Skip to main content

Dari Suara yang Bergema



Usup dan kedua adiknya turun dari bis  berwarna kuning tua di simpang jalan yang menuju dua arah. Dengan uang seribu rupiah, Usup melihat wajah supir bis itu menatap dirinya dengan kesal. Meski begitu, supir itu memberhentikan laju bis dan menyuruh mereka cepat-cepat turun. Usup mempererat pelukan Tius, ia terlelap di pundak. Goncangan dalam bis membuat kantuknya semakin bertambah sementara  Damar ikut menepi sambil melap keringatnya yang bercucuran.
“Bang, aku haus.””
Perkataan Damar membuat Usup sadar, bahwa ia lupa memasukkan botol plastik berisi air. “Nanti. Kita belum dapat uang, Damar,” bujuknya mengusap kepala Damar.
Usup menelan airliur. Sesak dan pengap dalam bis tadi membuat tenggorokannya kering. Mereka bergegas naik di atas jembatan. Damar meletakkan sehelai kardus dan duduk di sebelah Usup, di antara lorong jembatan yang teduh. Di atas ratusan kendaraan yang melaju. Kardus bergambar botol minuman membuat Damar tersenyum sambil melirik Usup dan menunjukkan giginya.
“Nanti kita beli ini ya bang?”
Usup mengangguk. Damar diam, tetapi dalam pikirannya terus melintas tentang minuman yang terpampang lewat mobil box dan suara kendaraan. Orang-orang bergerak seperti sebuah permainan yang dilihat Damar di dalam televisi milik tetangganya. Ia mengabaikan perintah Usup untuk tetap tenang. Matahari membuat tubuh mereka seperti gerak yang lamban. Damar menopang dagu dan menggoyang-goyangkan kotak berisi recehan. Satu dua orang lewat di hadapan mereka tanpa memandang, sementara yang lain memandangi mereka dengan kasihan tanpa memberikan uang.
Usup  melihat dari atas jembatan, gerombolan anak-anak sekolah yang berjalan beriringan, suara cekikikan mereka yang acuh. Usup melihat mereka, Damar melihatnya juga. Usup  segera menaruh Tius ke pangkuannya dan terus menunggu pada tiap tatapan orang-orang di atas jembatan.
Sehelai ribuan jatuh ke dalam kotak
“Bang. Untuk beli air ya?” pinta Damar.
“Nanti. Sebentar lagi.”
Usup  memperhatikan Tius yang berkeringat. Ia terlelap setelah minum airgula pemberian Mak Inah, si pemilik gudang tempat mereka menumpang. Melihatnya, Usup semakin ingat bapak. Mereka mirip. Mereka sama-sama membuat ibu susah. Bapak lari dan ibu mereka mati. Walaupun Tius tak bersalah apa-apa, tetap saja Usup merasa sedih seperti itu.
Damar tersenyum saat suara musik terdengar lagi dari gedung plaza. Setiap hari ia bisa lihat ke dalam gedung yang jendelanya kaca itu, berpuluh-puluh mainan dan sebuah komedi putar bergerak indah. Ruangan yang dipenuhi cahaya lampu, seolah matahari di luar tak cukup menerangi kebahagiaan mereka.
Damar bergoyang. Irama musik membuatnya girang. Ia menurunkan kedua kakinya hingga bergelantungan di bawah jembatan. “Duduk yang benar, Mar! kau bisa jatuh nanti!” Usup merasa perutnya mulai gemetar. Sejak pagi dirinya memang belum makan. Hanya Tius dan Damar yang minum airgula dan sekerat roti sisa. Tubuhnya hangat dan suara dari gedung plaza membuat tubuhnya merasa goyah.
Satu helai ribuan jatuh ke dalam kotak.
Damar bertambah senang. “Bang, nanti kita main ke plaza ya?” pintanya.
“Ya, nanti.” Usup berjanji. Damar terus mengikuti irama musik. Orang-orang  yang lalu lalang di atas jembatan mungkin tengah lupa dan tak menyadari mereka di sana. Kotak recehan hanya berisi tiga ribu rupiah. Damar pun tak tertarik lagi membeli minuman, ia terus memperhatikan komedi putar.
Tius bangun dan gelisah. Usup  melap kepalanya yang basah oleh keringat. Ia pasti kehausan dan Usup harus segera menenangkannya sebelum ia menangis kencang. Damar menahan lengan Usup yang hendak membeli minuman.
“Abang sudah janji uang itu untuk main di plaza.”
“Abang cuma beli air putih. Nanti kita bisa cari uang lagi.”
“Tapi bang…”
“Kau lihat dia kepanasan?” tunjuk Usup pada Tius.
 Damar merajuk dan membantah. “Abang cuma pandai berjanji.”
Rengekan Tius makin kencang, bantahan Damar membuat Usup kesal. Keduanya memenuhi kepala hingga Usup merasa pusing. Damar menunduk dan Usup memintanya agar tetap di sana dan jangan menaiki palang jembatan. Usup meninggalkan ia yang terus sesenggukan.
Tius sangat haus dan ia harus minum. Usup turun dari jembatan dan berhenti di antara pedagang asongan yang berjejeran. Usup tidak tega melihat kedua adiknya. Damar menitikkan airmata saat ia tinggalkan  di atas sana.
Usup sadar. Damar dan Tius butuh pertolongan. Ia pernah nyaris meninggalkan mereka di Panti asuhan. Barangkali karena pemilik panti tengah mengalami kesulitan. Maka perasaan iba berubah menjadi penolakan. Usup membawa kembali kedua adiknya pulang. Menurut Usup, Ayah mereka tidak meninggalkan apapun juga. Hanya kesedihan dan kenyataan bahwa Ibu tidak tahan dan meninggal dunia.
Usup melihat ke atas. Damar menatap gedung plaza. Disisakannya sedikit air untuk Damar. Tiba-tiba saja ia juga tertarik pada tempat itu. Pada poster bergambar kentang dan daging berbalut roti.  Usup  berpikir tentang dirinya dan kedua adiknya bersusah payah untuk masuk ke sana dengan pakaian kumal dan berdiri di antara orang-orang yang berpakaian wangi.
Ia terus berpikir seandainya ia bisa membeli baju baru sehelai saja, setidaknya untuk Damar dan Tius. Mereka bisa berpapasan dengan orang lain dan tidak merasa canggung. Para pejalan kaki mungkin akan memberi mereka uang lebih. Usup mengusap muka dan menyodorkan seribu rupiah pada penjual minuman.
Tidak ada komentar
Damar menyeruput habis minuman yang dibelikan Usup. Kemudian, dari jauh. Terdengar suara yang kian dekat. Suara yang mengalahkan irama permainan. Seperti terompet menakutkan bagi sebagian orang.  Seketika itu pedagang dan pengemis sudah menghilang. Usup juga tidak melihat kemana pedagang minuman yang ia hampiri barusan.
Damar menunduk ke bawah.
“Polisi.”
“Ayo pergi.”
Usup menarik lengan Damar
Kemudian seseorang menarik lengan adiknya. Usup berhenti.
“Pergilah jauh-jauh! Ada orang penting akan lewat di jalan ini.”
Usup terheran-heran.
“Pejabatkah?”
“Ya. Kau bisa membuat malu kami, pergilah segera. Menghilang untuk sementara saja.”
Usup mendapati lengannya dicengkeram erat pria berbadan besar.  Tius gelisah dan Damar menarik ujung bajunya ke arah plaza.
“Kalau aku tidak mau bagaimana?” Usup menantang dan seketika tongkat komando bergerak naik. “Tidak ada bantahan untuk pengemis seperti kalian!”
Usup memandang orang itu dengan setengah takut dan gemetar. Tapi ia terus melihat Damar dan Tius secara bergantian.
“Aku tidak mau. Aku bisa berhenti di jalan dan meminta uang pada mereka. Bisakah mereka membantuku?!”
“Bodoh!”
Usup tidak menyadari di umurnya yang masih belasan tahun itu. Seragam itu lebih menakutkan ketimbang lapar yang tengah mereka rasakan. Mereka menjalankan perintah dan Usup tidak mau tahu. Usup ingin makan dan masuk dalam gedung plaza. Jika ia bisa meminta uang pada pejabat yang orang itu katakan, ia bisa pulang dan tidak duduk di jembatan. Ususp di tarik ke belakang.
Damar berteriak dan Tius menangis

