Skip to main content

KEAJAIBAN -Padang Ekspres, 8 Okt 2017






Suatu hari, kami berjalan dari barat ke timur dengan langkah tergesa jika merasa terancam dan dalam keadaan setengah lapar, mengingat betapa kami harus menghemat perbekalan di perjalanan.
 Di lain hari pula, kami berjalan sangat pelan, seakan-akan kami membawa beban di kaki kami yang mungil sehingga kami kehilangan tenaga walaupun kami terus saja melangkah.
Di antara kami berempat, aku orang terakhir yang berjalan di belakang karena keberatan membawa buntalan besar berupa selimut dan alas tidur. Sebuah kayu yang bergantungan perkakas lainnya kuseret serta di tanah. Membentuk jejak garis yang begitu panjang. Kadang aku sengaja mengaburkan jejak kayu itu agar tidak ada yang mengikuti langkah kami.
Di tangan mereka ada peta arah yang tidak jelas darimana mereka dapatkan, mereka membawa makanan kering di kantong masing-masing. Kami bersepakat dengan peraturan yang kami buat berempat.
Apa yang kami cari ke timur sebenarnya masih kusangsikan. Menurut cerita orang-orang sebelumnya yang pernah ke sana, ada keajaiban di tempat itu, kebahagiaan sejati  dan keberanian hidup, sehingga apa yang orang inginkan akan tercapai terutama bagi orang-orang pengecut seperti kami.
“Apakah kita tidak bisa memakai gerobak?” tanyaku pada mereka bertiga mencoba bersikap lebih santai. Salah satu di antaranya menggeleng lalu menawarkan pergantian untuk membawa buntalan. Entah kenapa dalam keadaan letih seperti itu, aku malah enggan membagi beban yang kubawa. Bukankah jika aku bersusah payah nanti akan ada gantinya. Begitu pikirku penuh perhitungan.
Kemudian mereka bertiga bicara seperti berbisik-bisik lalu melotot ke arahku, menurut mereka bahkan suara saja dapat mengancam jiwa. Sebuah ketakutan yang sangat lucu sekali. Lalu apa bedanya mereka dengan aku. Bukankah aku juga penakut. Aku lari dari sebuah rumah yang mempekerjakan aku sebagai hamba mereka. Ketakutan dan kegelapan adalah sahabatku. Aku harus berupaya mengubahnya dengan mencari keajaiban. Maka aku mengikuti mereka bertiga yang telah lebih dulu berkumpul di pintu masuk pasar.
Tentu tidak ada salahnya mencoba, mengingat betapa lugunya aku di usia hampir seperempat abad. Aku mempercayai kelompok ini seperti aku mempercayai hidupku yang sudah lepas dari jeratan budak. (Kadang dengan kepercayaan singkat seperti itu, aku menemukan secuil keberanian sehingga aku tahu apa aku ini penakut atau tidak)
Saat aku melihat mereka kelelahan, saatnya aku menggelas alas dan selimut, juga menyodorkan botol minuman. Kebiasaanku sebagai seorang pesuruh terbawa hingga ke dunia luar. Mereka menggeleng, bisa melakukan pekerjaan itu sendiri. Sekarang aku sudah mengenal mereka secara dekat. Di antaranya bisa kuceritakan pada kalian.
Orang pertama yang bisa dikatakan sebagai pemimpin kami adalah Rohi. Ia botak dan hanya ada janggut tebal menghiasi wajahnya yang sangar. Sebelum ini aku juga sempat bertemu dengannya di suatu kesempatan yang lain. Dia menjadi penjual minuman dan tuanku membeli minuman itu darinya. Umur lelaki itu aku kurang tahu, barangkali hampir empat  puluh  tahun. Ia hanya suka bicara dengan Metan. Laki-laki yang ramah pada siapa saja.
Bisa dibilang hanya Metan yang bicara padaku dan menyampaikan perkataan antara satu dengan yang lainnya. Metan berbadan sedang, mukanya cukup tampan dan ia paling bersih di antara kami, aku mengatakan ini karena kulihat dua orang lainnya jarang sekali mandi jika kami menemukan air atau semacam sumur.
Mata Metan kabur sebelah setelah dikeroyok orang-orang di malam hari. Setelah itu ia menjadi penakut menghadapi orang banyak. Padahal ia cukup digemari para wanita yang melihatnya.
“Kenapa mereka menindas orang lemah?” tanyaku.
“Itu sudah hukum alam.”
“Tapi. Aku mendengar hak manusia, aku kira….”
“Lalu kenapa kau pernah jadi hamba?” Metan membalikkan pertanyaan itu.
