Skip to main content

Hari Terakhir, Rud




    Aku melihatmu, Rud. Dengan tengadah menatap langit di luar rumah. Mata memejam sesekali dan tangan yang mengepal erat ke tanah. Angin juga yang membuat mata lentikmu berkedip-kedip menahan perih. Tak kau hiraukan pekik istrimu, Rud. Kau tidak sedang gilakah?
Istrimu mencak-mencak di teras rumah, mengatakan beberapa nama di kebun binatang. Aku bergidik, rumah ini seperti gunung merapi yang tengah berapi-api, meluap dan menyerempet nama-nama yang mengalir dari kekecewaan.
     Kau mendongak, lalu bangkit dan masuk ke dalam rumah. Aku mengikutimu lagi, ingin memastikan kau tidak berniat bunuh diri. Maka suaramu keluar parau dari tenggorokan yang kering. Kau bilang menyesal telah mengecewakan  istrimu, kau juga tidak bisa menepis hal yang sudah kadung terjadi. Oh Tuhan… pekik istrimu. Tapi kau meringkuk di atas kasur. Pasir menempel di celana dan debu yang melekat di muka.
    Istrimu masuk, kembali dengan airmata. Tenaganya habis setelah berteriak-teriak tadi. Ia menaruh Koran ke sampingmu. Berita besar! Tampaknya itu yang ingin ia katakan.
    “Kau berkhianat, Rud. Gadis itu…” suara istrimu ikut serak. Duduk juga ia di tepi ranjang. Mata yang sembab dan hidung yang memerah.
    Aku melihatmu, Rud. Kemarin. Kau tidaklah cengeng seperti saat ini. Kau suka menatapku berlama-lama. Kita bertemu tak sengaja. Kau penulis dan aku pelukis. Kita suka mengunjungi rumah seni di tengah kota. Entah karena bukumu yang terjatuh atau karena jabat tanganku yang menggetarkan sesuatu, kita bertukar nomor telepon dan berjanji berjumpa esok harinya.
     Kau dengan ramah mengajakku makan di restoran mewah. Aku menolak. Aku ingin makan di perempatan jalan saja, di kaki lima yang remang-remang. Bukan karena mencari kesempatan, tapi aku tak biasa dengan dunia yang terlampau megah.
    “Namaku Rud. Namamu Risa? Nama yang lucu ya. Aku suka mengulangnya.”
     “Benarkah? Kau juga.”
     “Ha..ha..lucu.”
     Kita saling bercanda dan kau  membeberkan perihal tulisan-tulisanmu  yang kerap muncul di halaman budaya. Kau bilang kita hidup dari sebuah cerita, kau meraciknya demikian rupa agar pembaca berselera dan tentunya membuatku terpikat juga. Kau hebat, maka kata-kata itu yang melambungkan kita dan membuat saling tertawa.
     Suara istrimu lagi-lagi menggema di ruangan. Entah berapa kantong airmata, entah berapa perih yang telah  kau buat padanya. Ia tampak rapuh kini dengan daster yang lusuh. Ia menggapai-gapai lenganmu yang menggigil. Apa yang kau takutkan, Rud? Jika hatimu bisa mendua, tentu hal lain bisa kau taklukan juga.
     Rud, Rud, berdirilah.
Kenapa kau menyalakan api di hadapanku. Sepanjang hari, saban malam kita bertukar pesan. Bercerita tentang karyamu atau tulisan_milikku sendiri_yang mulai kuminati dan kupelajari. Di sela-sela perbincangan serius itu, kita suka menggoda untuk saling menyuguhkan tawa. Aku mulai khawatir, Rud. Kalau-kalau semua ini membuat kosentrasi kita pecah. Aku kerap datang terlambat ke tempat latihan, mulai mengabaikan pesan-pesan dari teman terdekatku, juga senyum-senyum sendiri dalam ruangan. Lalu mungkin aku akan mengkhayalkan hal yang sama padamu, Rud. Kau pasti lupa sedang bersama siapa di sana.
    “Puisimu bagus.”
     “Kau suka?”
     “Aku menyukai apa yang ada padamu, Risa.”
     “Ha, kau lucu.”
     “Hahaha.”
     Tiba-tiba aku melihatmu beranjak ke kamar mandi. Istrimu hanya mengucap berkali-kali. Aku kasihan pada istrimu, Rud. Tolong peluklah dia. Namun kau tampak tidak bergairah, hanya mengambil buku notes selepas keluar kamar mandi. Notes itu bergambar kepala kelinci merah jambu. Ketika itu aku menjatuhkannya tak sengaja dari rak buku, kau bilang mau membelikannya untukku, aku senang ketika itu.  Kemudian Kau mengambil kunci mobil dan aku diam-diam mengikutimu dari belakang.
