Skip to main content

Kota Harapan



Jika masing-masing di antara kami ada yang bisa dibicarakan tentu kebisuan ini tidak akan panjang. Lelaki itu duduk dan memandang ke gundukan ilalang yang dikumpulkan petani ke dalam goni. Mendung menggelayuti dan matanya terus saja mengamati rerumputan yang berwarna kekuningan. Ada beberapa gundukan yang sudah dibersihkan. Beberapa tulisan di papan nama mengabur dengan posisi papan yang tidak teratur.
Di bawah pondokan dengan bangku kayu, aku datang sejak setengah jam lalu. Tidak ada orang lain. Ia duduk beberapa jengkal dariku dan wajahnya tak berubah dari waktu ke waktu. Lelaki itu tersenyum. Lalu akupun duduk dan memandangi hal yang sama. Aku diam. Pikiranku melayang ke hari dimana perpisahan terasa begitu menyakitkan.
Seekor semut merah membuatku sadar dari lamunan, satu dari kelompoknya telah menggigiti jemariku. Seperti prajurit yang tidak patuh saat mengambil makanan dan ia mati terjepit oleh pukulanku. Maka kujadikan alasan untuk memecah keheningan
“Aku tidak suka kesepian,” selang aku mengatakannya. Gerimis turun. Mendung menumpahkan air hujan. Lelaki itu pasti menginginkan aku duduk bersila di atas bangku agar keciprat air tidak mengenai kakiku.
“Hujan tidak datang tepat waktu untukku.” Kuamati dari atap rumbia yang meneteskan air di ujung daunnya. Ada kedamaian yang kuingat. Meski kemudian gemuruh bersahutan. Jika aku pulang aku akan kebasahan dan jalanan menuju pemukiman jauh dari pondokan. Lalu lelaki itu melihatku menadahkan tangan di antara guyuran hujan yang jatuh. Ia melihatku yang kekanakan. Aku segera menghentikannya.
“Kota ini masih menyimpan harapan,” ujarku saat ia mengingatkanku perihal lahan dan tanah yang hilang. Aku menatapnya dengan sesal. Lelaki itu dengan aroma kopi dan getah karet berlarian dalam ingatan di benakku sepuluh tahun silam.
“Kita akan jadi putri dan pangeran!” teriakku di deretan pagar dan teman-teman melilitkan asoka di kepala. Sementara di tangannya ada seember getah yang masih basah. Lelaki itu tidak paham mengenai Romeo  dan Juliet yang kuceritakan. Ia hanya tahu bekerja dan berdoa ketika malam tiba.
Aku menyodorkan gambar komedi putar. Ia gembira melihatnya tapi kemudian berpaling, seperti sebuah ancaman saat melihatku datang. Ia tidak mengerti siapa dirinya, batinku kesal. Padahal sebagai perempuan aku ingin ia menuruti kehendakku. Ia tidak menoleh, berlalu hingga masuk ke dalam pabrik. Namun dua hari kemudian ia bersedia menyapaku dan menawarkan diri menemani aku menyusuri ladang untuk mencari belalang.
“Aku punya alasan untuk mengejarmu.”
Ia tertawa dan mengatakan aku terlalu serius ketika itu
Jelas aku serius. Bahkan dia pasti ingat bagaimana di kelokan pertama menuju pasar malam, aku memberinya sepatu berwarna coklat. Aku ingin ia memakainya ketika menakik getah atau menemani aku melihat sekawanan gajah yang tengah mandi bersama.
Oh Tuhan. Aku lupa. Lelaki ini,  yang duduk bersamaku adalah lelaki penakik getah belasan tahun lalu. Ia lahir dan hidup di antaranya. Lalu demi mendapatkan perhatiannya aku meminta ayahku membeli semua tanah di sana, di tempat lelaki itu berada. Karena aku senantiasa dihinggapi aroma getah dari dirinya. Semua yang kulakukan sudah diluar akal sehatku. Aku merasa aku adalah orang terbaik di matanya.
“Mungkin cinta masa muda membutakanku.” Hujan masih turun dan perasaan damai itu berubah jadi gelisah.
Ketika aku hendak menemuinya, aku mendapati bahwa perbedaan kami begitu besar. Ia tidak punya apa apa untuk kukenalkan pada ayah. Aku gelisah saat ayah mengetahui bahwa putrinya menyukai seorang pekerja. Tapi diluar dugaanku, ayah tidak marah dan diam saja. Aku tidak mengerti maksudnya. Itu membuatku makin besar kepala. Aku jarang kembali ke rumah dan berlama-lama di daerah itu untuk sekedar melihatnya.
