Skip to main content

Bipolar



Suatu hari, aku merasa seperti ini;
 “Aku tidak tahu harus menulis apa.” Ucapku pada istri yang mondar mandir melihatku berdiam dalam kamar. Istriku geleng-geleng kepala, menaruh kopi hitam ke atas meja. Ia lalu keluar, menutup pintu tanpa mengomentari ucapanku.
Lalu benarkah aku tidak akan menulis lagi. Ah, aku jadi berpikir ulang. Bukankah aku harus bertahan sebagai pengarang yang kaya wawasan. Tiba-tiba istriku masuk, menatap dengan curiga dan ia pun menyodorkan selembar kartu pos berwarna coklat tua.
“Jangan aneh! Aku sudah masak enak hari ini. Ayo makan.”
Aku mengangguk dengan berat hati. Sebentar aku melirik arloji pukul sembilan pagi, sebentar aku mengamati kartu pos tadi.
“Ini honor cerpenmu?” Tanya istriku.
“Bukan,” Aku pastikan ini adalah artikel pengembalian naskah lagi.
“Tidak apa-apa. Mereka memberi kesempatan pada penulis baru, sekarang giliranmu untuk menunggu.”
Aku menahan tangan istriku, memberikan lembaran naskah yang kubuat sejak beberapa bulan lalu. Ia bergantian memandangku dengan tumpukan kertas itu.
“Kumohon bacalah dan jelaskan padaku. Kenapa ceritaku belakangan ini begitu membosankan, memalukan. Kau harus membantuku dan aku akan makan masakanmu,” Dengan lemas aku memandang jam yang masih berkutat di angka sembilang. Akupun meninggalkan ia yang melongo di dalam kamar dan beregas melihat apa yang ia hidangkan di atas meja.
***
Pada tengah hari, menunggu istri di beranda adalah cara paling indah untuk bertanya bagaimana dan kenapa dengan kerisauan yang kualami. Istriku senyum-senyum saja dan ia memulai percakapan itu.
“Ceritamu bagus. Kau hanya perlu belajar. Aku tidak ingin kau gila memikirkannya."
“Itu buktinya ceritaku memang memalukan, kan?”
“Kau tidak puas atas penghargaan, kau ketakutan akan  ketidakmampuanmu terus bertahan.”
“Oh, ya."
“Hm, kau harus berjalan-jalan. Mencari ruang lapang agar pikiranmu lancar.”
“Kemana?”
“Mendalami hatimu. Kau tidak kehilangan tema, kau hanya kehilangan rasa.”
“Sebegitu parahkah? Aku harus berpuasa.”
“Untuk apa? Demi harga diri dan ambisi? Seharusnya kau berpuasa dari pikiran depresimu itu.”
Aku garuk-garuk kepala. Tumpukan naskah di pangkuannya kuambil lagi. Mencoba menepis bayang-bayang tulisan yang mengkritik karyaku beberapa hari lalu. Membosankan. Tidak bermutu! Hmm, ini benar-benar menguasai pemikiranku belakangan ini. Aku tidak beruntung sekali.
“Namamu sudah besar. Kau terbebani itu?” istriku meremas pundakku. Aku diam, menekuri paragraph demi paragraph di lembaran kertas. Tulisan ini seperti mengejekku. Aku melihatnya lalu berkata bahwa aku muak.
“Biarkan saja. Depresimu akan segera berakhir jika ia kau keluakan dari hatimu. Bagaimana kalau sekarang kita bermain kartu.” Istriku begitu pandai menenangkan aku. Ia masuk ke dalam kamar dan membuatku menunggu dengan sepotong pertanyaan; “Lalu ceritaku harus bagaimana?”
***