“Aku…”
“Tidak usah pusing. Sebagian orang berpikir dengan lebih baik tetapi sebagian yang berpikir sangat buruk itu juga banyak. Kau tidak bisa mengubah pemikiran mereka selain ketika mereka masih bayi.  Apa aku bisa mempercayaimu?” tanya Metan.
Aku mengangguk cepat, kemudian ia bercerita sesuatu.
“Pada mulanya aku adalah seorang pemberani, dalam arti aku bisa melenyapkan seseorang. Pada usia lima belas tahun itulah aku melakukannya. Aku tidak merasa bersalah dan bangga sendiri atas apa yang kulakukan. Aku ingin menguasai banyak hal. Tapi setelah itu, ibu,  yang kusayangi meninggal. Aku kabur dari rumah  dan mendapati segalanya berubah. Aku lalu dikeroyok orang suruhan ayahku sendiri. Aku trauma dan ketakutan. Aku lari sejauh-jauhnya dan berkelana sehingga bertemu dengan seorang pak tua. Dari dialah aku belajar banyak hal termasuk ilmu ketuhanan.”
“Tuhan? Kalau kau ada tuhan, kenapa kau masih penakut?”
“Aku tidak tahu. Aku lebih suka belajar cara meringankan tubuh dari pak tua itu.”
“Kau kan tidak gemuk, kau pasti bisa meringankan tubuh.”
Metan memukul kepalaku dengan kayu. “Menurutku bukan ringan seperti itu, tapi melayang, terbang.”
“Oh hebat. Lalu apa kau bisa melakukannya? Ayo tunjukkan!”
“Orang tua itu mati keesokan harinya sebelum aku berhasil.”
“Apa kau membunuhnya?”
Pletak! Kepalaku lagi-lagi terkena bilah kayu yang lebih kecil.
“Apa kau pikir membunuh guru itu adalah hal yang menyenangkan? Cobalah berpikir lebih luas. Ah.”
Aku menggaruk kepalaku seperti yang Metan lakukan. Aku suka menirunya, karena ia orang baik menurutku. Setelah itu aku melihat ke arah lain, satu anggota lagi bernama Dimin, tengah menonton percakapan kami. Saat aku melihatnya ia pura-pura menguap lalu membalikkan badan. Dimin lebih pendek dariku tapi dia punya hidung yang lebih mancung dan jika wajahnya sedikit gemuk tentu saja dia tidak akan terlihat seperti drakula.
Aku pun masih melihat hari-hari itu seperti mimpi, seperti keajaiban tersendiri bertemu orang-orang seperti mereka bertiga.
“Kau masih mendengarkanku?” tanya Metan. Aku menoleh dan mengangguk. Dua orang lain itu seolah-olah tak mendengar percakapan kami, mereka sibuk dengan diri masing-masing.
“Begini. Beberapa tahun belakangan ini aku menderita semacam ketakutan yang membuat jantungku seakan berhenti berdetak. Awalnya aku mengira itu semacam mimpi buruk yang tiap malam datang, tapi aku merasakannya di dunia nyata. Aku tidak tahu cara mengatasinya. Aku mencari berita ke mana aku harus berobat dan akhirnya seseorang mengatakan padaku bahwa timur adalah tempatnya.”
Metan tidak tersenyum, tidak juga berekspresi apa-apa, ia duduk mengamati diriku yang melihat ke arahnya.
“Alasan ketakutanmu itu apa?” tanyaku.
Ia menarik selimut dan menutupi kakinya, udara mulai terasa mencekam. Bunyi khas dalam kegelapan  muncul, aku terperanjat saat seekor kelabang merayap di antara kayu tua yang basah.
“Aku takut dengan diriku sendiri.” Ia berkata dengan mimik wajah sedih pula. Aku tidak lagi bertanya sebab dia sudah menutup matanya untuk terlelap satu atau dua jam saja. Rohi melihatku dan batuk. Aku hanya menyunggingkan senyum dan melihat ke langit.
Tidak ada bintang malam itu, aku hanya melihat sekelebat cahaya dan ingatanku tentang lampu kristal di rumah majikanku. Hampir saja aku menjatuhkan benda kesayangan tuan dan membuatnya marah. Bahkan ketika aku tidak melakukan kesalahanpun aku ketakutan luar biasa, tubuhku habis dengan luka dan airmataku sudah kering.
“Bukankah jika ditempa sedemikian rupa, kau akan tahan banting dan menjadi kuat?” tanya Metan di lain waktu.
Aku menggeleng cepat. Ketakutan itu menyelimuti jiwaku, ada yang mati dalam diriku yaitu keberanian. Bahkan untuk menunjukkan mukaku sendiri aku tidak mampu, aku harus pergi sejauh-jauhnya, seperti perkataan Metan. Aku harus menemukan keberanian.
***