***
Di dalam gedung plaza, Usup menyeret langkahnya mendekati meja kasir dan membawa dua nampan berisi makanan seperti dalam poster. Damar melonjak kegirangan dan matanya sembab beberapa menit lalu.
Di tepi jendela, mereka duduk menikmati makanan, daging yang lezat dan minuman dingin. Usup terbatuk-batuk sebentar. Ia meletakkan siku tangannya yang luka dan pelipisnya yang membiru. Bola matanya yang kiri memerah seperti terkena pukulan tangan. Usup berusaha tersenyum dan menikmati makanan itu.
“Sehabis makan, kita akan naik komedi putar sebentar.”
“Asik!” teriak Damar bergegas menghabiskan makanannya.
Di luar. Kebisingan baru saja usai. Usup tak melihat sesosokpun dari balik kaca hitam dari beberapa mobil mewah yang lewat dan juga seseorang yang harusnya bisa ia tanya tentang genangan air, kepergian bapak atau mahalnya makanan yang akan mereka makan. Usup mengusap pipinya yang bengkak. Dan tersenyum saat niat bertanya itu di bayar uang oleh seseorang yang membawa tongkat komando. Irama komedi putar terasa dekat sekali di telinganya, bergema hingga ke dada. Ia ingin pulang dan menikmati uang atas bayaran berkali lipat dan rasa sakit yang teramat berat. ***

