Skip to main content

Anak Kami ~ Cerpen Padang Ekspress, 4 September 2016





Begitu perempuan itu selesai dibersihkan oleh perawat dan seorang dokter berlalu dari hadapanku. Aku diliputi perasaan sedih dan cemas. Aku tahu istriku itu pasti marah besar tapi ia tampak kelelahan dan sesekali menutup matanya seperti terkantuk. Aku mendekat dan tidak bicara sepatah katapun.

Sebelumnya aku terlambat ke rumah sakit. Keterlambatanku ini dipicu oleh rasa lelah yang luar biasa. Semalaman aku tidak tidur karena gelisah. Menjaga istriku yang masih merasa kesakitan dan demi menahan agar mataku tetap terjaga aku mendengarkan seorang lelaki yang duduk di sebelahku malam itu. Aku hampir tak berkedip dibuatnya. Ia bercerita mengenai anak yang akan kudapatkan. Entahlah, lelaki itu mengingatkan aku  akan suara-suara mesin pemotong rumput dan tanaman yang berwarna pucat.

Setelah itu aku merasa sakit kepala dan berusaha mencari cara untuk menghindari lelaki itu. Aku  tidak sadar sudah jam berapa. Kulihat istriku memicingkan mata di sela kesakitan yang ia rasakan menjelang proses melahirkan. Lalu aku pergi ke seberang jalan di luar rumah sakit dan tertidur di karpet mushola hingga keesokan paginya. 

Di hadapan istriku ini, aku memang tak bisa berkata karena merasa sangat bersalah. Gaung kesedihan seolah memenuhi ruang kepalaku. Nama yang akan kuberikan pada calon bayiku percuma saja. Buku yang kupesan untuknya belajar kelak akan berdebu di lemari. Aku telah gagal menjadi seorang ayah. Istriku masih sangat bersedih. Itu tampak dengan caranya memegang tanganku dan meremasnya.

“Dia tidak selamat.” Perkataan istriku  menyiratkan ketidakrelaan. Aku memeluknya dan berkata. “Anak kita adalah tabungan di Surga. Ia bahagia di sana, Sayang.” Dengan pura-pura tabah aku menahan rasa sedihku pula. Istriku tertidur setelah itu dan perawat menyuruhku keluar. Di luar ruangan kutumpahkan tangisku di sana.
Mengenai istriku, perempuan itu memiliki minat pada musik. Ia suka bernyanyi dan mendengarkan irama yang mendayu-dayu. Pada usia kehamilan empat minggu ia menyuruhku membeli perlengkapan musik. Aku menyanggupinya dan ia berlatih setiap hari menjelang sore hari. Lalu kemudian ia ingin buku-buku bacaan dan kubelikan ia buku karangan roman picisan bahkan kuselipkan komik humor agar membuat ia terhibur. Ia tidak pernah marah dan keesokan harinya sambil mengelus perut ia berkata.

“Bisakah anak kita menjadi pemimpin masa depan?”

Aku duduk di atas kursi kayu sementara jari-jariku bekerja memilih judul buku untuk dibaca istriku dan aku mengangguk pelan. Berharap memang akan jadi kenyataan.  Tak seorang pun dapat mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan. Begitu juga denganku, aku hanya ingin membuat istriku gembira. Itu saja. Maka kulakukan sesuai keinginannya.

Namun setelah itu aku tidak tahu persis apa penyebab gagalnya anak kami lahir. Hanya saja sehari sebelum persalinan, istriku berkata ia menginginkan anak itu menjadi penulis besar. Aku turut tersenyum dan kubayangkan ia lahir. 

Begitu masuk rumah sakit aku malah linglung. Mengabaikan ketakutanku dengan cara tidur. Lalu seakan-akan mengamini aku, setan membuatku tertidur lebih lama. Aku tidak tahu proses melahirkan itu. Saat bangun dari tidur semua sudah menyayat hatiku.

***
Sepulang dari rumah sakit. Istriku diam bagai patung. Ia tidak bicara padaku kecuali pada keluarganya yang datang untuk menjenguk. Aku jadi bingung dan pergi ke kamar lain, menonton televisi dan bersedih atas meninggalnya calon anak kami. Kamar itu adalah kamar yang disediakan untuknya. Buku-buku masih tersusun rapi di rak, mainan kecil juga masih terbungkus rapi di dalam bungkusan kado. Aku jadi menangis. Kehilangan membuat rasa sentimenku muncul.

