Skip to main content

Kejutan


Oleh Cikie Wahab
Kira-kira pukul dua malam, Yui terbangun. Dingin menyusup di antara punggung dan dadanya yang tersingkap. Selimut dengan motif kotak-kotak yang berada di kakinya jatuh ke bawah dan bunyi serangga memenuhi ruangan hening dari bilah papan berukuran besar
Yui menarik kembali selimut kotak-kotak itu dan baru sadar suaminya tidak ada di sebelah. Ia duduk dengan gelisah, memikirkan kemana suaminya hingga pukul dua dini hari tidak juga pulang. Sudah tiga hari ini suaminya melakukan hal serupa, namun Yui enggan menanyakannya. Yui berdiri dan melihat lemari pakaian yang ada di depan tempat tidur mereka. Lemari itu berwarna coklat tua, setinggi tubuhnya. Di bagian pintu lemari ada coretan nama Yui di sana. Yui melihat tidak ada yang berubah dengan isi lemari. Ada tiga pasang baju yang tertata tak karuan, syal yang pudar dan selendang yang bergantungan. Bagian bawah lemari berisi kertas-kertas coretan, Koran-koran dan foto pernikahan mereka tiga tahun lalu di taman kota. Tentu saja ia juga tidak sampai hati berpikiran terlalu jauh tentang keterlambatan suaminya.
Yui beranjak ke dapur. Ruang itu lebih sempit dan pengap, lampu lima watt mengantung dan suara radio terdengar dari tetangga sebelah. Ia membuat teh panas untuk menghangatkan badan. Ia hanya menaruh setengah sendok gula ke dalam teh, setengah sendok yang tersisa ia simpan untuk suaminya.


Yui kembali ke kamar. Kasurnya berderit panjang ketika dinaiki dan Yui mendengar bunyi tapak kaki yang mendekat menuju pintu depan. Yui yakin suaminya pulang. Ia tak perlu bangun untuk membukakan pintu. Yayan, nama suaminya itu juga memegang kunci. Yui buru-buru menenggelamkan tubuhnya ke dalam selimut, menutup matanya dan pura-pura tidak terjadi apa-apa.
Benar. Suaminya masuk dengan menguap panjang. Ia hidupkan lampu dan menaruh jaket di kursi kayu belakang pintu. Segera ia cuci muka dan menemukan teh hangat ada di atas meja. Ia berpikir sejenak dan melihat ke wajah istrinya. Ia tersenyum, menghabiskan setengah gelas teh ke dalam perutnya. Ia dekatkan bibirnya ke pipi Yui, “Selamat tidur, yui.” Kemudian Ia melihat kalender dan terpaku pada tanggal yang ia lingkari sendiri. Yayan bergumam lalu tidur pulas tanpa sadar Yui terus memandanginya.
Yui tidak tenang seketika. Meski ciuman sayang itu masih Yayan lakukan, namun Yui merasa ada yang Yayan sembunyikan. Yui mencium aroma parfum buah di hidungnya dan di tubuh suaminya. Pikiran buruk itu muncul begitu saja dan makin membuat Yui gelisah.
Yayan dan Yui sudah jarang memakai wewangian. Meskipun Yui juga mencuci baju Yayan dengan pewangi di pasaran. Tapi wangi kali ini beda. Mereka pun hanya punya satu botol parfum yang kosong, kenangan dari hadiah pernikahan mereka. Botol kaca itulah yang tetap terpajang di atas meja, pemandangan indah sebagai hadiah terbaik cinta mereka. Yui membenci malam itu seketika dan memikirkannya hingga esok pagi tiba.


DENGAN uang sepuluh ribu rupiah, Yui meninggalkan rumah menuju pasar terdekat. Ia membeli satu liter beras dan sepotong ikan. Yui ingin suaminya makan dengan lahap sebelum ia berangkat bekerja. Pekerjaan sebagai buruh lapangan tentu membutuhkan banyak kekuatan. Yui berbunga membayangkan lezatnya makanan itu.
Tapi, saat melewati pedagang buah dan melihat berbagai wangi di sana, Yui kembali teringat aroma buah yang dibawa oleh suaminya. Ia jadi gugup, kalau-kalau suaminya punya rahasia. Ia mencoba menciumi badannya sendiri. Amis ikan melekat di pergelangan tangannya. Ia tiba-tiba sangat sedih. Ia tak punya wewangian di rumah. Pekerjaan mencuci di rumah tetangga membuat ia tak terlampau memperdulikan penampilannya.
Ia terpaku mendengar seorang penjaja dagangan meneriakkan nama barang, Parfum! Yui tak membuang waktu, ia bergegas menguak kerumunan orang-orang.
“Berapa harganya, Pak?” Tanya Yui bersemangat
“Lima ribu saja yang itu.” Penjual menunjuk pada botol yang paling kecil. Yui mendesah, ia hanya punya dua ribu di tangannya. Sisa dari membeli beras dan ikan tadi. Yui pun pulang dan berniat akan kembali esok hari untuk memenuhi janjinya membeli parfum yang paling wangi.
***

