itu. Ah, basusuluh6 yang salahkah? Harusnya ia dapatkan informasi yang lebih jelas.
“Esok pagi mereka datang badapatan7 ke rumah. Ikam datanglah, bantu aku untuk menolak sebelum semuanya ditetapkan ayah.”
“I..ini..tidak mudah. Indah8aku melakukannya.”
“Aku lakukan apa yang ikam pinta.  Aku masih perlu waktu untuk di pinang. Ikam harus datang.” Nalalarum memastikan lelaki itu mengikuti perkataannya. Sungguh diluar dugaan Mak Ram. Senyum Nalalarum di anjungan ia artikan sebuah pertautan.
***

Pagi hari. Rumah Nalalarum tampak sibuk. Tamu urang penting akan datang. Namun Nalalarum tak mau tenang. Lelaki yang akan meminang belum datang, pun lelaki tempo hari lalu juga belum kelihatan. Apa lelaki itu berubah pikir, batin Nalalarum. Ia sebentar melihat ke jendela, sebentar kemudian melihat ke wajahnya. Jika semua hal yang ia takutkan terjadi, ayah pasti marah besar. Di lain tempat, lelaki itu sedih tak kepalang. Mak Ram tak pernah mengatakan Nalalarum memimpikan seseorang, kebebasan, dan tentu ia memiliki lelaki idamannya. Padahal lelaki itu sudah melakukan basusuluh, demi mendapatkan informasi mengenai calon istrinya itu kelak. Harusnya pula pagi ini ia akan mengadakan batatakun untuk mencari informasi lebih jelas dari dua keluarga.
Namun ia sangsi, haruskah ia melanjutkannya. Lelaki itu diam memandang jukung yang berlobang dan bubungan tinggi dari kejauhan. Ia yakin Nalalarum tak benar-benar ingin dipinang. Ia pun urung datang untuk bertandang.
Di rumah, Ayah meradang.  Nalalarum si gadis banjar menangis di balik lawang. Inilah akibatnya membangkang.
***
Berbulan-bulan kemudian, ketika angin selatan berhembus kencang. Pasar mulai dipenuhi banyak orang. Seorang perempuan kembali memandang ke arah jukung yang di pasang. Dari balik penutup jalan yang kini telah berdiri bangunan, lelaki itu melihat perempuan berselendang dengan senang. Mereka telah melewatkan belasan purnama tanpa bersua pandang.
Dengan degup jantung yang masih sama, mereka saling memberi kabar yang menyesakkan kedua dada. Perempuan itu menyerahkan sepucuk undangan di atas tangan lelaki yang jemarinya terpasang cincin pernikahan.
Perempuan itu cepat-cepat berlalu pergi tanpa berkata lagi. Ia mungkin menyalahkan dirinya yang terlambat tahu, bahwa lelaki yang dimintai tolong itulah yang akan menjadi calon suaminya ketika itu. Namun, kesalahan tak bisa diperbaiki lagi. Sesal semua sudah tidak berguna. Mengingat ayahnya, meluruhkan airmatanya.
Ia melangkah dengan irama pasar yang gembira, ia yakin kali ini meski pilihannya salah, ia benar-benar ingin batatai. Meskipun bukan lelaki yang ia idamkan. Ah, lelaki itupun turut menyesal. Kabar yang mereka dengarkan jadi kesalahan. Mereka sama-sama mengulang kenangan. (*)
Catatan:
1)Kakamban= selendang
2)Ulun=saya(kepada lebih tua)
3)Dingsanak=saudara
4)Ikam=kamu (sebaya)
5)Batatai= bersanding                    
6)Basusuluh=mencari informasi tentang calon istri sebelum pernikahan
7)badapatan= bertemu
8)Indah= tidak ingin(penolakan)

Pekanbaru. 30 Juni 2012

 Note : Cerpen ini mendapat peringkat tujuh terbaik dalam lomba cerpen "Kalimantan Selatan dalam cerita" di adakan oleh Kawabanua. Meskipun tidak mendapat uang :-p  tapi mendapat buku Jatuh dari Cinta_Benny Arnas, Kucing Kiyoko_Rama Dira dan kaos khas Kalimantan. Alhamdulillah ya :)


