Skip to main content

Realitas Sosial dalam Tunggu Aku di Sungai Duku




Namun aku merasakan sesuatu yang lain ketika memasuki tempat ini. Aku tak peduli apakah ini penjara bagi pesakitan, perampok, pemerkosa, koruptor, bromocorah kambuhan atau esidivis kelas kampong. Kalau engkau ingin tahu Maria, aku merasa inilah tempat yang baik bagi pikiranku, setidaknya aku merasa hidup yang lebih bebas dan pikiranku bisa berjalan dengan seluas-luasnya.(Penjara:3)
Begitulah apa yang dirasakan Rusdi, tokoh protagonis  dalam cerpen berjudul “Penjara”. Ia berkeyakinan bahwa ada penjara yang lebih dalam, lebih tinggi, dan lebih kokoh dan lebih segalanya dari apa yang  sekarang dirasakan Rusdi. Penjara yang membuat kerangkeng kebebasan menjadi sebatas angan-angan, dan di dalamnya menyelinap kekecewaan, keletihan yang amat dalam. Tapi, satu hal yang mampu membuat Rusdi bias berpikir lebih tenang ialah karena cinta. Sebuah ukuran kebahagiaan yang kerap membuat manusia mampu bertindak seperti dewa.
Cerpen ini menjadi cerpen pembuka dalam kumpulan cerpen Tunggu Aku di Sungai Duku. Ditulis oleh pengarang besar Hary B. Koriun (HBK) dalam kurun waktu 1992-2006. Cerpen-cerpen yang terbit di beberapa media ini dirangkum agar pembaca bisa kembali menikmatinya.
Dan ketika saya, selaku pembaca menelusuri kesebelas cerpen tersebut, saya menemukan efek dari kenyataan yang mungkin bisa jadi pernah dimiliki si penulis cerita, mungkin saja bukan? Kisah-kisah heroik dalam bentuk realisme, kenyataan yang berbalut romantika dalam kemasan karya sastra.
Dalam cerpen “Lelaki Mumi”, menceritakan kisah seseorang lelaki yang menjadi kambing hitam dari sebuah insiden peledakan hotel. Hal ini juga terdapat dalam cerpen “Wanita di seberang jalan” di mana, di sebuah toko buku terbesar telah terjadi ledakan bom yang melukai banyak orang.  Cerita ini tentu mengingatkan kita tentang tragedy WTC atau J.W marriot.
Penulis tidak hanya sekedar menceritakan sebuah peledakan dan isu-isu yang menyertainya, namun penulis  berusaha menguatkan karakter masing-masing tokoh dengan transisi keadaan sebelum dan sesudah peledakan terjadi.  Bagaimana si_aku “Lelaki Mumi” yang bersikukuh tidak akan menyerahkan diri karena tidak bersalah dan menemui wanita yang ia cintai sebelum akhirnya ledakan besar terjadi. Dan latar belakang peledakan itu ialah target seorang Komandan yang salah sasaran. Meski untuk menutupi hal tersebut, Komandan mengkambing-hitamkan kelompok militanlah yang menjadi dalang di balik peledakan hotel, di mana si_aku hampir tewas dan kini terbaring lemah dalam balutan perban.
Ah, kekuasaan benar-benar bisa merubah keadaan menjadi lebih kritis.
Sementara itu, cerpen “Tunggu Aku di Sungai Duku”_(TAdSD) yang menjadi judul utama kumpulan cerpen ini_ menceritakan tentang Nyimas Rita Umi Kalsum yang terus saja menungggu Martin yang tengah melakukan pelayaran dari dermaga Sungai Duku di daerah kepulauan.
Cerita ini mengambil sudut pandang yang berbeda, dimulai dari tokoh Umi kalsum yang duduk di dermaga saat hari pertama kepergian Martin,  kemudian surat dari Martin sendiri yang berada di kepulauan Anambas, cerita kembali di Sungai Duku yang telah bertahun-tahun pasca kepergian Martin, Orang ketiga, dan berakhir dengan si_Aku (kini) yang ternyata tengah bercerita dan mempertanyakan sendiri perihal kebenaran kesetiaan itu pada kekasihnya, Alia.