    Rud, kau ingat jalan ini? Aku kemari saat kau berjanji memperlihatkan Koran yang memuat tulisanmu dan aku membuatkan sketsa lukisan wajah dirimu. Kau bawa juga buku kumpulan cerpenmu yang tengah naik daun itu.
    Kau hebat!
    Lalu kita saling memuji dan merendah entah karena malu-malu mengakuinya. Aku juga ingat saat makan malam di salah satu warung kaki lima. Kita suka memperbincangkan hal-hal yang sama sekali tidak membuat aku lengah karena tawa. Dan semuanya ku rekam dengan segala rasa takjubku padamu. Kau yang mencuri segalanya dengan pelan-pelan.
    Sebentar saja telepon genggammu berdering. Dulu aku pernah kesal saat kau jarang membalas pesan singkatku. Aku langsung berpikir untuk mengakhiri secepatnya dengan menghapus nomormu, tapi kau tiba-tiba menghubungiku lagi dan menyapa hati yang kerap putus asa. Aku tak jadi kecewa.
“Bang, pulanglah.” Suara istrimu, Rud. Kau sengaja speakerkan  telepon di saku bajumu. Aku bergetar, merasa sangat cemburu.
“Aku harus menemuinya.” Jawabmu pelan. Suaramu itu suara yang membuat bulu kudukku merinding. Aku memandang keluar jendela. Gerimis singgah dan aku tak melihat bayang sesiapapun dari kaca jendela, selain dirimu tentunya.
Aku jadi  ingat dua hari yang lalu, ketika aku membelikan kemeja baru untukmu dan kau berjanji menemuiku,  padahal ketika itu kau mewanti-wantiku agar tak membelikan barang dalam bentuk pakaian, yang bisa memutuskan hubungan. Mitos itu yang membuat aku kesal padamu. Bagaimana mungkin hal itu bisa dijadikan rujukan dalam berhubungan. Akhirnya kau bilang kau ingin datang dan itu membuatku senang tak kepalang.
Akupun menyiapkan makanan special, memotong kentang dan buncis.  Api yang menyala-nyala, decis minyak goreng dan musik instrument yang pernah kau kirimkan lewat paket khusus untukku.
Suara telepon berdering
Suara perempuan menyela salamku ketika itu.
“Ini Risa? Aku dewi, istri Rud.”
Aku gemetar  tiba-tiba. Istrimu  mengintrogasiku. Aku berbicara apa adanya, bahwa kita berteman dan saling berusaha menguntungkan dalam sebuah karya. Kita berteman kan, Rud? Lalu istrimu bilang sesuatu yang sangat menyakitkanmu. Aku sudah tak bernafsu lagi untuk menunggumu datang.
Aku terdiam lama di depan gagang telepon. Bau bawang goreng yang hampir hangus, kentang yang tengah direbus dan sepasang mata yang terlintas dalam benakku.
“Risa!!”
     Akhirnya kau datang, Rud. Berdebar-debar hatiku kala itu. Tanpa ba-bi-bu, kau rangkul kepalaku, memberi seikat mawar merah ke hadapanku. Kau juga bilang bukumu selanjutnya akan segera terbit dalam waktu dekat. Akh, cinta… kita makan bersama, kau bahagia, aku gelisah.
    Sebelum kau memelukku kau menaruh puntung rokokmu di atas meja. Kau meminta hasil sketsaku yang berbentuk abstrak. Aku tersenyum geli, kau selalu menganggap segala yang abstrak itu adalah aku. Aku jadi ingin kau secepatnya kembali. “Rud, temui istrimu dan jangan mengemudi sambil merokok,”  pesanku kala itu. Sebelum kau pulang kau peluk aku dalam-dalam, kau merasa takut jika aku benar-benar hilang dari hadapanmu. Kau terlihat seperti anak kecil saja.
     Perlahan, setelah kau benar-benar pergi dari rumahku. Aku mencium bau kanvas terbakar. Aku ingat kau  langsung, Rud. Kau lupa atau sengaja menaruh puntung rokok itu di atas meja yang bersebelahan dengan kertas-kertas kanvasku. Aku gelagapan, histeris sambil memegang sebuah benda hadiah darimu. Aku lagi-lagi mengingatmu dan istrimu, Rud. Inikah hari terakhir pertemuan kita. Aku merasa hangat sekali, seperti pelukanmu tadi.
    Aku berlari mencari pintu keluar, dan berhenti saat semuanya berkobar dengan sangat cepat. Suara-suara muncul dari langit-langit rumah yang dipenuhi triplek dan kayu. Aku memegang buku fiksimu yang ketiga, dan aku melihat percikkan cahaya dari atas menerpa seluruh wajah hingga aku benar-benar lupa.