Kemudian aku mendengar pintu dibuka. Buru-buru kuhapus airmata dan melihat istriku muncul di pintu lalu masuk ke dalam kamar. Pelan-pelan sekali ia melangkah dengan tubuhnya yang tampak lemah.

“Istirahat saja, sayang.” Aku bangkit dan mencoba membantunya duduk di sana. “Apa kau baik-baik saja?”

Ia tak menjawab pertanyaanku dan sungguh hal itu yang membuat lelaki menjadi takut berhadapan dengan perempuan. Aku mencoba meraba keningnya dan merasa tidak perlu secemas itu.

“Buku-buku ini akan kau apakan?” 

Aku menoleh. Itu kalimat pertama ia menyapaku semenjak kejadian di rumah sakit. Aku senang dan terburu-buru menjawab. “Mungkin akan kujual.”

Ia kemudian berdehem, menaruh tangannya ke atas perut yang sudah kempes. “Tidak perlu. Kau tidak usah menjualnya. Bacakan saja. Tolong kau bacakan untukku.” Ia tersenyum padaku. Luluh sudah hatiku melihat ia begitu. Aku mengangguk cepat dan memintanya menyebut buku mana yang akan kubaca.

Tepat di atas sebuah meja, buku berjudul CINTA YANG HILANG ada di sana dan istriku memintaku membacakan itu. Maka kubaca cerita pertama dari kumpulan cerpen O. Henry tersebut dengan judul yang sama dengan buku itu.

Pada suatu malam, setelah matahari terbenam, seorang lelaki muda tampak mencari sesuatu di antara rumah-rumah besar bercat merah. Dia membunyikan bel-bel rumah itu. Lelaki itu sangat mencintai perempuan yang dicarinya dan telah berusaha keras menemukannya. Dia yakin, sejak menghilangnya gadis itu, bahwa gadis luar biasa ini telah terkurung di suatu tempat. Namun, kota tempatnya tinggal itu bagaikan pasir apung mengerikan yang telah menyedotnya entah ke mana-mungkin terkubur dalam lumpur.

“Apa dia merasa sangat kehilangan?” Tanya istriku memotong bacaanku itu.
“Ng… aku belum selesai.”
“Aku tidak mau mendengarnya lagi.”
“Kenapa?”
“Karena itu akan sangat menyakitkan. Cinta yang hilang. Bukankah itu seperti anak kita yang hilang?”
“Anak kita tidak hilang. Ia dipanggil Tuhan, sayang.”
“Tapi aku tidak bisa mengingatnya.” Ia terisak-isak dan membuatku merasa bersalah.
“Kita baca cerita yang lain ya. Jangan menangis.” Kupeluk kepalanya ke dadaku.
“Bagaimana aku bisa bertahan?”
“Ada aku. Kau jangan bersedih. Kita bisa berdoa agar dititipkan kembali malaikat-malaikat kecil itu.”
Dan entah kenapa aku teringat perkataan lelaki yang duduk di sebelahku saat rumah sakit waktu itu.
“Sayang. Mari kita pergi setelah ini.” Istriku berkata setelah menyeka air matanya.
“Ke mana?” tanyaku kaget.
“Membacakan kisah ini kepada siapa saja.”
“Kenapa begitu?”
“Agar aku bisa melupakan anak kita. agar aku bisa membuat kesepakatan dengan banyak orang.”

“Aku tidak mengerti.” Istriku mulai menceracau.

“Kau yang tidak mengerti. Aku ingin membuat kisah ini menjadi bahagia. Biar mereka yang menentukan akhir cerita ini.”

Istriku uring-uringan dan aku dibuat pusing olehnya. Kutelepon  dokter dan kuminta saudaranya membawa istriku ke kamar utama. Aku tidak ingin ia berhalusinasi seperti itu. Sungguh aku terluka melihatnya. 

Malam itu, setelah merasa cukup tenang, aku melihatnya di kamar dan kuperhatikan apa yang ia kerjakan. Ia menyanyi kecil dan membuka halaman buku yang sempat kubaca  tadi pagi lalu ia bergumam padaku ketika melihatku datang. 

“Aku ingin anak kita jadi pengusaha saja.”

