Skip to main content

Sajak




Jarak yang Dibentang Kecemasan

Tahukah kau jarak yang tak sempat kusibak di kala gemetar
Atau kata yang mengulum dalam dekap
Kita sepasang kekasih yang hilang.
Berjatuhan harap ke dasar jurang
Berebut malam juga siang
Kita kecup dengus yang telanjang
Rahasia jalan
Genangan yang dilalui air mawar
Merindukannya sebesar-besarnya ikatan
Di antara jarak yang membentang itu kutemui kecemasan.
Kulalui duri tajam. Kusingkap hingga lapang.
Kau jarak
Yang tak lengkap
Aku waktu yang  memilih jalan panjang.

Di Balik Hujan

Diam kita pada kenangan/ di balik hujan biru/ orang-orang merekam bunyi/ tapak sepatu/ tap..tap..tap../ kita lupa pada hujan yang datang tiba-tiba/ lalu buruburu mengejar gemuruh/ ku tanyakan di mana payungmu/ kau tunjuk kepalaku/ kita gemetar/ derasnya mengalir di kedua mataku//



Kekasih

Purnama jatuh di matamu
Sudah benderang
Hatiku karam
Cahayanya pecah
Menggulung cerita
Tapi bulan masih merah
Kau menjajakannya
Aku mundur selangkah
Kekasih.


Perempuan berambut gelombang
: CBH

Adalah hatimu yang berdoa bertahun silam
Menunggu orang besar mengulurkan tangan terentang
Seharusnya alasan sebagai perempuan berambut gelombang
Tak usah kau risaukan. Pun detik ini kau sampaikan tujuan
Lihat, ia datang. Duduk berjabat tangan
Airmata  kau lipat dalam sebuah kenangan
Perempuan berambut gelombang
Dadamu berdetak di raba tangan telanjang
Aih, dia nak hendak melamar.
Kau gelisah  menghitung angka yang mundur perlahan.

# terbit di RiauPos. 27 January 2013



Comments

Popular posts from this blog

Kamisan #12 HIRUK ~Pindah~

Mulai pekan ini, perempuan cantik itu pindah ke kontrakan lain di kawasan Kemuning. Ia baru saja menaruh kardus berisi pakaian, kipas angin kecil dan buku-buku tulisan. Perempuan itu terbatuk-batuk saat seseorang mengetuk pintu rumahnya. “Mas Roji. Aku pikir siapa.” Perempuan itu membuka pintu. Lelaki itu masuk dan mengamati seisi rumah kontrakan. “Kau yakin mau tinggal di sini? Apa sebaiknya kau tidak cari kontrakan lain?” “Kenapa mas? Aku merasa tempat ini baik-baik saja.” “Tapi daerah ini sepi.” “Aku lebih suka sepi. Di kontrakan lama terlalu hiruk suasananya, Mas. Aku tidak suka.” “Apa ini untuk menghindariku juga?” lelaki itu duduk di atas tikar kecil. Memandangi wajah perempuan yang kerap hadir dalam ingatannya. “Mas Roji. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak mau Nadia marah. Semuanya akan gaduh dan aku menjadi penyebab ketidaknyamanan di kantor kita.” “Jadi kau merasa sebagai penyebab keributan? Hentikan pikiran konyolmu. Nadia juga sudah dewasa,

KAMISAN #4 ~HALUSINASI~ "Rasa Bersalah yang Datang Setelah Ia Jatuh Cinta"

Ketika perempuan itu kebingungan dan duduk di sebuah bangku panjang, ia menjadi sebuah kesunyian dan tidak menemukan kehidupan lain di sekitarnya. Ia berusaha membunyikan napasnya kuat-kuat agar ada yang mendengar dan bertanya padanya, di mana lelaki itu? Di mana orang yang menyatakan cinta padamu? Sekali lagi, perempuan itu memandang ke jalan. Yang tampak baginya adalah orang-orang bergerak seperti angin yang lambat. Dan ia justru mengeluarkan tangisan secara perlahan. Mereka datang dan pergi, mereka utuh membawa dirinya kembali. Perempuan itu hanyut dalam perasaannya yang suci. Namun ia membuka mata dan menemukan seseorang memeluknya. Ia menoleh dan meminta persetujuan atas apa yang terjadi bukanlah hal yang ia inginkan. Bangku panjang itu jadi terasa sangat kecil dan dingin. Dan dengan caranya yang terlihat ganjil perempuan itu berusaha tersenyum. Bagaimana ia bisa mengatakan tentang kelicikan cinta yang datang dan membuat ia berpura-pura menikmatinya. “Malika. Ada a

Kamisan #1 Session 3: ~Memeluk Hujan yang Buruk ~

Ketika ia melihat ke jendela, lamunannya berhenti tapi tetap saja ia tidak mendengar ketukan pintu berkali-kali karena suara hujan yang deras. Tapi saat teleponnya berdering, ia sadar dan bergegas menuju pintu. Membukanya dan menemukan Paul dengan ekspresi sedikit kesal. “Kenapa lama sekali? Aku kedinginan.” Paul masuk dan mengibas jaketnya. Ia menaruh benda itu di gantungan baju. Perempuan itu tidak menjawab dan hanya memandangi hujan yang jatuh lewat pintu. “Kau kenapa? Sakit?” Tanya laki-laki itu lagi. Perempuan itu menggeleng. Hujan selalu memberikan pengharapan padanya. Ia mencoba mengingat kembali hujan yang paling buruk yang pernah ia alami. Lelaki itu duduk setelah mengganti baju dan menaruh kopi panas ke atas meja. Perempuan itu masih melamun dan duduk melihat  jendela, tempias air hujan menimbulkan bayang-bayang di kaca. “Sudah sore begini. Kau mau makan apa?” Tanya Paul. Perempuan itu menggeleng. Lalu berkata lagi Paul, “Katakan sesuatu. Kenapa kau diam saja?”