    Kini, di ruang sepi itu, kau memandangi tubuh yang tak berdaya  dan  tak rupawan seperti dulu. Setelah berita tentang kedekatanmu dan aku muncul di media massa, kau seakan-akan di terpa gelombang tsunami yang bisa menghancurkan nama baikmu. Toh, aku tetap wanita baik-baik, Rud. Terima kasih telah mengunjungiku. Dengan begini, setelah aku siuman nanti, kau akan benar-benar pergi dan tidak akan merepotkan aku lagi, membuatku hampir mati karena kecerobohanmu ini.
    Kau malah memelukku ketika rentetan pengukur detak jantung bereaksi kembali. Satu kata yang langsung meluncur dari mulutmu yang mungil saat aku membuka mata.
    “Maafkan aku, Risa. Pulanglah bersamaku.”
    Padahal ketika mata ini sudah terbuka, aku lega, sekiranya ini menjadi pertanda hari terakhir kita. Dan kita tidak akan menyakiti siapa-siapa. Entahlah, parfummu kembali menempel di sarafku dan istrimu berdiri  lemas di depan pintu.***

Cikie wahab February 2012

Diterbitkan di Padang Ekspress. 10 Maret 2013

Comments

Popular posts from this blog

Kamisan #12 HIRUK ~Pindah~

Mulai pekan ini, perempuan cantik itu pindah ke kontrakan lain di kawasan Kemuning. Ia baru saja menaruh kardus berisi pakaian, kipas angin kecil dan buku-buku tulisan. Perempuan itu terbatuk-batuk saat seseorang mengetuk pintu rumahnya. “Mas Roji. Aku pikir siapa.” Perempuan itu membuka pintu. Lelaki itu masuk dan mengamati seisi rumah kontrakan. “Kau yakin mau tinggal di sini? Apa sebaiknya kau tidak cari kontrakan lain?” “Kenapa mas? Aku merasa tempat ini baik-baik saja.” “Tapi daerah ini sepi.” “Aku lebih suka sepi. Di kontrakan lama terlalu hiruk suasananya, Mas. Aku tidak suka.” “Apa ini untuk menghindariku juga?” lelaki itu duduk di atas tikar kecil. Memandangi wajah perempuan yang kerap hadir dalam ingatannya. “Mas Roji. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak mau Nadia marah. Semuanya akan gaduh dan aku menjadi penyebab ketidaknyamanan di kantor kita.” “Jadi kau merasa sebagai penyebab keributan? Hentikan pikiran konyolmu. Nadia juga sudah dewasa,

KAMISAN #4 ~HALUSINASI~ "Rasa Bersalah yang Datang Setelah Ia Jatuh Cinta"

Ketika perempuan itu kebingungan dan duduk di sebuah bangku panjang, ia menjadi sebuah kesunyian dan tidak menemukan kehidupan lain di sekitarnya. Ia berusaha membunyikan napasnya kuat-kuat agar ada yang mendengar dan bertanya padanya, di mana lelaki itu? Di mana orang yang menyatakan cinta padamu? Sekali lagi, perempuan itu memandang ke jalan. Yang tampak baginya adalah orang-orang bergerak seperti angin yang lambat. Dan ia justru mengeluarkan tangisan secara perlahan. Mereka datang dan pergi, mereka utuh membawa dirinya kembali. Perempuan itu hanyut dalam perasaannya yang suci. Namun ia membuka mata dan menemukan seseorang memeluknya. Ia menoleh dan meminta persetujuan atas apa yang terjadi bukanlah hal yang ia inginkan. Bangku panjang itu jadi terasa sangat kecil dan dingin. Dan dengan caranya yang terlihat ganjil perempuan itu berusaha tersenyum. Bagaimana ia bisa mengatakan tentang kelicikan cinta yang datang dan membuat ia berpura-pura menikmatinya. “Malika. Ada a

Kamisan #1 Session 3: ~Memeluk Hujan yang Buruk ~

Ketika ia melihat ke jendela, lamunannya berhenti tapi tetap saja ia tidak mendengar ketukan pintu berkali-kali karena suara hujan yang deras. Tapi saat teleponnya berdering, ia sadar dan bergegas menuju pintu. Membukanya dan menemukan Paul dengan ekspresi sedikit kesal. “Kenapa lama sekali? Aku kedinginan.” Paul masuk dan mengibas jaketnya. Ia menaruh benda itu di gantungan baju. Perempuan itu tidak menjawab dan hanya memandangi hujan yang jatuh lewat pintu. “Kau kenapa? Sakit?” Tanya laki-laki itu lagi. Perempuan itu menggeleng. Hujan selalu memberikan pengharapan padanya. Ia mencoba mengingat kembali hujan yang paling buruk yang pernah ia alami. Lelaki itu duduk setelah mengganti baju dan menaruh kopi panas ke atas meja. Perempuan itu masih melamun dan duduk melihat  jendela, tempias air hujan menimbulkan bayang-bayang di kaca. “Sudah sore begini. Kau mau makan apa?” Tanya Paul. Perempuan itu menggeleng. Lalu berkata lagi Paul, “Katakan sesuatu. Kenapa kau diam saja?”