Cerita TAdSD mengusung nilai kesetiaan yang tak terukur. Bagaimana mungkin bertahun-tahun duduk di tepi dermaga hanya demi menunggu kekasihnya kembali  pulang. Cinta seperti apakah itu? Cinta zaman Baheula yang mungkin bisa jadi masih ada di sekitar kita, bisa benar adanya, namun bagi sebagian orang menjadi salah satu kebodohan terbesar.
Tertambat di manakah kapalmu saat ini, Martin? Di Madagaskar, Srilangka, Selat Malaka ataukah hampir sampai di Sungai Duku? Aku sebenarnya capek menunggumu berpuluh-puluh tahun seperti ini, namun cinta membuatku selalu menunggumu dan melupakan semua rasa capek dan penat itu. Meski aku tidak yakin, tetapi aku selalu berharap dan ingin selalu memahami, bahwa cintaku tak pernah terukur dengan apapun, termasuk oleh waktu seperti sekarang ini. (TAdSD:38)
Berkuasanya cinta, berkuasanya segala rasa harap yang ada, membuat kekuatan datang dari dalam diri seseorang. Melupakan ketakutan-ketakutan dan bertindak di luar batas rasional. Namun sesungguhnya tampak ironis, menyedihkan dan tentunya kekesalan dari saya selaku pembaca. Bukankah cinta itu kebahagiaan dan kerelaan. Betapa dapat kita rasakan kesepian yang dijalani Umi Kalsum. Ah, lagi-lagi kuasa cinta pula yang membuat tampak kritis.
Pada cerpen yang lain, Hary B. Koriun menceritakan gamblang kejadian pasca kerusuhan 1998 dalam cerpen “Maria” dan “Luka Beku”. Dengan latar belakang HBK sebagai seorang wartawan senior, tentu memiliki referensi luar biasa yang bisa ia ramu sedemikian rupa menjadi sebuah karya sastra. Bagaimanakah fakta di tempat berbicara, bagaimana sebuah ideologi  bergejolak ketika itu, di mana masyarakat harus tunduk pada aturan yang terkesan ‘Memaksa’ dan berbenturan dengan nilai-nilai murni kehidupan itu sendiri.
Hary B. Koriun menilik sebuah alternatif lain dalam hal pembelaan terhadap kaum minoritas yang terjadi di sekitar kita. Dengan bahasa yang sederhana, mudah di pahami, romantis dan di sisipi kejadian-kejadian krisis dalam sebahagian orang memandang hidup. Maka lihatlah dalam cerpen Wanita Penunggu Kayu Tanam, Nyanyian Batanghari, Laksmi, Mayat di  Kereta Api dan Lelaki Tua yang Selalu Menunggu, HBK seolah-olah bernostalgia pada sebuah cinta yang dingin, meski tak bisa dijabarkan dengan sistematika apa, bagaimana, dan kenapa. Beliau berhasil menggodok sejumlah perasaan yang gelisah.
Dari sekian cerpen tersebut, saya begitu tertarik dengan cerpen berjudul “Pulang”, di mana memiliki kesamaan latar emosional dengan novel Beliau berjudul Malam, Hujan. Ada dendam dari seorang anak pada ayahnya. Kekerasan pisik dan psikis yang diterima si_Aku, akibat kesusahan hidup berkepanjangan yang dirasakan keluarga mereka. Si_Aku enggan pulang dan berusaha berbesar hati untuk pulang setelah limabelas tahun lamanya tak bersua, namun tanpa  diketahui si_Aku yang mulai bisa memaafkan itu, sang Ayah berpulang ke pangkuan Tuhan.
Dramatis memang. Padahal hanya berjarak satu kilometer lagi untuk Aku menemui Ayahnya yang  sekarat. Namun jarak dan waktu itu seperti bentangan lima belas tahun lamanya.
Warna lokalitas dan tekhnik bercerita yang diramu, di lukiskan menjadi pemikat yang tak bisa tidak, kerap mengawang-awang di kepala sehabis membacanya. Ada pergulatan manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan kehidupan itu sendiri. Nilai-nilai yang hendak di utarakan sebagai sebuah efek dari symbol kekuasaan pribadi manusia. HBK piawai seperti apa yang telah ia tulis dalam sejumlah novelnya, Beliau bercerita dengan gaya khas jurnalistiknya.
Kejutan-kejutan yang membuat pembaca menelan ludah, Cinta dan kekuasaan melambai-lambai dalam keburaman hidup yang terus menggoda. Selamat membaca dan rasakan sensasinya.(*)

Pku.