Setelah melakukan perjalanan berminggu-minggu dan melihat bagaimana situasi selama di perjalanan. Aku melihat keputus-asaan di wajah ketiganya. Timur yang bagaimanakah? Apakah itu hanya sekedar arah, tempat atau nama? Aku muncul ke hadapan Metan, setelah kami tidak punya apa-apa lagi untuk di makan.
“Kau masih kuat?” tanya Metan.
Aku mengangguk. Metan ingin singgah di pemukiman dan beristirahat dalam ruang berkelambu, atau di atas dipan yang empuk. Ia ingin minum arak dan dilayani layaknya seorang tuan. Aku heran dan bertanya, di mana perkampungan yang ia maksud itu.
“Kau pergilah. Lanjutkan perjalanan ini. Aku lelah. Jika Rohi sudah tidak memiliki hasrat ke sana, bagaimana aku juga ingin ke sana.”
Aku melihat Dimin yang tertunduk. Di antara mereka hanya Dimin yang masih tampak bugar. Tapi membayangkan pergi berdua saja dengan orang seperti itu membuatku mual. Seperti aku akan dilahap oleh pandangannya yang kaku. Aku terduduk saja melepaskan buntalan besar dan menunggu perintah.
“Kalau aku pulang, apakah aku jadi pengecut?” tanyaku pada Metan, Rohi mendengarnya dan ia baru saja menyeka matanya yang sembab.
“Apa kau bisa pulang dalam keadaan tak bertenaga dan tidak punya bekal apapun. Apa kau punya sesuatu atau seseorang yang menunggumu pulang?” tanya Metan.
Aku terdiam. Aku ingin merentangkan tanganku dan memeluk mereka satu persatu. Tapi tak jadi kulakukan karena aku tahu mereka tidak akan suka. Lambat laun aku juga tidak menemukan harapan apa-apa jika aku menemukan keajaiban di timur. Aku berdiri dan menatap ke langit. Matahari baru saja terbit dari timur, aku menemukan cahayanya berkilauan. Di antara mereka bertiga yang terjerembab dalam keputusasaan, aku melihat diriku yang berdiri sepenuhnya atas kemauanku.
“Aku akan pergi ke timur, bukan karena keajaiban semata tapi karena tidak ada yang membuatku harus kembali pulang.” Aku menunduk dan menahan degup dadaku agar tidak menyisakan tangisan di mata.
Ketiga orang itu melihatku dengan ekspresi datar. Aku melambaikan tangan dan mengambil beberapa alat yang bisa kupakai seorang diri.
“Di luar sana, kau adalah petarung terbaik, di dalam hati kau adalah keajaiban!!” Metan meneriakkan kata-kata itu hingga aku tidak lagi bisa melihat mereka di belakang. Aku terus berjalan dan menangis. Rasa-rasanya aku tidak akan pernah sampai ke mana-mana, selain kepada pikiranku yang selalu menyala.***