“Aku membenci ayahmu,” ujarnya suatu malam. Saat purnama yang tenang. Kutanyakan mengapa, ia diam saja. Ada rahasia di antara mereka. Aku tidak mengerti maksudnya. Suatu saat aku pasti mengerti, ia mengecup bibirku dan mengatakan apa yang harus ia lakukan.
Aku terperanjat. Ia ingin membakar pabrik dan semua isinya. Ia telah meracuni lahan dengan sejenis hama. Aku tidak percaya itu. Aku melihat punggungnya yang hitam menghilang di balik malam.
Aku benar-benar gelisah dan tidak mau pulang. Aku menunggunya di pabrik tengah malam. Entah ia mendengarkan aku entah tidak. Aku setengah terlelap menanti ia datang.
“Hari-hariku terasa panjang dan menyedihkan.” Aku menggerutu sendiri. Seharusnya bulan ini aku sudah pergi dari tempat ini. Tapi memang kota ini selalu menyimpan harapan. Lelaki yang duduk bersamaku begitu tenang. Aku melihat awan di lorong matanya.
Apa ini rindu yang tertahan? Saat itu, dimana aku menunggunya. Aku tahu ia memang tidak pernah menyukai ayahku karena satu hal. Dan aku tidak tahu itu apa. Matanya buram sekali dan sempoyongan. Dia sengaja menggodaku dengan aroma tubuhnya, mengitari setiap ruang pikiran yang dituruti ayah. Kami bersitegang. Aku tidak mencium aroma kopi dari tubuhnya. Aku juga tidak lagi melihatnya berlama-lama.
Aku terus berada dalam pabrik yang gelap. Aku tidak ingin pulang dan  menanyakan kesungguhan kabar yang kudengar tentang ayah dan dirinya. Bayangan kekacauan datang dan memaksaku berpikir keras. Aku tidak ingat apa-apa lagi kecuali saat aku terbangun, lengan kokoh itu mendekapku dalam dadanya.
“Semua hilang dan lenyap. Hanya getah itu yang kuingat.”
Hujan berhenti.
Lelaki penakik getah itu berdiri.
Ia memang seorang pekerja. Dan aku baru tahu beberapa tahun sesudah itu mengenai dirinya. Ayah memang membuatnya terluka. Lebih dari apa yang kukira. Meskipun begitu, ia sudi menyelamatkan aku saat kobaran api di pabrik benar-benar terjadi.
Awan di matanya menghilang seperti riak air yang tenang. Ia memperlihatkan senyumnya lagi dan aku ingat perkataannya suatu kali.
“Kita hanyalah ambang batas yang ingin meratakan kebahagiaan. Sepasang jemarimu tidak pernah terluka dan saat kau terpanggang sinar matahari, kau lupa cahaya itulah yang menghidupi tanaman hingga kau makan darinya. Aku terombang-ambing dengan perasaan ini. Hari-hariku diliputi kecemasan akan kenekatanmu. Kau begitu membuatku darahku bergejolak. Di antara dendam dan rasa sayang. Aku mendekatimu sebagai balasan atas kekasaran ayahmu pada ibuku.  Semula aku berpikir kalau kau adalah saudara kecilku. Tapi aku bersyukur itu tidak pernah terjadi. Ayahmu hanya memanfaatkan ibu untuk menjadi orang berkuasa di sini. Aku membencinya. Tapi percayalah, ketika aku memelukmu, aku merasa kau adalah perasaan indah yang pernah kupunya. Dan jika kau menemukan aku terpanggang matahari, lihatlah ke kawasan lahan kering yang disisakan ayahmu untuk kuburan kami. Ada aku ditanam di sana dengan rasa terima kasihku atas cerita kita.”
Aku terisak. Kebisuan ini akan selalu panjang. Hujan sudah berhenti sejak tadi dan tentunya lelaki itu akan pergi. Aku tidak pernah memandangnya sebelah mata. Sebagaimana pekerja getah lainnya. Aku berdiri melihat jalanan yang tergenang air dan gundukan di belakang pondok. Teleponku terus berdering. Ayahku menelepon sejak tadi dan ia pasti tahu bahwa aku tengah mengunjungi lelaki penakik getah yang dimakamkan di sana.
Kota ini masih menyimpan harapan. Kucium lagi bau getah yang membuat airmataku berjatuhan.***