Yayan tak mengomentari apapun. Ia makan dengan lahap dan melihat segalanya berubah sejak siang itu. Lantai ubin yang mengkilap, perabotan _meski hanya perabotan usang_ yang tertata rapi. Dan tentu Yui yang mandi berkali-kali. Yayan tak tega untuk menanyakan perihal tersebut. Ia senang dan tersenyum di dalam hati, meski hatinya sedikit iba pada Yui
Yayan menciumi kening Yui ketika berangkat bekerja. Yui menganti jaket beraroma  buah dengan jaket yang yang baru ia cuci semalam. Meski tidak wangi, Yui ingin membuktikan kalau aroma buah hanya ada untuk hari ini saja. Ia tak akan menciumi baunya esok pagi. Yui merasa kasihan pada Yayan, karena separuh gajinya yang tidak seberapa itu dihabiskan untuk sewa kontrakan. Sementara Yui bekerja sebagai buruh cuci juga kadang menyisakan tunggakan ketika sang majikan telat membayar.
Yui memandang punggung Yayan yang menjauh hingga naik ke atas angkutan. Suaminya memang selalu pulang pada tengah malam. Namun beberapa hari ini Yui baru menyadari Yayan pulang terlambat tiga jam dari biasanya. Yui curiga kalau suaminya memiliki rahasia hingga aroma buah melekat di bajunya. Wangi itu pasti milik perempuan lain. Tidak ada lelaki yang memiliki parfum dengan aroma buah dan Yayan dengan keterbatasannya itu apa tega mengkhianati Yui, istrinya.
YUI segera membuka lemari dan membongkar celengan plastik miliknya. Isinya tidak seberapa. Lembaran uang sepuluh ribuan dan lima ribuan. Yui sudah merencanakan kejutan itu. Ia segera kembali ke pasar keesokan harinya. Dengan sedikit kesal_karena masih mencium aroma buah ketika Yayan pulang_Yui membeli parfum dengan botol menengah. Ia tetap menahan pertanyaan itu nanti malam, saat makanan kesukaan Yayan ia sajikan. Ia tak pikirkan uangnya yang habis begitu saja untuk merubah penampilannya. Ia pasti akan cantik sekali dengan lipstick merah dan parfum wangi menggoda.
Ia mengerjakan semuanya. Membersihkan rumah, merapikan barang dan memasak makanan. Yui tidak tidur hingga pukul dua belas malam, ia kemudian mandi lagi, menghangatkan  makanan dan merapikannya di atas meja makan. Lilin berwarna merah, kopi yang sudah dingin dan suara hujan yang tiba-tiba bergemuruh mengisi kepalanya yang hanya duduk diam menunggu. Yui berharap Yayan tidak akan kehujanan. Yui menguap panjang saat suara radio tidak lagi siaran. Ia benar-benar terkantuk dan terlelap di meja makan.
***
Yui terbangun saat suara ketukan pintu terdengar dari depan. Ia melihat makanan di atas meja tak tersentuh sedikitpun. Tiba-tiba ia mencium aroma buah lebih pekat. Ia yakin suaminya pulang.
Namun saat membuka pintu, ia tidak menemukan Yayan. Hanya ada petugas dari kepolisian, memberitahukan tentang kecelakaan yang dialami Yayan di perempatan jalan. Yayan terkapar di jalan dan polisi hanya menemukan benda itu dalam dekapan Yayan, sekotak hadiah dengan kertas berwarna merah dan sekeranjang buah berisi jeruk dan strawberry. Yui membukanya saat petugas pergi. Ia menangis tersedu-sedu dan melihat isi kotak tersebut dengan haru.