Kupeluk ia erat dan mencium keningnya. Aku tak menjawab hanya mengangguk-angguk dan membisikkan apa saja yang membuatnya senang. Sejak malam itu tidak ada yang berubah di antara kami. Hanya pertengkaran kecil dan kebahagiaan. Selebihnya kami saling berebutan akan jadi apa masa depan anak kami yang akan datang.***

Comments

Popular posts from this blog

Kamisan #12 HIRUK ~Pindah~

Mulai pekan ini, perempuan cantik itu pindah ke kontrakan lain di kawasan Kemuning. Ia baru saja menaruh kardus berisi pakaian, kipas angin kecil dan buku-buku tulisan. Perempuan itu terbatuk-batuk saat seseorang mengetuk pintu rumahnya. “Mas Roji. Aku pikir siapa.” Perempuan itu membuka pintu. Lelaki itu masuk dan mengamati seisi rumah kontrakan. “Kau yakin mau tinggal di sini? Apa sebaiknya kau tidak cari kontrakan lain?” “Kenapa mas? Aku merasa tempat ini baik-baik saja.” “Tapi daerah ini sepi.” “Aku lebih suka sepi. Di kontrakan lama terlalu hiruk suasananya, Mas. Aku tidak suka.” “Apa ini untuk menghindariku juga?” lelaki itu duduk di atas tikar kecil. Memandangi wajah perempuan yang kerap hadir dalam ingatannya. “Mas Roji. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak mau Nadia marah. Semuanya akan gaduh dan aku menjadi penyebab ketidaknyamanan di kantor kita.” “Jadi kau merasa sebagai penyebab keributan? Hentikan pikiran konyolmu. Nadia juga sudah dewasa,

KAMISAN #4 ~HALUSINASI~ "Rasa Bersalah yang Datang Setelah Ia Jatuh Cinta"

Ketika perempuan itu kebingungan dan duduk di sebuah bangku panjang, ia menjadi sebuah kesunyian dan tidak menemukan kehidupan lain di sekitarnya. Ia berusaha membunyikan napasnya kuat-kuat agar ada yang mendengar dan bertanya padanya, di mana lelaki itu? Di mana orang yang menyatakan cinta padamu? Sekali lagi, perempuan itu memandang ke jalan. Yang tampak baginya adalah orang-orang bergerak seperti angin yang lambat. Dan ia justru mengeluarkan tangisan secara perlahan. Mereka datang dan pergi, mereka utuh membawa dirinya kembali. Perempuan itu hanyut dalam perasaannya yang suci. Namun ia membuka mata dan menemukan seseorang memeluknya. Ia menoleh dan meminta persetujuan atas apa yang terjadi bukanlah hal yang ia inginkan. Bangku panjang itu jadi terasa sangat kecil dan dingin. Dan dengan caranya yang terlihat ganjil perempuan itu berusaha tersenyum. Bagaimana ia bisa mengatakan tentang kelicikan cinta yang datang dan membuat ia berpura-pura menikmatinya. “Malika. Ada a

Kamisan #1 Session 3: ~Memeluk Hujan yang Buruk ~

Ketika ia melihat ke jendela, lamunannya berhenti tapi tetap saja ia tidak mendengar ketukan pintu berkali-kali karena suara hujan yang deras. Tapi saat teleponnya berdering, ia sadar dan bergegas menuju pintu. Membukanya dan menemukan Paul dengan ekspresi sedikit kesal. “Kenapa lama sekali? Aku kedinginan.” Paul masuk dan mengibas jaketnya. Ia menaruh benda itu di gantungan baju. Perempuan itu tidak menjawab dan hanya memandangi hujan yang jatuh lewat pintu. “Kau kenapa? Sakit?” Tanya laki-laki itu lagi. Perempuan itu menggeleng. Hujan selalu memberikan pengharapan padanya. Ia mencoba mengingat kembali hujan yang paling buruk yang pernah ia alami. Lelaki itu duduk setelah mengganti baju dan menaruh kopi panas ke atas meja. Perempuan itu masih melamun dan duduk melihat  jendela, tempias air hujan menimbulkan bayang-bayang di kaca. “Sudah sore begini. Kau mau makan apa?” Tanya Paul. Perempuan itu menggeleng. Lalu berkata lagi Paul, “Katakan sesuatu. Kenapa kau diam saja?”