Pekanbaru. terbit di koran Padang Ekspress. Minggu. 24 November 2013

Comments

Popular posts from this blog

Kamisan #12 HIRUK ~Pindah~

Mulai pekan ini, perempuan cantik itu pindah ke kontrakan lain di kawasan Kemuning. Ia baru saja menaruh kardus berisi pakaian, kipas angin kecil dan buku-buku tulisan. Perempuan itu terbatuk-batuk saat seseorang mengetuk pintu rumahnya. “Mas Roji. Aku pikir siapa.” Perempuan itu membuka pintu. Lelaki itu masuk dan mengamati seisi rumah kontrakan. “Kau yakin mau tinggal di sini? Apa sebaiknya kau tidak cari kontrakan lain?” “Kenapa mas? Aku merasa tempat ini baik-baik saja.” “Tapi daerah ini sepi.” “Aku lebih suka sepi. Di kontrakan lama terlalu hiruk suasananya, Mas. Aku tidak suka.” “Apa ini untuk menghindariku juga?” lelaki itu duduk di atas tikar kecil. Memandangi wajah perempuan yang kerap hadir dalam ingatannya. “Mas Roji. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak mau Nadia marah. Semuanya akan gaduh dan aku menjadi penyebab ketidaknyamanan di kantor kita.” “Jadi kau merasa sebagai penyebab keributan? Hentikan pikiran konyolmu. Nadia juga sudah dewasa,

KAMISAN #4 ~HALUSINASI~ "Rasa Bersalah yang Datang Setelah Ia Jatuh Cinta"

Ketika perempuan itu kebingungan dan duduk di sebuah bangku panjang, ia menjadi sebuah kesunyian dan tidak menemukan kehidupan lain di sekitarnya. Ia berusaha membunyikan napasnya kuat-kuat agar ada yang mendengar dan bertanya padanya, di mana lelaki itu? Di mana orang yang menyatakan cinta padamu? Sekali lagi, perempuan itu memandang ke jalan. Yang tampak baginya adalah orang-orang bergerak seperti angin yang lambat. Dan ia justru mengeluarkan tangisan secara perlahan. Mereka datang dan pergi, mereka utuh membawa dirinya kembali. Perempuan itu hanyut dalam perasaannya yang suci. Namun ia membuka mata dan menemukan seseorang memeluknya. Ia menoleh dan meminta persetujuan atas apa yang terjadi bukanlah hal yang ia inginkan. Bangku panjang itu jadi terasa sangat kecil dan dingin. Dan dengan caranya yang terlihat ganjil perempuan itu berusaha tersenyum. Bagaimana ia bisa mengatakan tentang kelicikan cinta yang datang dan membuat ia berpura-pura menikmatinya. “Malika. Ada a

Kamisan #1 Session 3: ~Memeluk Hujan yang Buruk ~

Ketika ia melihat ke jendela, lamunannya berhenti tapi tetap saja ia tidak mendengar ketukan pintu berkali-kali karena suara hujan yang deras. Tapi saat teleponnya berdering, ia sadar dan bergegas menuju pintu. Membukanya dan menemukan Paul dengan ekspresi sedikit kesal. “Kenapa lama sekali? Aku kedinginan.” Paul masuk dan mengibas jaketnya. Ia menaruh benda itu di gantungan baju. Perempuan itu tidak menjawab dan hanya memandangi hujan yang jatuh lewat pintu. “Kau kenapa? Sakit?” Tanya laki-laki itu lagi. Perempuan itu menggeleng. Hujan selalu memberikan pengharapan padanya. Ia mencoba mengingat kembali hujan yang paling buruk yang pernah ia alami. Lelaki itu duduk setelah mengganti baju dan menaruh kopi panas ke atas meja. Perempuan itu masih melamun dan duduk melihat  jendela, tempias air hujan menimbulkan bayang-bayang di kaca. “Sudah sore begini. Kau mau makan apa?” Tanya Paul. Perempuan itu menggeleng. Lalu berkata lagi Paul, “Katakan sesuatu. Kenapa kau diam saja?”