Bangun dari tidur pun selalu membuatku mengoreksi apa yang kutulis malam sebelumnya. Pagi ini seperti biasa, tenang tanpa teriakan anak-anak. Ah, rupanya mereka menulis catatan di depan kamarku. Aku terkesiap saat membaca tulisan mereka berupa penyesalan karena punya ayah yang menyebalkan dan suka bangun terlambat. Padahal ketika aku bangun subuh tadi mereka berdua masih lelap di ranjang dan akupun karena kelelahan kembali terlelap.
Apa benar aku ayah yang membosankan? Apa itu penyebab ceritaku jadi tidak berkesan. Aku melamun sebentar lalu membuka netbook ku di atas meja. Dan ajaib aku menemukan banyak kata di dalamnya, kata-kata ampuh yang membunuh kreatifitasku. Angkuh!
Aku terenyuh, mengingat beberapa tahun lalu…
Setiap hari, aku membaca segala jenis buku, segala judul dengan rasa yang begitu tulus. Buku yang kudapat biasanya kupinjam di perpustakaan. Segelas kopi menemaniku menulis buku catatan  dan duduk di tepi jendela dengan perasaan lapang. Aku pelajari semua karya orang-orang, aku resapi setiap peristiwa yang lalu lalang. Maka aku belajar jadi pengarang yang menulis untuk kearifan. Karena aku tidak ingin bernasib lebih buruk, aku menempuh segalanya dengan berat.
Tentu ingatanku juga kembali ke masa kanak-kanak. Aku hampir mendorong ayahku jatuh ke dalam sumur karena menertawakan karya tulisku pertama kalinya. Itu memang tidak baik, aku menghabiskan seminggu di dalam gudang untuk menyesal.
Dan sejak beberapa tahun belakangan ini, aku begitu menyukai pujian, nama yang terpampang di majalah dan Koran dan panggilan seniman. Tapi mungkin aku juga membenci keadaan itu. Akupun sepertinya mendapat ilham, meskipun puasaku baru separuhnya berjalan.
Biasanya, pagi begini, istriku menyiapkan sarapan dengan dua buah telur dan segelas kopi. Ia juga menaruh Koran di meja makan. Aku menghampirinya dan berkata, “Aku rasa aku tahu solusinya.”
Istriku melihat dengan senyuman, seperti berkata, Oh ya? Apa itu? Tapi rupanya gorengan itu hampir hangus. Ia buru-buru meletakkan telur goreng ke atas piring dan kemudian menangkap pipiku di kedua telapak tangannya.
“Kau sudah sembuh? Syukurlah. Mari ceritakan padaku.”
“Kuputuskan tidak ingin seperti seniman yang menderita depresi. Tidak akan minum obat penghilang rasa sakit lagi. Dan keputusan kali ini pasti akan membuatku bersedih, aku… tidak akan menulis lagi!”
Istriku diam, meremas tanganku.
“Baiklah, aku dukung apa yang kau lakukan. Telur goreng ini menanti kita. Ayo sarapan.”
“Kau tidak apa-apa?”
“Suamiku, seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Apa keputusan ini membuatmu lega. Apa kau bisa mengatasinya?”
“Sedikit. Aku akan berhenti jika aku tak lagi mampu. Berhenti menjadi penulis seperti separuh hariku tersengal-sengal karenanya.”
“Hei..! bagaimana kalau kau menuliskan kegelisahanmu ini sebagai ide cerita baru. Aku rasa, kau hanya butuh istirahat seminggu.”
Lihatlah perempuan ini. Baru saja aku memutuskan berhenti, ia malah menawarkan cerita baru. Katanya pula, dengan berapi-api mengatakan aku penulis yang akan tetap bersinar, meskipun ceritaku kadang menyebalkan. Untuk itu, aku harus tetap menulis demi penghargaan tahunan. Anugrah kepenulisan yang paling menentukan siapa yang pantas dan siapa terbuang.
“Aku pikir tidak begitu, anugrah hanyalah sebuah estafet. Ia bukan hakim, suamiku. Kau punya ciri khas. Kau harus melenyapkan sindrom bipolar ini. Aku bersedia menjadi tukang tulismu yang setia. Kita punya satu babak untuk menunjukkan kau tidak membosankan.”
Aku mencerna ucapannya. Lalu seperti kejaran dengan seekor binatang, aku menjalani rutinitas hari mengejar deadline. Larut dalam kertas tulisan, gelas kopi, roti, gorengan dan juga musikalilasi dari radio milik istri. Aku menyeringai dan hampir stress. Aku ingin pergi, aku ingin bunuh diri. Istriku berada paling dekat denganku tapi aku rasa ia orang paling ingin kujauhi karena malu. Aku menyiapkan sebuah karya dalam keputus-asaan, aku menuruti ucapan istriku yang bersemangat dan ketika karya itu selesai tepat waktu, aku menyembunyikannya di dalam kamar.
Berhari-hari aku mengurung diri, hingga anak-anak kecilku marah besar, mengatakan aku ayah yang menyebalkan. Akupun mencoba melupakan penghargaan itu, mungkin jika ada yang bertanya, aku akan  jawab bahwa aku sengaja tidak ikut untuk memberikan kesempatan pada penulis muda. Aku hanya perlu bersikap biasa saja.
Tapi sebulan kemudian, istriku duduk di depan televisi dengan volume besar. Aku menutup telinga dan marah. Ia malah memperbesar suara saat televisi mengumumkan sebuah berita yang menghantam dadaku. Novelku masuk nominasi, sayangnya tidak masuk sebagai yang terbaik, bahkan jauh dari novel berkualitas. Aku geram, gelagapan. Marah pada istriku yang sewenang-wenangnya mengirimkan karyaku tanpa pamitan. Aku benar-benar kesal dan keluar dari rumah tanpa memandangnya yang meminta maaf.
***
Akhirnya kuputuskan pulang ke rumah, aku rindu istriku setelah dua hari tidak bertemu. Dan jelas saja tinggal di rumah seorang kawan, malah membuat frustasiku datang. Aku rindu masakannya, rindu pada kedua anakku yang lucu. Persetan dengan naskah yang tidak laku itu, aku sungguh tidak peduli. Aku akan baik-baik saja selanjutnya.
Istriku menyambutku hangat dan ia membawaku ke ruang tamu, ada seorang duduk di sana, memperkenalkan dirinya sebagai agen dari sebuah rumah produksi. Hatiku langsung ciut. Seperti disiram oleh air es yang sangat beku. Novelku yang kalah di ajang tahunan, menarik minat mereka untuk dibuat sebuah film layar lebar.
Istriku tertawa besar, aku merasa sangat ketakutan.