Cikie Wahab, bergiat di komunitas paragraf
















Comments

Popular posts from this blog

Kamisan #12 HIRUK ~Pindah~

Mulai pekan ini, perempuan cantik itu pindah ke kontrakan lain di kawasan Kemuning. Ia baru saja menaruh kardus berisi pakaian, kipas angin kecil dan buku-buku tulisan. Perempuan itu terbatuk-batuk saat seseorang mengetuk pintu rumahnya. “Mas Roji. Aku pikir siapa.” Perempuan itu membuka pintu. Lelaki itu masuk dan mengamati seisi rumah kontrakan. “Kau yakin mau tinggal di sini? Apa sebaiknya kau tidak cari kontrakan lain?” “Kenapa mas? Aku merasa tempat ini baik-baik saja.” “Tapi daerah ini sepi.” “Aku lebih suka sepi. Di kontrakan lama terlalu hiruk suasananya, Mas. Aku tidak suka.” “Apa ini untuk menghindariku juga?” lelaki itu duduk di atas tikar kecil. Memandangi wajah perempuan yang kerap hadir dalam ingatannya. “Mas Roji. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak mau Nadia marah. Semuanya akan gaduh dan aku menjadi penyebab ketidaknyamanan di kantor kita.” “Jadi kau merasa sebagai penyebab keributan? Hentikan pikiran konyolmu. Nadia juga sudah dewasa,

KAMISAN #4 ~HALUSINASI~ "Rasa Bersalah yang Datang Setelah Ia Jatuh Cinta"

Ketika perempuan itu kebingungan dan duduk di sebuah bangku panjang, ia menjadi sebuah kesunyian dan tidak menemukan kehidupan lain di sekitarnya. Ia berusaha membunyikan napasnya kuat-kuat agar ada yang mendengar dan bertanya padanya, di mana lelaki itu? Di mana orang yang menyatakan cinta padamu? Sekali lagi, perempuan itu memandang ke jalan. Yang tampak baginya adalah orang-orang bergerak seperti angin yang lambat. Dan ia justru mengeluarkan tangisan secara perlahan. Mereka datang dan pergi, mereka utuh membawa dirinya kembali. Perempuan itu hanyut dalam perasaannya yang suci. Namun ia membuka mata dan menemukan seseorang memeluknya. Ia menoleh dan meminta persetujuan atas apa yang terjadi bukanlah hal yang ia inginkan. Bangku panjang itu jadi terasa sangat kecil dan dingin. Dan dengan caranya yang terlihat ganjil perempuan itu berusaha tersenyum. Bagaimana ia bisa mengatakan tentang kelicikan cinta yang datang dan membuat ia berpura-pura menikmatinya. “Malika. Ada a

Kamisan #1 Session 3: ~Memeluk Hujan yang Buruk ~

Ketika ia melihat ke jendela, lamunannya berhenti tapi tetap saja ia tidak mendengar ketukan pintu berkali-kali karena suara hujan yang deras. Tapi saat teleponnya berdering, ia sadar dan bergegas menuju pintu. Membukanya dan menemukan Paul dengan ekspresi sedikit kesal. “Kenapa lama sekali? Aku kedinginan.” Paul masuk dan mengibas jaketnya. Ia menaruh benda itu di gantungan baju. Perempuan itu tidak menjawab dan hanya memandangi hujan yang jatuh lewat pintu. “Kau kenapa? Sakit?” Tanya laki-laki itu lagi. Perempuan itu menggeleng. Hujan selalu memberikan pengharapan padanya. Ia mencoba mengingat kembali hujan yang paling buruk yang pernah ia alami. Lelaki itu duduk setelah mengganti baju dan menaruh kopi panas ke atas meja. Perempuan itu masih melamun dan duduk melihat  jendela, tempias air hujan menimbulkan bayang-bayang di kaca. “Sudah sore begini. Kau mau makan apa?” Tanya Paul. Perempuan itu menggeleng. Lalu berkata lagi Paul, “Katakan sesuatu. Kenapa kau diam saja?”