Comments

Popular posts from this blog

Kamisan #12 HIRUK ~Pindah~

Mulai pekan ini, perempuan cantik itu pindah ke kontrakan lain di kawasan Kemuning. Ia baru saja menaruh kardus berisi pakaian, kipas angin kecil dan buku-buku tulisan. Perempuan itu terbatuk-batuk saat seseorang mengetuk pintu rumahnya. “Mas Roji. Aku pikir siapa.” Perempuan itu membuka pintu. Lelaki itu masuk dan mengamati seisi rumah kontrakan. “Kau yakin mau tinggal di sini? Apa sebaiknya kau tidak cari kontrakan lain?” “Kenapa mas? Aku merasa tempat ini baik-baik saja.” “Tapi daerah ini sepi.” “Aku lebih suka sepi. Di kontrakan lama terlalu hiruk suasananya, Mas. Aku tidak suka.” “Apa ini untuk menghindariku juga?” lelaki itu duduk di atas tikar kecil. Memandangi wajah perempuan yang kerap hadir dalam ingatannya. “Mas Roji. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak mau Nadia marah. Semuanya akan gaduh dan aku menjadi penyebab ketidaknyamanan di kantor kita.” “Jadi kau merasa sebagai penyebab keributan? Hentikan pikiran konyolmu. Nadia juga sudah dewasa,

KAMISAN #4 ~HALUSINASI~ "Rasa Bersalah yang Datang Setelah Ia Jatuh Cinta"

Ketika perempuan itu kebingungan dan duduk di sebuah bangku panjang, ia menjadi sebuah kesunyian dan tidak menemukan kehidupan lain di sekitarnya. Ia berusaha membunyikan napasnya kuat-kuat agar ada yang mendengar dan bertanya padanya, di mana lelaki itu? Di mana orang yang menyatakan cinta padamu? Sekali lagi, perempuan itu memandang ke jalan. Yang tampak baginya adalah orang-orang bergerak seperti angin yang lambat. Dan ia justru mengeluarkan tangisan secara perlahan. Mereka datang dan pergi, mereka utuh membawa dirinya kembali. Perempuan itu hanyut dalam perasaannya yang suci. Namun ia membuka mata dan menemukan seseorang memeluknya. Ia menoleh dan meminta persetujuan atas apa yang terjadi bukanlah hal yang ia inginkan. Bangku panjang itu jadi terasa sangat kecil dan dingin. Dan dengan caranya yang terlihat ganjil perempuan itu berusaha tersenyum. Bagaimana ia bisa mengatakan tentang kelicikan cinta yang datang dan membuat ia berpura-pura menikmatinya. “Malika. Ada a

Kamisan #1 Session 3: ~Memeluk Hujan yang Buruk ~

Ketika ia melihat ke jendela, lamunannya berhenti tapi tetap saja ia tidak mendengar ketukan pintu berkali-kali karena suara hujan yang deras. Tapi saat teleponnya berdering, ia sadar dan bergegas menuju pintu. Membukanya dan menemukan Paul dengan ekspresi sedikit kesal. “Kenapa lama sekali? Aku kedinginan.” Paul masuk dan mengibas jaketnya. Ia menaruh benda itu di gantungan baju. Perempuan itu tidak menjawab dan hanya memandangi hujan yang jatuh lewat pintu. “Kau kenapa? Sakit?” Tanya laki-laki itu lagi. Perempuan itu menggeleng. Hujan selalu memberikan pengharapan padanya. Ia mencoba mengingat kembali hujan yang paling buruk yang pernah ia alami. Lelaki itu duduk setelah mengganti baju dan menaruh kopi panas ke atas meja. Perempuan itu masih melamun dan duduk melihat  jendela, tempias air hujan menimbulkan bayang-bayang di kaca. “Sudah sore begini. Kau mau makan apa?” Tanya Paul. Perempuan itu menggeleng. Lalu berkata lagi Paul, “Katakan sesuatu. Kenapa kau diam saja?”