Pekanbaru. 14 mei 2013
Cikie Wahab. Penulis dan penikmat sastra. Bergiat di Sekolah Menulis Paragraf


Terbit di Riau Pos.7 Juli 2013

Comments

Popular posts from this blog

Kamisan #12 HIRUK ~Pindah~

Mulai pekan ini, perempuan cantik itu pindah ke kontrakan lain di kawasan Kemuning. Ia baru saja menaruh kardus berisi pakaian, kipas angin kecil dan buku-buku tulisan. Perempuan itu terbatuk-batuk saat seseorang mengetuk pintu rumahnya. “Mas Roji. Aku pikir siapa.” Perempuan itu membuka pintu. Lelaki itu masuk dan mengamati seisi rumah kontrakan. “Kau yakin mau tinggal di sini? Apa sebaiknya kau tidak cari kontrakan lain?” “Kenapa mas? Aku merasa tempat ini baik-baik saja.” “Tapi daerah ini sepi.” “Aku lebih suka sepi. Di kontrakan lama terlalu hiruk suasananya, Mas. Aku tidak suka.” “Apa ini untuk menghindariku juga?” lelaki itu duduk di atas tikar kecil. Memandangi wajah perempuan yang kerap hadir dalam ingatannya. “Mas Roji. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak mau Nadia marah. Semuanya akan gaduh dan aku menjadi penyebab ketidaknyamanan di kantor kita.” “Jadi kau merasa sebagai penyebab keributan? Hentikan pikiran konyolmu. Nadia juga sudah dewasa,

KAMISAN #4 ~HALUSINASI~ "Rasa Bersalah yang Datang Setelah Ia Jatuh Cinta"

Ketika perempuan itu kebingungan dan duduk di sebuah bangku panjang, ia menjadi sebuah kesunyian dan tidak menemukan kehidupan lain di sekitarnya. Ia berusaha membunyikan napasnya kuat-kuat agar ada yang mendengar dan bertanya padanya, di mana lelaki itu? Di mana orang yang menyatakan cinta padamu? Sekali lagi, perempuan itu memandang ke jalan. Yang tampak baginya adalah orang-orang bergerak seperti angin yang lambat. Dan ia justru mengeluarkan tangisan secara perlahan. Mereka datang dan pergi, mereka utuh membawa dirinya kembali. Perempuan itu hanyut dalam perasaannya yang suci. Namun ia membuka mata dan menemukan seseorang memeluknya. Ia menoleh dan meminta persetujuan atas apa yang terjadi bukanlah hal yang ia inginkan. Bangku panjang itu jadi terasa sangat kecil dan dingin. Dan dengan caranya yang terlihat ganjil perempuan itu berusaha tersenyum. Bagaimana ia bisa mengatakan tentang kelicikan cinta yang datang dan membuat ia berpura-pura menikmatinya. “Malika. Ada a

Kamisan #1 Session 3: ~Memeluk Hujan yang Buruk ~

Ketika ia melihat ke jendela, lamunannya berhenti tapi tetap saja ia tidak mendengar ketukan pintu berkali-kali karena suara hujan yang deras. Tapi saat teleponnya berdering, ia sadar dan bergegas menuju pintu. Membukanya dan menemukan Paul dengan ekspresi sedikit kesal. “Kenapa lama sekali? Aku kedinginan.” Paul masuk dan mengibas jaketnya. Ia menaruh benda itu di gantungan baju. Perempuan itu tidak menjawab dan hanya memandangi hujan yang jatuh lewat pintu. “Kau kenapa? Sakit?” Tanya laki-laki itu lagi. Perempuan itu menggeleng. Hujan selalu memberikan pengharapan padanya. Ia mencoba mengingat kembali hujan yang paling buruk yang pernah ia alami. Lelaki itu duduk setelah mengganti baju dan menaruh kopi panas ke atas meja. Perempuan itu masih melamun dan duduk melihat  jendela, tempias air hujan menimbulkan bayang-bayang di kaca. “Sudah sore begini. Kau mau makan apa?” Tanya Paul. Perempuan itu menggeleng. Lalu berkata lagi Paul, “Katakan sesuatu. Kenapa kau diam saja?”