Ah, ternyata sindrom bipolar ini masih bersemayam entah sampai kapan. (*)


               Bipolar disorder adalah jenis penyakit psikologi, ditandai dengan perubahan mood (alam perasaan) yang sangat ekstrim, yaitu berupa depresi dan mania. Pengambilan istilah bipolar disorder mengacu pada suasana hati penderitanya yang dapat berganti secara tiba-tiba antara dua kutub (bipolar) yang berlawanan yaitu kebahagiaan (mania) dan kesedihan (depresi) yang ekstrim

Cikie Wahab, cerpenis. 

Comments

Popular posts from this blog

Kamisan #12 HIRUK ~Pindah~

Mulai pekan ini, perempuan cantik itu pindah ke kontrakan lain di kawasan Kemuning. Ia baru saja menaruh kardus berisi pakaian, kipas angin kecil dan buku-buku tulisan. Perempuan itu terbatuk-batuk saat seseorang mengetuk pintu rumahnya. “Mas Roji. Aku pikir siapa.” Perempuan itu membuka pintu. Lelaki itu masuk dan mengamati seisi rumah kontrakan. “Kau yakin mau tinggal di sini? Apa sebaiknya kau tidak cari kontrakan lain?” “Kenapa mas? Aku merasa tempat ini baik-baik saja.” “Tapi daerah ini sepi.” “Aku lebih suka sepi. Di kontrakan lama terlalu hiruk suasananya, Mas. Aku tidak suka.” “Apa ini untuk menghindariku juga?” lelaki itu duduk di atas tikar kecil. Memandangi wajah perempuan yang kerap hadir dalam ingatannya. “Mas Roji. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak mau Nadia marah. Semuanya akan gaduh dan aku menjadi penyebab ketidaknyamanan di kantor kita.” “Jadi kau merasa sebagai penyebab keributan? Hentikan pikiran konyolmu. Nadia juga sudah dewasa,

KAMISAN #7 Game of Love ~Pelajaran Bermain~

Seorang perempuan mulai bercerita kepada saya tentang daftar orang-orang yang terjebak dalam permainan cintanya. Yang setidaknya masih melekat dalam ingatannya saat ini. 1.    Ia mengenal lelaki yang bernama Ardi lewat seorang kawan. Pada umur dua puluh tahun dan ia merasa sudah sangat dewasa ketika itu. Hubungannya kandas dalam beberapa minggu. Pekerjaan benar-benar menyita waktunya hingga lelaki itu mencari pelarian 2.    Perempuan itu patah hati lalu bertemu lelaki pemilik warnet. Mereka cukup akrab dan ia berharap pada lelaki itu. Tetapi sebab katanya lelaki itu punya reputasi sebagai keluarga berada, perempuan itu pergi dan tak pernah menginjakkan kaki di warnet lagi. 3.    Beberapa waktu kemudian perkenalan dengan Kevin, lelaki berwajah oriental dan beda keyakinan sempat membuat mereka pergi ke taman pada hari libur. Ciuman tragis dan kebencian pada sosok lelaki membuat perempuan itu akhirnya memutuskan mengganti seluruh nomor telepon. Ia bersyukur tak pernah menunj

KAMISAN #4 ~HALUSINASI~ "Rasa Bersalah yang Datang Setelah Ia Jatuh Cinta"

Ketika perempuan itu kebingungan dan duduk di sebuah bangku panjang, ia menjadi sebuah kesunyian dan tidak menemukan kehidupan lain di sekitarnya. Ia berusaha membunyikan napasnya kuat-kuat agar ada yang mendengar dan bertanya padanya, di mana lelaki itu? Di mana orang yang menyatakan cinta padamu? Sekali lagi, perempuan itu memandang ke jalan. Yang tampak baginya adalah orang-orang bergerak seperti angin yang lambat. Dan ia justru mengeluarkan tangisan secara perlahan. Mereka datang dan pergi, mereka utuh membawa dirinya kembali. Perempuan itu hanyut dalam perasaannya yang suci. Namun ia membuka mata dan menemukan seseorang memeluknya. Ia menoleh dan meminta persetujuan atas apa yang terjadi bukanlah hal yang ia inginkan. Bangku panjang itu jadi terasa sangat kecil dan dingin. Dan dengan caranya yang terlihat ganjil perempuan itu berusaha tersenyum. Bagaimana ia bisa mengatakan tentang kelicikan cinta yang datang dan membuat ia berpura-pura menikmatinya. “Malika. Ada a