Comments

Popular posts from this blog

Kamisan #12 HIRUK ~Pindah~

Mulai pekan ini, perempuan cantik itu pindah ke kontrakan lain di kawasan Kemuning. Ia baru saja menaruh kardus berisi pakaian, kipas angin kecil dan buku-buku tulisan. Perempuan itu terbatuk-batuk saat seseorang mengetuk pintu rumahnya. “Mas Roji. Aku pikir siapa.” Perempuan itu membuka pintu. Lelaki itu masuk dan mengamati seisi rumah kontrakan. “Kau yakin mau tinggal di sini? Apa sebaiknya kau tidak cari kontrakan lain?” “Kenapa mas? Aku merasa tempat ini baik-baik saja.” “Tapi daerah ini sepi.” “Aku lebih suka sepi. Di kontrakan lama terlalu hiruk suasananya, Mas. Aku tidak suka.” “Apa ini untuk menghindariku juga?” lelaki itu duduk di atas tikar kecil. Memandangi wajah perempuan yang kerap hadir dalam ingatannya. “Mas Roji. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak mau Nadia marah. Semuanya akan gaduh dan aku menjadi penyebab ketidaknyamanan di kantor kita.” “Jadi kau merasa sebagai penyebab keributan? Hentikan pikiran konyolmu. Nadia juga sudah dewasa,

KAMISAN #4 ~HALUSINASI~ "Rasa Bersalah yang Datang Setelah Ia Jatuh Cinta"

Ketika perempuan itu kebingungan dan duduk di sebuah bangku panjang, ia menjadi sebuah kesunyian dan tidak menemukan kehidupan lain di sekitarnya. Ia berusaha membunyikan napasnya kuat-kuat agar ada yang mendengar dan bertanya padanya, di mana lelaki itu? Di mana orang yang menyatakan cinta padamu? Sekali lagi, perempuan itu memandang ke jalan. Yang tampak baginya adalah orang-orang bergerak seperti angin yang lambat. Dan ia justru mengeluarkan tangisan secara perlahan. Mereka datang dan pergi, mereka utuh membawa dirinya kembali. Perempuan itu hanyut dalam perasaannya yang suci. Namun ia membuka mata dan menemukan seseorang memeluknya. Ia menoleh dan meminta persetujuan atas apa yang terjadi bukanlah hal yang ia inginkan. Bangku panjang itu jadi terasa sangat kecil dan dingin. Dan dengan caranya yang terlihat ganjil perempuan itu berusaha tersenyum. Bagaimana ia bisa mengatakan tentang kelicikan cinta yang datang dan membuat ia berpura-pura menikmatinya. “Malika. Ada a

KAMISAN #7 Game of Love ~Pelajaran Bermain~

Seorang perempuan mulai bercerita kepada saya tentang daftar orang-orang yang terjebak dalam permainan cintanya. Yang setidaknya masih melekat dalam ingatannya saat ini. 1.    Ia mengenal lelaki yang bernama Ardi lewat seorang kawan. Pada umur dua puluh tahun dan ia merasa sudah sangat dewasa ketika itu. Hubungannya kandas dalam beberapa minggu. Pekerjaan benar-benar menyita waktunya hingga lelaki itu mencari pelarian 2.    Perempuan itu patah hati lalu bertemu lelaki pemilik warnet. Mereka cukup akrab dan ia berharap pada lelaki itu. Tetapi sebab katanya lelaki itu punya reputasi sebagai keluarga berada, perempuan itu pergi dan tak pernah menginjakkan kaki di warnet lagi. 3.    Beberapa waktu kemudian perkenalan dengan Kevin, lelaki berwajah oriental dan beda keyakinan sempat membuat mereka pergi ke taman pada hari libur. Ciuman tragis dan kebencian pada sosok lelaki membuat perempuan itu akhirnya memutuskan mengganti seluruh nomor telepon. Ia bersyukur tak pernah menunj