Yui menangis dan menggigit jeruk dan strawberry secara bergantian. Airmatanya meleleh. Ia ingin secepatnya menemui Yayan. Menyuruhnya pulang untuk menghabiskan makanan yang ia masak sejak semalam. Kenapa Yayan harus berbohong untuk bekerja lembur demi hadiah yang ia sendiri belum tentu suka. Yui segera berpikir, kira-kira berapa uang yang ia bisa dapatkan untuk menebus biaya perawatan Yayan. Yui  tidak tahu. Kini ia, sekeranjang buah dan gaun indah sebagai kado ulang tahunnya itu berangkat ke pasar. Ia akan menjual jeruk dan strawberry itu segera dan menggadaikan gaunnya pada tukang kredit pula. Ia terus menangis. Wangi parfum barunya kalah oleh aroma buah.***

Cikie Wahab
Terbit di Padang Ekspress, 14 July 2013

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kamisan #12 HIRUK ~Pindah~

Mulai pekan ini, perempuan cantik itu pindah ke kontrakan lain di kawasan Kemuning. Ia baru saja menaruh kardus berisi pakaian, kipas angin kecil dan buku-buku tulisan. Perempuan itu terbatuk-batuk saat seseorang mengetuk pintu rumahnya. “Mas Roji. Aku pikir siapa.” Perempuan itu membuka pintu. Lelaki itu masuk dan mengamati seisi rumah kontrakan. “Kau yakin mau tinggal di sini? Apa sebaiknya kau tidak cari kontrakan lain?” “Kenapa mas? Aku merasa tempat ini baik-baik saja.” “Tapi daerah ini sepi.” “Aku lebih suka sepi. Di kontrakan lama terlalu hiruk suasananya, Mas. Aku tidak suka.” “Apa ini untuk menghindariku juga?” lelaki itu duduk di atas tikar kecil. Memandangi wajah perempuan yang kerap hadir dalam ingatannya. “Mas Roji. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak mau Nadia marah. Semuanya akan gaduh dan aku menjadi penyebab ketidaknyamanan di kantor kita.” “Jadi kau merasa sebagai penyebab keributan? Hentikan pikiran konyolmu. Nadia juga sudah dewasa,

KAMISAN #4 ~HALUSINASI~ "Rasa Bersalah yang Datang Setelah Ia Jatuh Cinta"

Ketika perempuan itu kebingungan dan duduk di sebuah bangku panjang, ia menjadi sebuah kesunyian dan tidak menemukan kehidupan lain di sekitarnya. Ia berusaha membunyikan napasnya kuat-kuat agar ada yang mendengar dan bertanya padanya, di mana lelaki itu? Di mana orang yang menyatakan cinta padamu? Sekali lagi, perempuan itu memandang ke jalan. Yang tampak baginya adalah orang-orang bergerak seperti angin yang lambat. Dan ia justru mengeluarkan tangisan secara perlahan. Mereka datang dan pergi, mereka utuh membawa dirinya kembali. Perempuan itu hanyut dalam perasaannya yang suci. Namun ia membuka mata dan menemukan seseorang memeluknya. Ia menoleh dan meminta persetujuan atas apa yang terjadi bukanlah hal yang ia inginkan. Bangku panjang itu jadi terasa sangat kecil dan dingin. Dan dengan caranya yang terlihat ganjil perempuan itu berusaha tersenyum. Bagaimana ia bisa mengatakan tentang kelicikan cinta yang datang dan membuat ia berpura-pura menikmatinya. “Malika. Ada a

Kamisan #1 Session 3: ~Memeluk Hujan yang Buruk ~

Ketika ia melihat ke jendela, lamunannya berhenti tapi tetap saja ia tidak mendengar ketukan pintu berkali-kali karena suara hujan yang deras. Tapi saat teleponnya berdering, ia sadar dan bergegas menuju pintu. Membukanya dan menemukan Paul dengan ekspresi sedikit kesal. “Kenapa lama sekali? Aku kedinginan.” Paul masuk dan mengibas jaketnya. Ia menaruh benda itu di gantungan baju. Perempuan itu tidak menjawab dan hanya memandangi hujan yang jatuh lewat pintu. “Kau kenapa? Sakit?” Tanya laki-laki itu lagi. Perempuan itu menggeleng. Hujan selalu memberikan pengharapan padanya. Ia mencoba mengingat kembali hujan yang paling buruk yang pernah ia alami. Lelaki itu duduk setelah mengganti baju dan menaruh kopi panas ke atas meja. Perempuan itu masih melamun dan duduk melihat  jendela, tempias air hujan menimbulkan bayang-bayang di kaca. “Sudah sore begini. Kau mau makan apa?” Tanya Paul. Perempuan itu menggeleng. Lalu berkata lagi Paul, “Katakan sesuatu. Kenapa kau diam saja?”